EXTRA PART

2.3K 25 1
                                    

Indiana memundurkan badan, bersandar pada kursi putar. Lehernya pegal. Matanya berkunang-kunang. Sembari mengerjap untuk memfokuskan pandang, dia memukul-mukul perpotongan leher dengan kepalan tangan.

Nyaris lima jam Indiana memelototi layar, membaca satu per satu naskah yang masuk. Sejak platform AT Menulis rilis, banyak penulis yang mengunggah naskah mereka dengan harapan bisa mendapat kontrak eksklusif. Beberapa penulis di antaranya, bahkan mengajukan kontrak secara langsung.

Tidak semua naskah bisa lolos dengan mulus. Sebagai editor akuisisi, Indiana menyeleksi naskah dengan ketat. Dia ingin semua naskah yang terkontrak benar-benar naskah berkualitas. Dia tidak ingin meloloskan naskah asal-asalan. Apalagi hanya berpatokan pada jumlah pembaca yang banyak. Meskipun, ya ... tidak munafik sih, naskah yang bagus dengan viewers banyak tentu memiliki poin lebih tersendiri.

Terdengar agak ribet memang, tetapi dia orang pertama yang akan meloncat kegirangan ketika naskah pilihannya diterbitkan. Terlebih bila sampai laku banyak saat open pre order pertama. Padahal dia bukan pemilik naskah. Ya, anggap saja Indiana itu ibarat agency yang sedang mencari artis berbakat. Saat salah satu artisnya berhasil debut, tentu dia ikut sujud syukur penuh sukacita.

Glabela Indiana mengerut ketika meraih mug putih bergambar pohon kaktus di kedua sisinya. Dia memiringkan kepala, mengingat-ingat kapan dia menandaskan kopinya.

Satu desahan panjang dari sisi kirinya berhasil mengalihkan atensi Indiana. Dia menatap wanita berjilbab abu-abu di sampingnya. Wanita itu tengah menyandarkan kepala sambil menengadah. Seakan-akan bisa meramal, Indiana mulai menghitung dalam hati sampai angka tiga.

“Penulis pemula tuh, nggak bisa apa ya, ambil tema atau konflik yang relate sama real life? Ya, tahu sih, tema dan konflik yang unik emang lebih menarik. Tapi nggak yang susah dinalar logika juga.”

Indiana menarik senyum. Beberapa bulan ini dia sudah terbiasa mendengar Nafiza mengeluh. Nafiza yang juga bekerja sebagai editor akusisi itu tidak segan mengeluhkan kekurangan naskah yang masuk.

Dulu Indiana juga begitu. Seiring berjalannya waktu, dia tak lagi banyak mengeluh dan memilih bersikap maklum. Mau dikomentari bagaimanapun, yang namanya penulis pemula pasti punya sifat bebal dan merasa tulisannya sudah paling bagus. Asal masih bisa dan mau dibimbing, artinya penulis tersebut memang ingin maju.

“Kali ini kamu baca naskah siapa lagi?” Indiana menanggapi.

“Rintik Sendu.”

“Oh, naskah punya dia,” gumam Indiana. “Yang judulnya How to be a Crazy Rich Woman itu, ya?”

Nafiza buru-buru menegakkan punggung, lalu menyerongkan badan ke arah Indiana. Mendengar satu judul yang Indiana sebut, rasa penasaran terpancar di wajahnya.

“Mbak Indi udah baca?”

Indiana mengangguk.

“Sampai bab berapa?”

“Mmm ... masih tiga bab awal, sih. Aku belum baca lagi. Niatnya, nunggu dia update agak banyakan, baru balik mampir. Udah aku masukin favorite dan waiting list.”

“Please, mending nggak usah!”

Nafiza melarang dengan suara lantang. Indiana sampai terlonjak kaget karenanya. Wanita itu bahkan membuat tanda silang dengan kedua tangan di depan dada, mengisyaratkan agar Indiana membatalkan niatnya. Terang saja Indiana penasaran dengan alasan Nafiza.

“Kenapa, sih? Blurb dan tiga bab pertamanya menarik dan bikin penasaran kok.”

“Ya memang bagus. Awalnya,” ujar Nafiza dengan wajah tertekuk dan raut kecewa. “Makanya, aku lanjut baca. Tapi dari pertengahan sampai ending, penyelesaian konfliknya menurut aku kurang relate aja sama kehidupan nyata. Kayak apa, ya?”

COFFEE BREAK | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang