Tidak ada yang lebih indah, selain kehadiran mu di hidupku.
_Alaca Karanlik_
Seyara17
*
*
*
*Selamat menikmati
Diam dan Bacalah menggunakan hati.......Sudah satu Minggu telah berlalu pernikahan ku dengan mas Habi, sudah satu minggu pula aku mulai mengenalnya beberapa kerabat sudah kembali ke kediamannya begitupun dengan bunda Naiima dan ayah yang telah kembali ke kota Surabaya. Aku pikir menikah dengan seseorang yang asing bagi kita menyenangkan sekali, ternyata aku salah. Banyak beberapa hal yang harus aku pelajari tentang dirinya.
"Abi" panggil bunda pada mas Habi, aku melihat beliau berjalan ke arahku dengan bunda yang berada di meja makan.
"Iya Bu" jawab mas Habi, seraya melemparkan senyuman ke arahku aku yang melihatnya mengalihkan arah pandangku pada sembarang arah
"Maaf jika terkesan bunda memaksa kalian, hanya saja bunda meminta kalian untuk menempati rumah yang berada di Demak. Itu sebagai hadiah dari bunda untuk kalian"
"Baik bu, nanti saya dan Ana akan menempati rumah yang berada di kota Demak"
Aku berfikir ketika bunda mengatakan hal itu, mas Habi akan menolaknya. Ternyata pemikiran ku salah, apa yang menjadi alasannya menerima penawaran dari bunda.
"Kapan kalian akan menetap disana?" Tanya bunda lagi pada mas Habi, aku hanya menjadi pendengar baik diantara mereka
"Jika diizinkan besok saya dan Ana akan berangkat ke sana" ucapnya, membutku terkejut. Besok, apakah keputusannya sudah dipikirkan matang-matang? Tapi bagaimana bisa dia tidak meminta pendapat perihal hal ini kepadaku.
"Bunda titip Ana ya, jika kamu sudah benar-benar tidak mencintainya maka kembalikanlah putri bunda pada kami dengan baik dan dalam keadaan baik. Bunda tinggal dulu ke dalam kamar" ucap bunda seraya melenggang pergi meninggalkan ku dengan mas Habi, aku pun memilih masuk kedalam kamarku tanpa memperdulikan dirinya. Bukankah besok aku akan pergi dari rumah sini, itu artinya aku harus bersiap-siap.
Cklek
Aku yang tengah menata semua isi pakaianku kedalam koper milikku, di kejutkan dengan suara seseorang yang tepat berada di belakangku.
"Maaf, jika saya tidak meminta pendapat darimu perihal hal ini." Ucapnya padaku, aku tidak terlalu memperdulikan perkataanya, sa'at mengambil kembali pakaian miliku dari dalam lemari, ku langkahkan kaki menuju koper milikku yang aku letakkan di atas ranjang tempat tidurku dimana aku harus melewati mas Habi
"Tunggu" ucapnya seraya mencengkram pergelangan tanganku, aku hanya diam tanpa memberikan reaksi apapun
"Dengar kan saya yang sedang berbicara padamu An" meskipun nada perkataannya lembut hanya saja aku mengetahui bahwa dia sedang kesal denganku, terlihat dari sorot tatapan matanya padaku.
"Lepas mas, saya sedang membereskan barang-barang milik saya. Untuk pakaian milik mas sudah tertata dengan rapi dalam koper itu" ucapku seraya menunjukkan koper hitam yang berada tepat disamping meja riasku... setelah melepaskan cengkraman tangannya pada pergelangan tanganku, aku kembali melanjutkan aktivitas ku membereskan barang-barang miliku pribadi. Aku melihatnya melangkah kan kakinya menuju sofa yang menghadap arah jendela kamar milikku, aku melihatnya menatap ke arahku. Akhirnya selesai, pikirku. Aku langkahkan kakiku menuju rak yang tersusun beberapa novel miliku, aku memilih salah satu novel yang berjudul Rapuh dan kembali melangkahkan kakiku ke arah pintu kamarku, sa'at ini tujuannya adalah gazebo yang berada dihalaman belakang rumah, dengan pepohonan yang rindang. Setibanya aku di gazebo aku baringkan tubuhku pada permadani yang terpasang pada lantai gazebo, lembar demi lembar aku baca, hanya saja pikiranku benar-benar tidak bisa fokus untuk membaca novel. Ada rasa sedih yang menyeruak entah apa yang menjadi alasan dari derainya air mata yang turun membasahi pipiku terlebih lagi music yang mengalun indah seakan-akan mewakili perasaan yang sedang aku rasakan sa'at ini. Aku tidak bisa memaksakan hatiku untuk menerima semua ini, aku membutuhkan waktu untuk semua ini. Terikat dengan pernikahan bukanlah harapanku, hanya saja semua ini sudah terjadi pada hidupku. Sampai kapan, sampai kapan aku terbelenggu pada rasa yang tak menentu. Seperti semesta mengerti tentang perasaanku desir angin yang berhembus menenangkan membuatku terlena hingga mata yang terjaga tiba-tiba perlahan terpejam.
