Bab 23 Bagian 2

8.3K 913 89
                                    

Republish | 13/03/20

Selamat malam, Dears! ^^

Bagaimana kabar kalian malam ini?

Terima kasih untuk 23K viewers dan yang sudah follow Hara. Meskipun belum capai target, Hara update duluan sebagai hadiah buat kalian yang luar biasa! ❤

Bab baru akan Hara update setelah 24,5K viewers atau 850 followers, ya!

So, here we are ...

Mari bersenang-senang dengan berbagai spekulasi terhadap Mas Abi atau tokoh lain dalam cerita ini Bagi kalian yang mendapatkan klu yang Hara tebarkan, silakan lontarkan hujatan paling keren. Ingat, paling keren! 😂

Jangan lupa putar mulmednya!

Happy reading! ^^

=================

Menjelang makan siang, Historical Cafe selalu ramai. Setiap kursi yang ada di lantai satu penuh. Setiap karyawan bekerja cepat, tanggap, dan cermat. Tidak ada kendala berarti sehingga Abrisam yang baru datang langsung meemutuskan untuk naik ke lantai dua.

"Bagaimana rasanya bermain peran dalam permainanmu sendiri?"

Abrisam tertegun mendapati sambutan yang tak pernah dia harapkan saat baru menjejakkan tungkainya di lantai favoritnya. Dalam jarak pandang Abrisam, Adhiyaksa berdiri membelakanginya dan lebih fokus mengamati aktivitas jalanan di bawah lewat kaca jendela. Pakaian kakaknya itu tak lagi perlente seperti biasa, malah terkesan sangat kasual kali ini. Jaket kulit hitam dan celana jeans senada membalut tubuh menjulangnya. Rambutnya tak tersentuh pomade, dibiarkan kering dan acak-acakan, memberikan kesan lebih muda pada usia matangnya.

Abrisam menggerakkan tungkai mendekat. Dia sempat merilekskan setiap syarafnya yang mendadak tegang. Bagaimanapun, dia masih ingin menghalau kemungkinan-kemungkinan buruk yang mampir dalam benaknya.

"Kapan Kakak datang? Sudah lama menunggu?" tanyanya santai.

Adhiyaksa terkekeh mendengar kepura-puraan yang ditampilkan sang adik. Dia berbalik dan beradu pandang dengan Abrisam. Melihat Abrisam setenang di hadapannya, membuat Adhiyaksa benar-benar bernafsu untuk menyadarkan siapa dan di mana keduddukan Abrisam seharusnya.

Dia berjalan ringan menyusul Abrisam yang lebih dulu menyimpan pantat di sofa. Kedua tangannya sengaja dia sandarkan di punggung sofa, membukanya lebar-lebar, berbanding terbalik dengan kedua kakinya yang dia lipat. Jaket kulit yang tak dia tutup itu sontak memperlihatkan kaus hitam yang menjeplak tubuh sempurna Adhiyaksa.

"Aku tidak pernah pergi, asal kamu tahu, Adikku. Dan aku sudah cukup lama menunggu. Lima tahun. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu, bukan begitu?"

"Maksud Kakak?"

Lagi-lagi Adhiyaksa terkekeh geli. Seharusnya, dia berdiri sembari bertepuk tangan paling keras mengapresiasi ketenangan Abrisam. Sepertinya, adiknya itu masih melanjutkan perannya, atau malah terlalu mendalami peran? Apa pun itu, kali ini Adhiyaksa tidak akan membiarkan Abrisam terlibat terlalu jauh.

"Kamu tahu dongeng tentang serigala yang jatuh cinta pada seekor domba?" Adhiyaksa melontarkan pertanyaan retoris dengan nada mengejek. "Bagaimana rasanya menjadi serigala yang tak bisa memangsa domba yang ditangkapnya, tetapi malah bermimpi hidup berdua dengannya? Kamu jelas tahu akhir dari dongeng menyedihkan itu, bukan?"

COFFEE BREAK | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang