Terkadang kita merasa dipermainkan oleh takdir, padahal kenyataannya tidak. Kita saja yang terlalu menaruh ekpektasi berlebih pada takdir yang berakhir tak sesuai dengan ekspektasi kita
_Alaca Karanalik_Seyara17
*
*
*
*Selamat menikmati
Diam dan Bacalah menggunakan hati.......[Halo, assalamualaikum bun] sapaku pada bunda yang berada di sebrang
[Waalaikumussalam, bagaimana keputusannya Na] ucap Bunda To the point, bisakah Bunda berbasa-basi terlebih dahulu sebelum memulai percakapan intinya.
[Ana terima, akan tetapi syarat yang aku ajukan adalah. Aku tidak ingin bertunangan] ucapku terhenti, seraya menghela nafas panjang aku melanjutkan kembali ucapanku [Aku ingin menikah, bukan bertunangan]
[Iya nanti bunda bicarakan dengan pamanmu, untuk persiapan pernikahan bunda, mama, paman dan calon mertuamu dengan yang lainnya yang akan mengatur semuanya]
[Iya] ucapku pada Bunda, setelah itu panggilan terputus.
Apakah beberapa bulan kedepan aku akan menjadi seorang istri? Bahkan aku saja tidak mengetahui seperti apa calon suamiku itu, seketika aku kembali teringat percakapanku dengan Kala.
"Aku lebih memilih untuk dijodohkan"
"Disaat yang lain ingin menikah sesuai dengan pilihan sendiri, kamu lebih memilih untuk dijodohkan. Dan bukankah resiko jika dijodohkan lebih rentan untuk berpisah?"
"Tidak masalah, bukankah aku takan tersakiti mendalam. Dan, jika pemikiran mu tentang yang dijodohkan lebih rentan dengan perpisahan, bukankah pilihan sendiripun bisa bernasib sama? Aku lebih menyukai opsi dijodohkan, mungkin awal aku dengannya akan menjadi asing, belum mengenal satu sama lain. Dan untuk itu bisa memilih opsi selayaknya berteman."
Mengingat percakapan itu, aku menyesal sekali mengatakan hal itu pada Kalavati, Ya Rabb, aku benar-benar menyesal mengatakan hal seperti itu, karena sa'at ini aku akan merasakannya.
****
Dua bulan telah berlalu, semua persiapan pernikahan diriku sudah diatur dengan sebaik-baiknya oleh pihak keluargaku dan keluarga calon suamiku, entah mengapa perasaan bimbang dengan keputusanku menerima lamaran pria tersebut. Esok adalah hari dimana hari pernikahan ku dengan dia yang tak ingin ku ketahui siapa dirinya, aku tidak ingin membatalkan semua persiapan yang telah tersusun rapi, hanya saja perasaan bimbang kian menghantui. "Ya Rabb, berikanlah aku petunjuk jika keputusanku ini adalah sebuah kesalahan," ucapku dalam hati.
Melihat halaman rumah sudah terpasang tenda dengan pelaminan yang tampak indah, tak terasa derai air mata mengalir membasahi pipi dan Khimar ku.
"Ana" panggil kakek dari arah belakang ku, dengan cepat aku menghapus tetes air mata yang telah membasahi pipiku
"Iya kek, ada yang bisa Ana bantu?" Tanyaku pada kakek seraya tersenyum, aku tidak ingin melihatnya curiga karena menatap wajahku. Hanya saja sepertinya hal itu tidak berhasil, dengan pandangan menelisiknya kakek berkata kepadaku
"Kamu menangis Na? Matamu sembab" Ucap Kakek, aku hanya bisa tertunduk mendengarkan ucapan darinya
Seakan mengetahui apa yang aku rasakan Kakek kembali berucap, "Apa yang membuatmu bimbang?"
"Semuanya Kek, apakah keputusan ku ini adalah benar?"
"Apakah kamu mengetahui siapa yang akan menjadi pendamping dirimu?" Tanya Kakek padaku, apakah aku salah jika tidak ingin mengetahui siapa yang akan menjadi jodohku, dan sebentar lagi dia akan menjadi suamiku? Dari lubuk hatiku paling dalam, sebenarnya aku benar-benar tidak ingin menikah, Ya Rabb ampunilah hambamu ini.
"Tidak, aku tidak ingin mengetahuinya." Ucapku seraya memandangi Kakek
Terlihat dirinya menghembuskan nafas panjang, "Itu artinya kamu tidak mengetahui siapa dirinya, bahkan namanya saja kamu tidak mengetahuinya. Apakah kamu benar-benar tidak peduli siapa yang akan menjadi suamimu?"
