34. Bercerita

27 2 0
                                    

Sekembalinya dari rumah Levin, Khalisa menangis dan memilih mengurung diri kembali di dalam kamar.

Zaldy dan Wendy menatap nanar pintu kamar Khalisa. Sikap putri pertamanya itu sejak dulu belum juga berubah. Dia memang sangat kekanakan, wajar Levin memutuskan pernikahan itu dengan cepat dan digantikan oleh Athaya. Karena putri keduanya itu lebih dewasa dibandingkan dengan putri pertamanya.

Sampai detik ini, mereka belum juga tahu apa alasan Khalisa kabur dari pernikahannya dengan Levin dua bulan yang lalu. Hari terus berlalu hingga tanpa sadar pernikahan Levin dan Athaya sudah berlalu cukup pesat. Dalam kurun waktu yang singkat, mereka dapat saling memikat dan mengikat. Hal itu lah yang membuat Zaldy dan Wendy merasa tak enak hati jika harus menuruti keinginan Khalisa yang konyol. Memang apa yang diharapkan kembali dari Levin yang sudah terlanjur kecewa?

"Ma, coba kamu bicara pelan-pelan sama Lisa. Lama-lama sikapnya itu membuat Papa pusing. Dari apa yang dia perbuat, ya memang harus mau menerima konsekuensinya. Memang dia mau seperti itu terus? Kalau sampai rumah tangga Athaya dan Levin berantakan, sudah pasti Papa merasa bersalah. Ulah kemarin aja masih belum nemu titik terangnya. Selama bodyguard mengawasi, mereka gak benar-benar tahu apa alasan Lisa yang kabur saat itu. Kayanya salahku juga dulu terlalu memanjakan dia. Athaya sendiri sejak dulu memang mandiri, tanpa sadar aku gak pernah tahu apa yang dirasakan anak itu saat menerima pernikahannya. Seolah menutup mata, bahwa Athaya juga putri kita dan dia terpaksa menerima dan menanggung beban berat saat itu. Papa merasa menjadi ayah yang jahat kalo kaya gini, Ma. Athaya pantas bahagia. Kita tidak perlu mengusiknya lagi, dia sudah berkeluarga dengan laki-laki yang baik dan dari keluarga yang baik juga."

Wendy mengangguk dengan wajah yang lesu. Tanpa sadar cairan bening keluar dari matanya. Ia juga merasa bersalah seperti suaminya. Athaya semandiri itu sejak dulu, dia juga tidak pernah meminta ini dan itu selama menjalani pekerjaannya. Yang ia tahu, Athaya senang melakukan pekerjaan itu. Sebagai ibu, dirinya juga merasa terlalu abai. Ia hanya tahu Athaya yang selalu sibuk di kafe tanpa pernah mau bertanya tentang keadaannya selama ini. Terlebih, Athaya memang menutup diri pada dirinya juga suaminya. Padahal mereka ini orang tuanya, tapi Athaya lebih mau memendam semua keluh kesahnya sendiri. Sejak dulu sampai sekarang.

"Biar aku yang bicara sama Lisa. Memang sekali-kali kita harus keras sama dia, lebih tepatnya ke arah yang tegas. Setidaknya membuat dia jera dan mau membuka mata kalau Levin sudah milik Athaya. Sikapnya yang kekanakan membuat kita jadi kwalahan sendiri. Dia sudah dewasa, harusnya bisa menyelesaikan masalah ini. Tapi seolah ada obsesi yang mengharuskan memiliki Levin. Padahal dia yang salah sejak awal, dia yang memilih menghancurkan hubungannya sendiri."

Seusai dengan pembicaraan itu, Zaldy memilih untuk mengistirahatkan diri di kamar. Sementara Wendy, mencoba untuk membujuk Khalisa supaya mau bicara padanya. Mereka harus berbicara dari hati ke hati agar masalah yang sedang dihadapi saat ini cepat selesai.

Khalisa bukan anak kecil, dia sudah cukup dewasa untuk menghadapi masalahnya sekarang ini. Lagi pula itu juga ulahnya sendiri, yang saat itu memilih kabur di hari pernikahannya sendiri. Hingga tanpa disadari olehnya, bahwa ia sudah banyak menyakiti banyak orang. Dari kedua orang tuanya, kedua orang tua Levin, Athaya, bahkan Levin sendiri.

