Tolak ukur sesuatu masalah tidak bisa di jelaskan hanya karena pertikaian yang ringan, nyatanya dibalik itu semua masing-masing dari diri terluka dengan sendirinya.
_Alaca Karanlik_Seyara17
*
*
*
*
Selamat menikmati
Diam dan Bacalah menggunakan hati......."Hei, kenapa melamun si. Are you okay?"
Tatapan matanya mengingatkanku pada sang Ayah."Ya, I am okay." Jawabku atas pertanyaan darinya
Meskipun sebenarnya tidak, hanya saja bukankah kita membutuhkan sikap manipulasi agar mereka tidak mengusik apa yang menjadi luka yang bersejarah bagi kita. Simpelnya setiap orang pasti memiliki sikap demikian
"Na, kita pulang saja ya pasti bunda nyariin kamu kan" ucapnya padaku seraya melihat jam di pergelangan tangannya
"Ayok, tapi mampir dulu ya di pedagang kaki lima dekat alun-alun tuh. Aku mau jajan dulu, laper soalnya"
Galau boleh tapi soal lapar tetap nomor satu.
"Dasar, yaudah ayo pegangan Na. Kalau kamu jatuh aku lagi yang kena omel sama bunda"
"Iya bang, udah cepetan jalan"
"Let's go." Seru kami seraya serentak
Senja, aku memang menyukainya akan tetapi saat tragedi itu terjadi tak ada senja yang ku tatap dengan candu lagi, setiap aku menatap senja seakan-akan kembali kemasa tragedi itu. Rasanya masih sama, menyesakan! Lagi dan lagi tindakanku yang menyalahkan sang pencipta....
"Na, kamu dengar nggak si apa yang aku omongin?"
"Kenapa?"
"Mau beli apa Na?"
"Beli apa ya... Bingung juga soalnya ngga bisa direncanakan mau beli apa karena pas disana pasti ngga sesuai list yang mau di beli"
"Hmm"
Alun-alun kota memang salah satu tempat ramai yang sering dikunjungi oleh muda-mudi untuk memadu kasih dengan kekasih tercintanya yang nyatanya hanyalah luka, dengan situasi yang pas sekali malam Minggu, dimana-mana angkringan dan jajanan yang cukup murah dan pas dikantong kalangan remaja, mahasiswa/i hingga kalangan para orang tua.
"Na, ayo turun jangan terus meluk aku Na, nggak malu sama Mas Mas parkiran yang lihatin kita sejak tadi"
"Pede banget kamu bang"
"Ya habisnya udah dari tadi nyampe loh Na, tapi kamu masih ngga mau turun sampai dilihatin sama tuh tukang parkir"
"Nah kan sekarang gantian, Abang yang melamun mikirin apa si?"
"Mikirin kamu Na. Udahlah ayo katanya laper, pegang tangan aku ya Na jangan dilepas. Nanti kamu bisa ilang lagi"
Modus barunya, dengan cara bilang seperti itu, memangnya aku anak kecil? Kalau hilang lalu lupa arah jalan pulang.
"Astagfirullah Na kamu kenapa hmm? Sejak pulang liat senja jadi sering melamun, kesambet penunggu sana?"
Pertanya'an yang ia lontarkan padaku adalah pertanyaan basa-basi menurutku, ia hanya ingin tau keadaanku dengan pertanya'an itu.
"It's Oky bang, kita ke kedai itu ya"
Tunjuku pada salah satu kedai kopi yang cukup hits di tempat tinggalku
"Kopi lagi hmm?"
"Iya" ucapku seraya tersenyum dan mengangguk. Aku tau ia tak menyukai kopi, terlebih lagi ada hal yang membuatnya menjadi membenci kopi, sama seperti ku. Terlihat ia enggan sekali hanya sekedar menatap menu yang berisi tentang kopi.
Setelah selesai memesan satu secangkir kopi cappucino dan satu gelas air mineral, aku kembali menghampiri dia yang sudah menempati salah satu meja yang telah disediakan."Masih membenci kopi?"
"Hmm"
Hanya deheman yang ia lakukan, aku menghela nafas panjang. Aku mengerti dan memahami bagaimana rasanya itu, hanya saja aku tidak sepertinya yang menghindari.
"Atas nama mbak Analik?" Tanya salah satu waiters yang datang menghampiri meja kami, dan meletakkan pesanan kami, lalu kembali melenggang pergi. Setelah itu tidak ada percakapan yang terjadi, Za disibukkan dengan headphone di genggamannya dan aku disibukkan dengan pikiranku. Tak terasa sudah satu jam lebih kami berada disini tanpa percakapan apapun, aku putuskan untuk mengajaknya pulang. Sejak datang ke kedai ini Za menjadi pendiam seribu bahasa, biasanya akan ada obrolan-obrolan seru denganya, berbeda dengan malam ini.
