Republish | 14/03/20
Pagi, Dears! ^^
Kaget ya lihat Hara update pagi-pagi?
Sebenarnya Hara masih mau nungguin sampai 25,5K viewers. Tapi, karena hari ini Hara lagi senang dan takutnya nanti malam enggak bisa update karena sesuatu hal, jadi Hara update duluan. Tolong targetnya dikejar, ya! Kan Hara sudah bayar di muka. Hehehe
Terima kasih untuk 25K lebih viewers dan yang sudah follow Hara. Kalian luar biasa! ❤
Bab selanjutnya akan Hara update setelah 26,5K viewers atau 850 followers, ya ...
So, here we are!
Selamat bersenang-senang. Jangan lupa putar mulmednya biar syahdu!
Happy reading! ^^
================
Pada dasarnya, tidak butuh hal besar untuk membuat Kissy tergugu. Hatinya yang telanjur remuk, adalah sasana terbaik menggilas seluruh kekuatan benteng yang susah payah dia bangun hanya dalam satu jentikan jari. Lihat saja, dalam hitungan detik Kissy sudah tumbang berlinang air mata. Kodratnya sebagai wanita memberontak meminta keadilan dan menuntut kebahagiaan. Namun, tak keberdayaan dirinya membuat dia lagi-lagi terpaksa mengais reruntuhan hatinya yang tak lagi bisa dibentuk. Yang bisa dia lakukan selama ini adalah memoles sendu dengan tawa, mengubah air mata duka menjadi sukacita.
Kissy terjerembab di atas dinginnya lantai, membenturkan dahinya pada tepi nakas tanpa mengurangi sedu sedannya. Hilang sudah segala keangkuhan yang sepanjang waktu dia perlihatkan. Dalam kamar ukuran tiga kali lima meter itu, dia tak lebih dari seorang wanita lemah yang sudah kalah telak. Jiwanya babak belur akibat takdir yang menghajarnya tanpa ampun.
"Non Kissy ...," panggil Bi Narsih sedih. Wanita paruh baya itu seakan-akan bisa merasakan kukungan penderitaan Kissy. Refleks, Bi Narsih ikut bersimpuh, menangis seraya memeluk dan mengelus pundak Kissy berulang kali. Tidak ada kalimat penenangan yang beliau lontarkan karena Bi Narsih tahu benar kalau deretan kalimat berisi rasa simpati itu sudah tak lagi Kissy butuhkan.
Air mata Kissy sudah tak lagi kerap. Namun, masih tersisa isakan dan deru hidungnya yang tersumbat. Perlahan, dia bangkit dan meletakkan figura yang sedari tadi dia peluk pada tempatnya. Tangannya bergerak mengusap sudut mata, pipi, dan dagunya yang basah.
"Aku sudah enggak apa-apa, Bi," bual Kissy, tak ingin terus dikhawatirkan.
Bi Narsih yang ikut berdiri di belakangnya hanya mengangguk seraya mengeringkan pipinya dengan ujung lengan baju yang dia kenakan. Kemudian, dia menyentuh pundak kiri Kissy, membuatnya berbalik. "Di bawah ada tamu. Kalau Non Kissy enggak mau diganggu, Bibi bisa bilang Non Kissy lagi istirahat," lapornya sambil tersenyum.
Muncul lipatan-lipatan halus pada glabela Kissy, memcari sebuah nama yang memungkinkan menjadi tamunya kali ini. Lalu sebuah nama muncul begitu saja. Masih dalam keadaan sesenggukan, Kissy bertanya, "Mas Rama balik lagi? Tapi dia enggak ada bilang mau ke sini lagi. Biar aku temui saja, Bi. Aku takut ada hal penting yang lupa dia sampaikan."
"Tapi Non, dia-"
"Aku enggak apa-apa, Bi. Tolong Bibi buatin minum, ya? Ayo ke bawah!"
Kissy meninggalkan Bi Narsih lebih dulu menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya yang sembab secepat kilat. Usai itu, Kissy terburu-buru keluar kamar untuk menemui tamu, meninggalkan Bi Narsih yang masih bergeming sembari memandangi foto yang hampir memenuhi salah satu tembok di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
COFFEE BREAK | ✔ | FIN
General FictionKissy sangat menggilai kopi. Baginya, kopi adalah konsumsi wajib sebelum dia bertarung dengan kata-kata yang akan mengudara menemani pendengar setianya. Lewat kejadian mendongkolkan, Kissy akhirnya mengenal dan dekat dengan pemilik kafe di seberang...