Kepalan tangan Wendy mengeras kala Khalisa belum juga mau membuka pintu kamarnya. Hingga helaan nafas beratnya lagi-lagi keluar dan ia memilih untuk duduk di sofa dekat dengan kamar Khalisa. Ia memijit pangkal hidungnya karena rasa pusing kian mendera. Usianya yang tak lagi muda mampu membuatnya mudah untuk terserang penyakit. Menghadapi Khalisa benar-benar harus ekstra sabar dan mental yang kuat. Lantaran Khalisa begitu bebal untuk dinasihati olehnya maupun suaminya.

***

Wendy tengah menghidangkan masakan bersama bi Darsih di meja makan. Mereka berdua menyajikan beberapa lauk-pauk yang mampu menggugah selera.

Bi Darsih yang sejak tadi membantu, kini mulai angkat bicara ketika melihat Wendy seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Bu, apa non Khalisa belum mau keluar kamar juga?"

Wendy menatap bi Darsih dengan pandangan nanar. "Iya, Bi. Aku bingung ngadepin anak itu. Kenapa bisa dia bebal dan sulit untuk mau memahami keadaan yang terjadi? Apa karena saya dan suami terlalu manjain dia, ya? Jadi dia agak ngelunjak gitu, loh. Sampe saya bingung sendiri buat bujukin dia biar gak ngurung diri di kamar dan menjelaskan kembali perihal hubungannya dengan Levin yang memang sudah selesai."

Bi Darsih mengusap lengan Wendy dengan perlahan. Ia juga tersenyum tipis guna menghalau rasa gundah Wendy.

"Setiap orang tua, pasti ingin melakukan hal yang terbaik untuk anak-anaknya. Seperti halnya Ibu sama bapak yang manjain non Khalisa. Tapi emang kalo terlalu jadinya begini, Bu. Apalagi Ibu sama bapak gak pernah nolak permintaan non Khalisa, kalian gak menolelir hal-hal yang membuat non Khalisa jadi seperti ini, boros, keras kepala, dan yang pasti cuek soal dia yang mau mengerti di situasi apapun. Jujur saya emang lebih pro ke non Ata. Karena selain jujur, non Ata juga tegas. Maaf juga, Bu, selama ini non Khalisa selalu buat ulah dan non Ata yang selalu marahin dia. Tapi, non Ata juga yang selalu jadi garda terdepan buat non Khalisa supaya terhindar dari amukan bapak. Ibu tau dan sadar hal itu?"

Wendy cukup terkejut atas ucapan bi Darsih pada akhir kalimatnya. Apa selama ini Khalisa hanya seorang manipulatif dihadapannya maupun suaminya?

"Saya gak tau, Bi, bahkan saya gak sadar. Coba ceritain semuanya ke saya!"

Di kursi meja makan, mereka masih terus asik bercengkrama dengan suara bi Darsih yang mendominasi. Bahkan raut Wendy entah sudah berapa kali ditunjukkan dengan berbagai macam, dari yang emosi, kecewa, bahkan sedih.

Bi Darsih menceritakan semua itu atas penglihatan dan pendengarannya sendiri. Ia selalu menjadi saksi atas kemarahannya seorang Athaya menghadapi Khalisa. Belum lagi, Athaya pernah cerita padanya soal Khalisa, ia mengeluh perihal menghadapi Khalisa yang cukup susah.

Khalisa selalu menjadikan Athaya tamengnya bahkan hingga mereka dewasa. Sekasar-kasarnya mulut Athaya, dia juga tak pernah tega jika Khalisa berbuat ulah hingga terdengar oleh Zaldy. Jadi Athaya lebih memilih untuk bungkam dan menahan diri atas perilaku Khalisa yang terkadang bisa kelewat batas.

"Aku Ibu yang buruk, Bi." Wendy terisak mendengar semua kalimat yang terlontar dari mulut bi Darsih. Menceritakan kisah kedua putrinya yang mampu membuatnya miris dan sedih.

Bi Darsih masih menenangkan Wendy yang masih terisak di kursi meja makan. Bahkan tanpa mereka sadari, ada Zaldy yang berdiri di samping lemari kaca dekat meja bar. Ia mendengar semua apa yang bi Darsih ucapkan tanpa terlewat. Lagi-lagi rasa bersalahnya muncul ke permukaan. Ia juga sama seperti istrinya, merasa gagal menjadi ayah untuk kedua putrinya. Perilaku yang tanpa sadar membuat salah satunya mengalami kehancuran, mengalami ketidakadilan yang begitu terlihat di mata orang lain. Apa selama ini ia buta akan masalah kedua putrinya?

________

Terima kasih ❤

16-10-2023

Kesalahan Cinta (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang