Republish | 08/03/20
Malam, Dears!
Enggak nyangka, beberapa hari enggak buka wattpad udah 2K lebih aja. Aku pikir bakalan lama nyampe 2K nya, mengingat cerita ini makin lama makin sepi pembaca.
But, thanks for you yang sudah baca cerita ini sampai 2K.
Mohon maaf atas keterlambatannya.
Happy reading!
Seperti biasa,
Budayakan vote sebelum membaca,
And leave comment di akhir cerita ...Enjoy ....
-----------------
"Kapan pulang?" Suara berat Abrisam tiba-tiba menyapa sesaat setelah pintu dibuka. Dia menghampiri wanita muda yang baru saja membukakan pintu, lalu merentangkan kedua tangannya lebar. Dalam sekejap, tubuh mungil wanita itu berada dalam kukungan Abrisam.
"Seminggu yang lalu," jawab wanita itu sembari mengelus punggung Abrisam dengan sayang. Dia melepas pelukan Abrisam demi menatap wajah pria yang sangat dia sayangi.
Abrisam tersenyum simpul, mengerti akan tatapan prihatin yang dilemparkan wanita di hadapannya. "I'm fine, Mi. Look!" Dia mundur satu langkah. "See? Jadi, mana Amora?" tanya Abrisam, melongokkan kepala ke seluruh penjuru ruangan, mencari sosok yang ditanyakannya.
"Amora tidur. Seharian dia berada di rumah Papa dan Mama," jawab wanita yang dipanggil Mi itu.
Abrisam mengangguk mengerti. "Aku lihat dia dulu. Enggak apa-apa, 'kan? Kangen," ucapnya meminta izin, lengkap dengan tatapan memohonnya.
Namun, sebelum tungkainya beranjak, wanita yang sedari tadi hanya menatapnya itu menahan siku Abrisam dengan sigap. "Tunggu dulu. Aku mau ngobrol sama kamu sebentar, Bi."
"Amira ... please. Kita bisa ngobrol nanti setelah aku lihat Amora. Gimana?" tawar Abrisam.
Amira menyilangkan tangan di depan dada, menggeleng tegas. "Enggak ada ketemu Amora sebelum kamu dengerin apa yang pengin aku omongin."
Abrisam sontak mengusap wajahnya kasar. Dia lantas melewati Amira begitu saja, menuju sofa di ruang tamu. Dia mengempaskan tubuhnya di sana. Sebuah dengkusan kasar pun menyusul dari bibir tebalnya yang keunguan.
"Kata Mama, kamu enggak pernah pulang. Benar?" Amira sudah mengambil tempat di sebelah Abrisam.
Tak menjawab, Abrisam memilih menyandarkan kepalanya di sofa. Matanya terpejam dan sengaja ditutup dengan lengan kanannya. Sejujurnya, dia sedang tidak ingin membahas hal itu. Membicarakan orang tua, bukanlah topik yang berujung baik baginya. Dia masih ingat bagaimana Mama merongrongnya akan sesuatu yang belum bisa Abrisaam wujudkan. Sementara itu, menjanjikan sesuatu yang tak pasti bukanlah gaya dan prinsip hidup seorang Abrisam.
Merasa tak diacuhkan, Amira menyingkirkan lengan yang menutupi wajah Abrisam. Dengan lembut dia bersuara, "Mama minta aku buat bujuk kamu pulang. Dia kangen sama anak bungsunya ini."
Abrisam membuka mata dan menoleh. "Mama enggak mungkin minta aku cuma pulang. Aku tahu banget sifat Mama. Lagi pula, aku sibuk banget ngurus kafe, Mi. Nanti sajalah kalau sudah ada waktu."
"Kenapa kamu enggak coba buat ngertiin keinginan Mama? Kamu itu benar-benar butuh sentuhan wanita. Lihat hidup kamu, Bi! Kacau kayak gini."
Abrisam hanya meringis, lalu mengendikkan bahu. "Aku enggak semenyedihkan itu. Aku bersenang-senang dengan beberapa wanita kok. Tapi memang belum ada yang cocok. Kamu sih keburu nikah. Coba kalau kamu belum nikah, kan bisa aku nikahin," kelakar Abrisam seraya tergelak lebar.
Amira berdecak keras. Dia memutar bola matanya jengah. Kelakar Abrisam sama sekali tak mengundang tawanya. Pasalnya, dia terlampau mengenal Abrisam melebihi diri pria itu sendiri.