Entah sudah berapa lama aku terlelap tidur, usapan lembut pada pipiku mengusik diriku yang masih ingin tertidur, menikmati setiap desir angin yang berhembus pelan seperti alunan lagu yang menenangkan. Usapan lembut pada pipiku masih terasa, sa'at aku membuka mataku ternyata aku berada pada pangkuan nya, terlihat dia yang sedang memandangiku seraya tersenyum ke arahku dengan tangannya yang masih mengusap dengan lembut pipiku.
"Apa yang membuatmu bersedih An, katakanlah. Aku disini sebagai teman untukmu" ucapnya padaku, bulir-bulir air mata kembali jatuh membasahi pipiku. Dengan lembut dia kembali menghapus air mataku yang terjatuh dari kelompok mataku
"Menangis lah, tumpahkan lah semua beban yang berada pada dirimu." Ucapnya semakin membuatku ku tersedu-sedu dihadapannya, entah perasaan apa yang menghampiri diriku aku benar-benar merasakan kesedihan yang mendalam, seraya menangis dengan tersedu-sedu aku benamkan wajahku padanya. Harum dari parfum miliknya begitu menenangkan membuat diriku semakin nyaman dan mata yang kembali terpejam. Aku masih bisa merasakan usapan lembut pada diriku darinya, hingga aku benar-benar tidak bisa merasakan lagi usapan darinya.
****
Entah apa yang terjadi padaku, sa'at aku kembali membuka mataku ternyata aku berada dalam kamarku, aku mengalihkan pandanganku pada jam yang sudah menunjukkan pukul 23.00 malam, seraya menoleh pada seseorang yang berada disampingku, terlelap dengan damai. Aku putuskan beranjak pergi menuju sofa yang berada dalam kamarku dengan buku yang sudah berada dalam genggaman tanganku dengan pena yang menjadi pelengkapnya, melihat rembulan yang memancarkan cahayanya yang terang aku membuka buku yang berisi tulisan-tulisan ku, aku goreskan tinta pada secarik kertas itu. Mengeluarkan apa yang tengah dirasakan, terlebih jika tidak bisa diungkapkan melalui perkataan opsi yang terbaik melalui tulisan.
Malam, yang membuat seseorang terlarut dalam luka yang tengah diarasa, bernostalgia pada kenangan yang telah berlalu. Menampilkan lembar-lembar setiap memori yang telah terjadi, luka yang telah tercipta kini selamanya akan berada pada tempatnya. Beberapa kali percobaan menyembuhkan sebuah luka tampaknya hanya sia-sia saja, setiap kali memori datang menghampiri luka itu akan kembali terbuka, menyeruakan rasa yang diwakili oleh air mata.
Usai menciptakan sebuah karya, aku kembali menyandarkan tubuhku pada sandaran sofa menikmati dinginnya angin malam yang berhembus kencang setelah jendela kamar yang aku buka, tirai-tirai seakan menari-nari mengikuti irama dari angin yang berhembus kencang, suara petir yang saling bersahutan sepertinya akan turun hujan pikirku. Benar saja hujan turun membasahi bumi disertai angin kencang dengan suara petir yang saling bersahutan. Aku melihat jalan pemukiman dari arah dalam jendela kamarku, hitungan detik lampu yang padam satu persatu. Hujan nya benar-benar lebat, sedari dulu aku takut dengan suara petir terlebih lagi dengan kegelapan. Entah mengapa malam ini seakan ketakutan itu lenyap begitu saja, aku masih nyaman berada di depan jendela kamarku melihat derasnya air hujan yang membasahi bumi. Sa'at menikmati suasana malam ini aku dikejutkan dengan usapan pada kepalaku yang masih aku kenakan hijab instan, aku menoleh pada seseorang yang berada di belakangku. Ternyata mas Habi, ia mendudukkan dirinya disamping diriku, seraya menyenderkan kepalanya pada bahuku setelah beberapa menit berlalu hujan kembali mereda dan hembusan nafas hangat yang berada pada bahuku. Setelah membenarkan posisiku aku melihatnya sudah tertidur kembali dengan pulas, dan kembali meletakkan kepalanya pada bahuku. Sebagai sandaranya, biarlah ketika dirinya bangun nanti akan merasakan sakit pada lehernya, anggap saja pelajaran untuk dirinya.
AKU MENYUKAI LUKA
Jangan lupa pendapat kalian yang dibebaskan untuk berpendapat di cerita saya ini
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU MENYUKAI LUKA
ChickLitSUDAH END Rentetan masalah silih berganti berdatangan, entah itu mampu dihadapi atau berserah diri pada sang ilahi. Ketika sesuatu hal sudah hilang bukankah akan terasa hampa, lalu bagaimana dengan dirinya yang telah kehilangan sang nahkoda hingga k...