Republish | 13/02/20
Usai melahap paket makan siang yang belum tahu pasti siapa yang mengirimkannya, Kissy turun ke lantai dua untuk menemui para karyawannya. Selama ini, Kissy memang tinggal di sebuah butik tiga lantai. Untuk lantai satu, dia menyulapnya menjadi ruang tunggu, ruang meeting, dan ruang fitting untuk klien yang menginginkan jasanya. Satu lantai di atasnya digunakan sebagai ruang produksi alias bagaimana karyawannya mengaplikasikan setiap desain yang Kissy buat. Untuk lantai teratas, sengaja dialokasikan sebagai ruang kerja sekaligus tempat tinggal Kissy serupa apartemen sederhana.
"Siang, Mbak Iccy!" sapa gadis berambut keriting dengan wajah bulat yang tengah menjahit beberapa bahan. Dia menghentikan sebentar pekerjaannya ketika melihat Kissy masuk.
"Siang, Mer," balas Kissy dan segera menuju Gendis yang terlihat sibuk memotong kain berwarna putih gading.
"Eh, Mbak Kissy. Sudah mendingan, Mbak?"
Kissy tersenyum. Sejak dia membuka butik dan memperkerjakan beberapa karyawan untuk meembantunya, dia seperti menemukan keluarga baru. Mereka bukan sekadar karyawan, melainkan saudara bagi Kissy. Sebisa mungkin, Kissy melakukan yang terbaik untuk usahanya agar dapat memenuhi hak mereka.
Lewat satu kali anggukan, Kissy tak menjawab lagi pertanyaan Gendis. Dia semakin mendekat dan menyentuh bahan yang batu saja Gendis potong.
"Ini buat tudung gaun yang baru fitting tadi, Ndis?" tanyanya.
"Iya, Mbak. Semua oke sama gaunnya. Tapi klien tadi minta kalau tudungnya agak dipendekin. Sedikit terlalu panjang katanya." Gendis menunjukkan pekerjaannya dengan bangga. "Oh, iya, Mbak Kissy juga diundang sama klien itu pas acara."
"Saya?" Kissy menunjuk dirinya sendiri.
"Iya. Undangannya kayaknya sudah Niar letakkan di meja kerja Mbak di atas."
Kissy terdiam sebentar seolah sedang berpikir. Dia lantas mengangguk dan melanjutkan langkah mengecek pekerjaan yang lain.
"Itu sudah rapi potongannya, Ndis. Minta Maria buat jahit tepinya lalu rapikam seperti biasa," tanggapnya sebelum benar-benar beranjak meninggalkan Gendis.
"Siap, Mbak!" sahut Gendis penuh semangat.
Kissy berhenti di sebuah gaun pengantin yang masih setengah jadi. Gaun itu pesanan klien satu bulan lalu dan sampai sekarang belum rampung karena klien itu tidak bisa dihubungi setelah mengatakan ingin melakukan pengukuran ulang karena tubuhnya mendadak gendutan.
"Mbak?" Niar mendekat dan berdiri di samping kiri Kissy.
"Masih belum ada kabar dari Handayu, Niar?" tanya Kissy tanpa mengalihkan tatapannya sedikitpun.
Niar menggeleng kecil lalu menjawab, "Belum, Mbak. Handayu dan Jatmiko sama-sama enggak bisa dihubungi setelah lima hari lalu meminta pengukuran ulang. Anak-anak jadi bingung ingin melanjutkan gaun mereka atau tidak karena kalau sampai pengukuran itu jauh berbeda, maka gaun ini enggak bisa dipakai nantinya."
Kissy bergeming, menimbang keputusan yang tepat. Dia tidak mungkin menelantarkan gaun pengantin yang belum jadi itu. Baginya, setiap gaun memiliki nyawa tersendiri setelah selesai digarap, terlepas gaun itu ada pemiliknya atau belum. Jadi, dia tak sampai hati membiarkan sebuah gaun berada dalam keadaan hidup segan mati tak mau. Itu seolah melukai harga dirinya sebagai seorang designer.
"Sudah hubungi keluarga mereka?"
"Sudah. Saya dan Fadil bahkan sudah ke rumah Handayu dan Jatmiko berbekal alamat yang kami dapatkan dari Raina."
Helaan napas Kissy terdengar lebih berat. "Lalu?"
Niar terdiam sejenak. "Nothing. Kita enggak dapat apa-apa. Kata satpam rumah mereka, keluarga Handayu dan Jatmiko lagi enggak ada di rumah. Jadi, saya berinisiatif menghubungi WO mereka. Dan ..." Niar menjeda ucapannya sembari meneguk ludah, membuat Kissy menileh dan menatapnya penasaran. "Menurut penuturan Pramesti Atmaja, penanggung jawab WO mereka, Handayu dan Jatmiko sempat membatalkan kerjasamanya meskipun beberapa jam kemudian menelepon kembali untuk minta maaf dan meminta WO terus melanjutkannya."
Kissy menatap gaun itu kembali dan membisu untuk beberapa detik. "Selesaikan gaun ini apa pun yang terjadi. Andai Handayu dan Jatmiko memutuskan untuk membatalkan kerjasamanya dengan kita, gaun ini bisa kita pajang di lantai bawah. Siapa tahu menemukan jodohnya. Gaun dengan rancangan seindah ini enggak berhak dicampakkan begitu saja," putus Kissy bertepatan dengan telepon yang berdering di sudut ruangan.
Niar mengangguk paham dan segera mengangkat telepon. Setelah berbincang sejenak, dia kembali menghampiri Kissy. "Mbak, Raina telepon dari lantai bawah. Katanya, Mas Rama ada di ruang tunggu mau ketemu Mbak."
Tbc
Happy reading! ^^
Big hug,
Vanilla Hara
24/03/19
KAMU SEDANG MEMBACA
COFFEE BREAK | ✔ | FIN
Ficção GeralKissy sangat menggilai kopi. Baginya, kopi adalah konsumsi wajib sebelum dia bertarung dengan kata-kata yang akan mengudara menemani pendengar setianya. Lewat kejadian mendongkolkan, Kissy akhirnya mengenal dan dekat dengan pemilik kafe di seberang...