"Tidak Kek, aku tidak ingin mengetahuinya. Jika takdir ini yang terbaik untukku maka akan aku terima, hanya saja masih ada rasa ragu yang menghampiri diriku, setelah melihat pelaminan itu." Ucapku seraya menunjuk pelaminan yang berada tepat dihadapnku dan kakek
"Nak, siapapun yang akan menjadi suamimu entah kamu mencintainya atau tidak. Maka hormatilah dia, ridho mu akan berpindah pada dirinya, janganlah kamu tinggikan nada bicaramu dihadapannya. Jika dirinya melakukan kesalahan padamu, beritahu ia dengan baik-baik saja, ta'ati perintahnya, jika kamu memiliki pemikiran yang tidak sejalan dengan pemikirannya maka bertahulah dirinya beserta alasanmu. Seseorang yang benar-benar pemimpin ia akan menghargai dirimu dan bukan merendahkan dirimu. Kakek sudah melihat dan mengetahui siapa yang akan menjadi suamimu nak, dia seseorang yang baik untukmu dia bisa membimbing dirimu dan dia bisa memuliakan dirimu sebagai istrinya, dia bisa menghormati dirimu sebagai istrinya. Nak, cinta itu akan datang seiring berjalannya waktu, mungkin saat ini kamu tidak mencintainya bukan berarti untuk kedepannya kamu masih saja tidak mencintainya. Ingat, sang maha kuasa maha membolak-balikkan hati seorang manusia, jadilah istri yang baik untuknya."
Mendengar ucapannya air mataku semakin deras turun membasahi pipi, Ya Rabb, maafkan hati ini yang berkali-kali meragukan engkau. "Terimakasih Kek, terimakasih karena telah memberikan nasehat untukku. Setidaknya sa'at ini hatiku sudah kembali tenang, setelah mendengarkan perkataan kakek."
"Bukankah sudah tugas dari seorang Kakek pada cucunya." Ucap kakek seraya tertawa, mendengarkan tawanya membuatku mengingat Ayah, apakah ketika beliau masih ada dia akan seperti Kakek yang memberikan nasehat untukku?
"Sudah-sudah, jangan melamun. Lebih baik, kamu masuk ke dalam dan beristirahat. Esok akan menjadi hari yang melelahkan bagi dirimu."
Aku pun mengikuti apa yang Kakek katakan.🌹🌻🌹🌻
Pagi hari telah tiba, matahari yang menampakkan dirinya dengan Kilau cahaya yang tampak terang, seakan turut bahagia menyaksikan pernikahan diriku. Sejak sedari subuh, hatiku terasa tak menentu. Entah mengapa aku menjadi gelisah karena dalam beberapa jam lagi, aku akan mengetahui siapa yang menjadi suamiku. Akad akan dilaksanakan setelah shalat Jum'at itu atas dasar permintaan dari calon suamiku, aku pun menyetujuinya. Alunan musik khas yang tengah diputar di beberapa acara pernikahan. Diantaranya Habibi ya nour el ain dan Kilmah Wa Law Jabr Khatir, yang dialunkan. Membuat ku semakin gelisah.
Beberapa pekerja MUA yang tengah merias diriku dengan permintaan dariku untuk tidak terlalu membuat make-up ku terlihat lebih mencolok.
Sudah memasuki waktu jam 11.00 siang, musik yang mengalun indah sudah di matikan, mengingat sebentar lagi memasuki waktu shalat Jum'at. Itu artinya sebentar lagi izab qobul akan dilaksanakan. Mengapa hati ini semakin gelisah tak menentu ya Rabb
"Mbak, gerogi ya." Tanya salah satu perias yang menghias diriku, aku hanya tersenyum menjawabnya. Karena sa'at ini entah mengapa satu kata pun tak dapat aku ungkapkan
"Saya juga dulu seperti itu, sebentar lagi akan menemui pujaan hati" ucapnya seraya tertawa, andai mereka tau bahwa aku tidak pernah melihat ataupun mengetahui siapa yang akan menjadi suamiku. Karena jika ada diantara keluarga ku mengatakannya aku akan membatalkan pernikahan ku.
Beberapa menit berlalu, suara adzan yang ke dua sudah dikumandangkan dengan dilanjutkan beberapa menit kemudian suara khatib yang menyampaikan khutbahnya. Setelah selesainya khutbah terdengar muazin mengumandangkan iqamah, sebagai tanda dimulainya salat Jumat. Hingga serangkaian shalat Jum'at sudah dilaksanakan dari awal sampai diakhiri dengan do'a yang menandakan sholat Jum'at telah selesai dilaksanakan. Aku beranjak dari kursi yang aku duduki sa'at diriku telah selesai dirias, untuk menunaikan ibadah shalat Dzuhur karena sebelum make-up aku meminta izin terlebih dahulu untuk mengambil wudhu, bersyukur sekali bisa terjaga hingga aku bisa melaksanakan shalat Dzuhur. Setelah menunaikan ibadah shalat Dzuhur aku dikejutkan dengan kedatangan Adzi yang memelukku. Aku dengannya saling melepas rindu, bercerita banyak hal hingga dirinya tidak pernah terpikirkan bahwa aku akan menikah terlebih dahulu dari dia. Setelah berbincang-bincang dengan Adzi....
AKU MENYUKAI LUKA
Jangan lupa pendapat kalian yang dibebaskan untuk berpendapat di cerita saya ini
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU MENYUKAI LUKA
ChickLitSUDAH END Rentetan masalah silih berganti berdatangan, entah itu mampu dihadapi atau berserah diri pada sang ilahi. Ketika sesuatu hal sudah hilang bukankah akan terasa hampa, lalu bagaimana dengan dirinya yang telah kehilangan sang nahkoda hingga k...