"Pulang bang" pintaku padanya.
****
Semilir angin dimalam hari, tenang sekali udara kali ini. Aku rasa, tak sia-sia aku ikut dengan sepupuku melihat senja dan mengelilingi taman kota dan berakhir di kedai kopi.
Setelah sampai depan rumah, aku sudah di sambut dengan bunda yang berada di depan pintu masuk. Ceramah lagi, ucapku dalam hati.
"Habis kemana Za?" Tanya bunda pada Za
"Habis jalan-jalan bunda"
"Ya sudah ayo masuk, kamu tidur sini kan?"
"Iya bunda."
"Makanya tidur disini jangan dirumah mama terus" ucap bunda ku seraya merangkul bahu Za yang sudah dianggap sebagai anak laki-lakinya. Dan ya seperti inilah, aku pun terabaikan jika sudah ada dia, menyebalkan sesuai dengan tingkahnya yang usil.
Setelah memasuki kamarku, aku melihat sekeliling yang terlihat ada yang sedikit perubahan saat terakhir kalinya aku meninggalkan kamarku ini, buku yang sudah kembali tersusun rapi dan beberapa alat tulis yang sudah berada dalam tempatnya. Pertikaian ku dengan bunda saat waktu lalu menyebabkan jarak kami semakin jauh, jika seperti ini biasanya Ayah yang akan menjadi jembatan kami untuk kembali memperbaiki hubungan yang renggang, sayangnya itu hanyalah dulu. Saat-saat Ayah masih nyata ada diantara kami.
Bagi mereka pertikaian kecil hanyalah sebuah masalah yang dianggap ringan, hanya saja jika terus menerus terjadi seperti itu apakah rasa muak yang menghampiri tidak menjadikan sebuah bumerang? Hingga menumbalkan pertikaian yang besar. Hal yang dianggap biasa saja terkadang itu adalah hal yang luar biasa. Tolak ukur sesuatu masalah tidak bisa di jelaskan hanya karena pertikaian yang ringan, nyatanya dibalik itu semua masing-masing dari diri terluka dengan sendirinya. Aku kerap melihat beberapa pasangan suami istri yang bertikai dengan alasan yang kerap dianggap ringan hanya saja jika hak itu terjadi seumur hidup bukankah itu adalah masalah yang besar? Siapa yang ingin menikah dengan seseorang yang tidak terbuka pikirannya dan menganggap masalah ringan biasa saja dan membiarkannya seolah-olah meyakini bahwa akan kembali seperti semula dengan sendirinya dan tanpa disadari justru hal itu adalah melukai diri dan ketika benar-benar sudah muak atas apa yang terjadi perpisahan lah solusinya saat itu terjadi. Padahal sudah jelas sekali sa'at ketika memutuskan untuk menuju arah pernikahan seharusnya masing-masing dari diri mengetahui bahwasanya menikah itu bukan untuk saling mau di mengerti oleh pasangan tanpa berkebalikan nya, tidak ada salahnya tipe ideal memiliki pasangan sesuai apa yang diinginkan, hanya saja ketika menikah yang dibutuhkan itu saling mengerti dan memahami satu sama lain, dan memahami hukum-hukum pernikahan dan kewajiban dalam berumah tangga. Bukan berlomba-lomba saling ingin dimengerti tanpa menyadari diri, menikah itu menyatukan dua jiwa. Itulah sebabnya jika ingin menikah seharusnya bukan hanya mempersiapkan pinansial saja akan tetapi kesiapan dalam pengetahuan tentang berumah tangga juga diperlukan.
Setelah selesai bergulat dengan pemikiran sejenak menenangkan pikiran dengan melihat keindahannya malam, teras. Salah satu tempat tujuanku malam ini, setelah beranjak dari tempat tidur aku mengambil salah satu novel yang akan menemaniku menikmati malam. Setelah melihat sekeliling tampaknya mereka sudah tertidur pikirku, lantas aku bergegas menuju teras rumah. Hawa dingin yang seakan menusuk tulang-tulangku tak ku hiraukan itu. Biarlah, dengan dihangatkan kembali akan menjadi seperti semula, pikirku.
"Belum tidur?"
Aku mengalihkan arah pandangku dan melihat ke arah samping setelah mendengarkan seseorang yang berbicara padaku, Za rupanya.
AKU MENYUKAI LUKA
Jangan lupa pendapat kalian yang dibebaskan untuk berpendapat di cerita saya ini
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU MENYUKAI LUKA
ChickLitSUDAH END Rentetan masalah silih berganti berdatangan, entah itu mampu dihadapi atau berserah diri pada sang ilahi. Ketika sesuatu hal sudah hilang bukankah akan terasa hampa, lalu bagaimana dengan dirinya yang telah kehilangan sang nahkoda hingga k...