24. Hari Pernikahan

33 2 0
                                    

Setelah beberapa bulan sejak acara lamaran, akhirnya sampai lah di hari pernikahan.

Levin sudah siap dengan segala pakaian juga sedikit riasan di wajah. Ia menetralkan degup jantungnya dengan cara keluar bersama Adnan seraya melihat-lihat dekorasi pada altar dan juga tenda.

Bahkan di sana juga ada Bella, yang tengah menyambut rekan bisnis Adnan. Pasangan suami-istri itu ingin melihat Levin yang akan mengucap janji pada calon istrinya. Kebetulan juga, rekan bisnis Adnan ini dapat dikatakan dekat dengannya. Tak jarang mereka melakukan aktivitas di luar pekerjaan kantor.

Kini kita beralih pada sosok Khalisa, yang masih terus dipoles hingga sedemikian rupa. Tidak terlalu mencolok, namun terlihat segar dan cantik.

Khalisa melirik Athaya, yang kini tengah berdiri di dekat lemari seraya menatapnya. "Gaun yang gue pilih bagus 'kan, Ta?" tanyanya pada Athaya.

Athaya menghampiri Khalisa dan duduk di kursi dekat meja nakas. "Bagus, Kak. Lo gak usah mikirin soal gaun deh, itu udah dibicarain dari lama. Sekarang, lo happy-happy aja saat Levin nantinya akan mengucap dan mengikat janji suci buat lo." Khalisa tersenyum dihadapan cermin. Rasa bersalah kini melingkupinya ketika mendengar ucapan itu keluar dari mulut adiknya.

Beberapa menit kemudian, riasan di wajah Khalisa telah selesai. Para MUA tengah membereskan alat-alat rias tersebut dengan perlahan. Sementara dirinya, kini membalikkan wajahnya menatap Athaya dengan senyum yang terukir di bibirnya.

"Wah, cantik banget kakak gue satu ini." Khalisa menatap Athaya dengan pandangan yang berbeda. Tapi tak ayal ia senang, kala Athaya memujinya seperti itu.

Khalisa menatap Wendy dan Zaldy, yang baru saja memasuki kamarnya. Ia menatap mereka dengan lekat. Kedua orang tuanya seperti merasakan bahagia kala ia ingin diperistri oleh seorang Levin.

Zaldy dan Wendy menghampiri Khalisa yang masih duduk, mereka memeluknya seraya mencium pipi serta keningnya. Khalisa tak kuasa menahan tangis ketika kedua orang tuanya memeluk serta menciumnya. Mereka adalah orang tua yang begitu ia sayangi. Mereka selalu memanjakannya dengan segala kebutuhan dan keinginannya. Tak pernah ada bentakan atau amarah ketika ia melakukan kesalahan. Mereka orang tua terbaik baginya.

Namun, apakah setelah rencananya berhasil, kedua orang tuanya itu mau memaafkan dan memaklumi perilakunya ini? Apakah mereka masih mau menganggapnya sebagai seorang anak?

***

Khalisa sudah beberapa kali mengecek ponsel dengan banyak pesan yang memberitahukan rencana kepergiannya bersama Agnan. Keputusan yang ia ambil akhirnya memilih untuk pergi bersama dengan Agnan. Hingga detik ini pun Agnan masih terus meyakinkannya, jika kabur dari pernikahan ini adalah hal yang tepat.

Khalisa menatap Athaya lekat yang tengah duduk di sisi ranjang seraya memainkan ponselnya. Kemudian, ia juga meminta para MUA untuk memberi waktunya sebentar bersama Athaya. Dan mereka segera keluar tanpa membantah. Pun, tugas mereka juga memang sudah selesai sejak tadi.

Helaan nafas menguar kala menatap Athaya yang kini tengah mengerutkan dahinya. "Ta, gue juga mau minta waktunya sebentar untuk merenungkan diri."

"Renungin diri? Maksud lo?" tanya Athaya bingung.

Khalisa menggigit bibir bawahnya, rasa gugup kian melingkupi. Tanpa bisa dicegah, netra itu mengeluarkan cairan bening kembali hingga membasahi pipi. Ini adalah waktu yang tepat untuknya membuat suatu drama.

"Kak, are you okay?" ujar Athaya, seraya menghampiri Khalisa dengan membawakan tisu ke hadapannya.

Khalisa meraih tisu itu dan menghapus air mata yang menghalau dengan gerakan pelan. "Gue butuh waktu sendiri, Ta. Apa lo bisa tinggalin gue?"

"Ada apa, si? Kalo ada yang bikin lo resah, cerita sama gue. Lo gak akan ngelakuin hal macem-macem, 'kan?" Athaya menatap lamat Khalisa yang tengah menghapus sisa air mata.