"Really? You can't lie to me, Bi! Kamu boleh masang tato di tubuh kamu dan sering ke gym buat manjain otot-otot kamu itu. Tapi main wanita, sama sekali bukan gaya kamu," tukas Amira tegas.
"Iya, karena itu gaya-"
"Bi, cukup!" Wanita itu segera memotong perkataan Abrisam disertai pelototan tajam.
Abrisam mengangkat kedua tangan, tanda menyerah. Oke, barusan dia saalah bicara. Tidak seharusnya dia mengungkit sesuatu yang sudah lama berlalu.
Namun, Amira adalah wanita yang sangat mudah dibaca. Abrisam bahkan masih bisa melihat jelas luka yang Amira rasakan. Luka itu seakan menghantui wanita itu kemanapun dia pergi, meskipun saat ini keadaannya sudah jaauh lebih baik daripada pertama kali.
Amira memalingkan wajah, menghalau Abrisam agar tak melihat matanya yaang berkaca-kaca. Napasnya mendadak memburu kala mengingat masa itu. Rasa kecewa, marah, dan sedih mendadak berkumpul, menggulung celah-celah kebahagiaan yang setiap saat coba dia ciptakan.
Tiba-tiba, Abrisam menggenggam kedua tangan Amira. Dia bertanya pelan, "Kamu masih ingat janjiku, Mi?"
Amira pun menoleh, memandang Abrisam penuh pertanyaan yang sontak mengundang seutas senyum pada sudut bibir pria itu.
"Aku janji akan selalu jagain kamu dan Amora. Kalian dua wanita yang akan aku jaga dan paatikan kebahagiaannya setelah Mama. Aku sendiri yang akan pastikan kebahagiaan kalian tidak akan direnggut lagi," ujar Abrisam.
Sebulir cairan bening menetes di pipi Amira yang putih. Pucuk hidungnya memerah karena menahan isak tangis. Sebisa mungkin, dia meredakan emosi yang mendadak berkecamuk dalam dada. Dia ingin mengatakan bahwa sekarang dia sudah baik-baik saja pada Abrisam. Dia tidak ingin Abrisam memegang tanggung jawab yang bukan milik pria itu.
Akan tetapi, sesaat sebelum Amira mengutarakan argumennya, ponsel Abrisam berdering. Gerak matanya mengikuti gerakan Abrisam mengangkat ponsel dan berbicara singkat.
"Maaf, Mi. Aku enggak bisa mampir lama. Aku harus balik ke kafe sekarang," kata Abrisam seraya menegakkan tungkai, bersiap pamit.
"Apa sesuatu terjadi di kafe?"
Abrisam menipiskan bibir. "Yeah, maybe. Kamu tahu sendiri gimana sifat Abang. Dia di kafe. Aku enggak nyangka dia baru nemuin aku sekarang setelah ...." Abrisam tak berhasil melanjutkan ucapannya. Ponselnya kembali berdering, menampilkan nama seseorang yang sangat bertolak belakang dengannya. "See?"
Amira tertawa sumbang. Air matanya sudah susut, meskipun tak sepenuhnya. "Ya sudah. Kamu hati-hati," pesannya seraya mengantarkan Abrisam ke pintu depan.
"Sampaikan salamku sama Amora, ya. Maaf, Abinya belum sempat ketemu. Nanti aku mampir lagi. Kalau butuh apa-apa dan enggak ada yang bisa diandalin, kamu bisa telepon aku. Oke?" titah Abrisam ketika sudah di ambang pintu. Dia melempar senyum tipis sebelum berbalik dan mengemudikan mobilnya meninggalkan pelataran rumah yang tak lagi kosong karena penghuninya memutuskan kembali.
Tbc
Pertanyaannya :
Siapa Amira?
Abangnya Abrisam mau ngapain?
Mau ngopi, Dears! ^^
Big hug,
Vanilla Hara
14/10/19
KAMU SEDANG MEMBACA
COFFEE BREAK | ✔ | FIN
Ficción GeneralKissy sangat menggilai kopi. Baginya, kopi adalah konsumsi wajib sebelum dia bertarung dengan kata-kata yang akan mengudara menemani pendengar setianya. Lewat kejadian mendongkolkan, Kissy akhirnya mengenal dan dekat dengan pemilik kafe di seberang...