Khalisa bergeming. Ia tidak menjawab pertanyaan dari Athaya, bahkan mata itu seolah enggan dipandanginya.

"Kenapa lo gak jawab?"

Khalisa menggelengkan kepalanya dengan tangan yang mengepal di pangkuannya. Kemudian, ia mulai mendongakkan wajahnya dengan pandangan memohon pada Athaya. "Please, Ta. Gue butuh waktu sendiri. Lo bisa tinggalin gue sekarang, oke!"

Athaya menatap Khalisa beberapa detik, tak lama dari itu dirinya membalikkan tubuh dan keluar hingga pintu kamar yang Khalisa tempati itu tertutup rapat.

Khalisa bangkit dari duduknya dan mulai mengunci pintu kamarnya dengan cepat. Ia menyimpan kunci itu di nakas, kemudian meraih kertas yang berada di tasnya dan mulai menuliskan sebuah pesan di sana.

Ia melepas gaun pengantin dan ditanggalkan di atas ranjang dengan cukup rapi. Tulisan tadi ia simpan di atas gaun begitu saja. Kemudian, ia mulai mengganti pakaiannya dengan memakai celana jeans biru juga kaos putih kebesaran. Rambutnya yang tergelung rapi ia lepas dengan gerakan cepat dan mulai menguncirnya menjadi satu. Sandal rumahan yang sebelumnya ia pakai, segera diganti dengan sepatu kets berwarna putih bergaris hitam. Semua sudah ia siapkan sebelum berangkat ke Lembang. Jadi dalam rencananya ini pasti akan berhasil.

Ponsel yang bergetar sejak tadi ia raih dan memasangkannya di daun telinga.

"Kamu di mana? Aku udah awasin tempat dan semuanya aman." Dari seberang sana, Agnam berujar dengan nada yang sedikit berbisik.

"Bentar lagi selesai. Aku bakalan keluar lewat jendela, aku juga udah ngawasin dari tadi tempat ini dan ternyata aman." Khalisa berujar, seraya menyimpan barang-barang yang menurutnya berharga itu ke dalam tas ransel berukuran sedang.

Khalisa menghela nafas kala semuanya dirasa aman. Ia mulai membuka jendela dengan ukuran cukup besar, sehingga mampu untuk dirinya keluar. Matanya mulai mengedarkan ke sekitar, ia melihat seseorang yang kini tengah memakai hoodie jacket berwarna hitam. Ia tersenyum dan mulai berlari kecil ke sana.

"Sa, aman, 'kan?" Agnan bertanya dengan menatap lekat Khalisa.

"Aku aman, kamu gimana, Nan?"

"Dari tadi aman, kok. Aku udah tau titik jalan keluar dari sini." Agnan mengeluarkan topi hitam dan dipasangkan pada kepala Khalisa.

"Biar gak ketahuan wajah kamunya." Khalisa mengangguk dengan terus merapatkan topinya, hingga wajahnya tak begitu terlihat dengan jelas.

Seusai percakapan singkat tersebut, mereka mulai berjalan beriringan dengan penuh kehati-hatian. Hingga akhirnya mereka sampai, di mana mobil Agnan terparkir indah dekat kebun dan rumah warga.

"Nan, kita ... gak salah, 'kan?" Khalisa bertanya seolah ragu akan keputusannya sekarang.

Agnan mendaratkan kedua tangannya di bahu Khalisa. Ia tersenyum seraya menatap bola mata Khalisa dengan lekat. "Udah sejauh ini, Sa. Kamu mau mundur?"

Khalisa menggelengkan kepalanya dengan cepat. Lalu Agnan mencium keningnya cukup lama.

"Sekarang kita masuk! Kita lanjut obrolannya nanti di dalam. Yang penting, kita harus pergi dari tempat ini. Jangan sampe mereka tau kalo aku bawa kamu pergi." Khalisa menggangguk dan segera masuk ke dalam mobil. Agnan pun melakukan hal yang sama. Tak lama dari itu, mereka pun pergi dari kawasan tersebut dengan kecepatan sedang.

Keputusan yang Khalisa ambil menurutnya adalah pilihan yang tepat. Karena Agnan begitu menyayanginya hingga ia merasakan segala sesuatu yang luar biasa. Rasa yang tak pernah ia dapatkan dari seorang Levin.

Namun, dari keputusan ini adalah awal dari sebuah kehancuran. Semuanya seakan sia-sia. Bahkan waktu dan kepercayaan yang Levin bangun selama ini seperti tak ada apa-apanya dan seolah tidak penting.

________


Terima kasih ❤

29-09-2023

Kesalahan Cinta (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang