Bab 15 Bagian 2

9.5K 1K 17
                                    

Republish | 08/03/20

Abrisam turun dari mobil dengan tergesa. Langkahnya terhenti saat dia melihat Honda Civic merah yang terparkir di samping mobilnya. Mobil jenis itu memang banyak, tetapi dia hanya tahu satu orang yang sering mengendarai civic B 1551 AS itu. Dia hafal betul pemiliknya.

Seketika pandangannya mengedar ke sekitar. Lalu netranya tanpa sengaja memerangkap siluet yang membuat hatinya tiba-tiba membuncah, memerkuat dugaan. Gadisku datang, pikirnya. Tanpa komando, senyumnya merekah seiring binar matanya yang penuh semangat.

Abrisam mengayunkan tungkainya dengan tak sabar. Dia bahkan menyentak pintu masuk dengan gerakan berlebihan, terlalu antusias untuk segera menemui gadis yang dia tahu sedang menunggunya. Memangnya, siapa lagi yang sedang ditunggu gadis itu? Tentu saja aku! Abrisam mulai mendengar suara-suara bertajuk narsisme dalam benaknya.

Tetapi, tunggu dulu! Kalau dia di sini, dia tidak mungkin sudah bertemu dengan .... Secepat kilat dia membuang jauh-jauh pemikiran buruknya itu. Dia akan mencari tahu sendiri kebenarannya. Sudah sejauh ini, dia tak ingin usahanya mendekati Kissy berakhir sia-sia.

Baru satu langkah melewati pintu masuk, ponselnya berdering tak tahu diri. Sedikit berdecak kesal, dia menghentikan niatnya. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku jeans. Layar ponselnya menyala menampilkan sebuah nama yang sama sejak beberapa waktu lalu. Seketika dia mengembuskan napas kasar sembari me-reject panggilan, lalu membelotkan langkah menuju tangga penghubung ke lantai dua.

"Sudah selesai senang-senangnya?"

Abrisam yang baru saja menapaki anak tangga terakhir langsung disambut dengan pertanyaan bernada sinis. Abrisam melengos menuju pantry dan mulai sibuk dengan coffee maker-nya, memilih bersikap abai pada pria yang duduk jumawa di sofa.

"Aku sedang bicara. Kau pura-pura tuli atau memang sudah tuli?"

"Aku baru saja mengunjungi Amira," jawab Abrisam pendek, tanpa menghentikan kegiatan dan mengalihkan fokusnya pada lawan bicaranya di seberang.

"Untuk apa? Apa wanita itu mengadu sesuatu lagi padamu? Bukankah kau akan berada di garda terdepan jika wanita itu mulai memainkan air mata palsunya?"

Seketika Abrisam menghentikan aktivitasnya. Manik matanya mulai menggelap dan mengarah tajam pada sosok pria yang masih setia dengan gaya perlentenya, bersikap menantang. Otot-ototnya terasa berkedut seolah-olah tak sabar untuk melayangkan beberapa bogeman atas perkataan menuduh dan menyakitkan yang beberapa detik lalu dia dengar.

"Kak-"

"Apa aku salah? Kau itu adikku atau sekaligus merangkap sebagai pesuruh wanita itu?"

Kalimat-kalimat provokatif terus menyambangi indera pendengarnya. "Kak, cukup!" hardiknya tegas.

Pria yang sejak tadi mencerca Abrisam itu pun berdiri dengan angkuh, lantas merapikan jasnya. Senyumnya tersumir seolah-olah sengaja mengejek.

"Kita berdua memang dari darah yang sama, tetapi bukan berarti kau bisa terus mengusik kehidupanku, terlebih kehidupan rumah tanggaku. Apa yang terjadi dengan wanita itu, bukanlah urusanmu. Aku bisa mengurus wanita itu sendiri. Dia masih istriku kalau kau sempat lupa. Atau jangan-jangan, kau memang melihatnya bukan sebagai kakak iparmu sejak kejadian itu?"

"Adhiyaksa!" Abrisam tak lagi bisa menahan emosinya. Wajahnya memerah karena derasnya darah yang mengalir terpancing amarah. Giginya bergemelatuk seiring dengan kedua telapak tangannya yang mengepal. Pandangan matanya semakin menajam bak elang yang siap menerkam.

"Well, jika kau sudah berani memanggil namaku, itu artinya semua ucapanku begitu memengaruhimu. Wow!" Adhiyaksa bertepuk tangan seraya tertawa puas dengan nada meremehkan. Selanjutnya, Adhiyaksa menyembunyikan telapak tangannya dalam saku celana kain yang dia kenakan. Tawanya mndadak lenyap, berganti rahang yang mengeras dan manik mata yang tak kalah tajam. Dia berjalan beberapa langkah seakan menerima tantangan Abrisam.

"Cukup sekali saja kau merecoki urusan pribadiku, Abrisam Prasaja. Jika kau memang punya banyak waktu, cari kesenanganmu sendiri, jangan merusak kesenangan orang lain atau memaksakan kesenanganmu pada orang lain. Terlebih padaku, kakakmu. Bukankah sebagai saudara dan sesama pria kita harusnya saling mengerti dan mendukung?" sambung Adhiyaksa. Setelahnya, dia menggerakkan tungkainya menuju tangga tanpa menunggu jawaban Abrisam.

Adhiyaksa sudah cukup geram berada dalam satu ruangan dengan pria yang dulu sangat bangga dia sebut sebagai adik. Kenyataannya, hubungan keduanya sudah tak bisa tertolong lagi sejak empat tahun silam. Namun, di samping amarah dan kekecewaannya, masih saja terselip rindu setipis permukaan es.

Bagaimanapun, Abrisam tetap adik kecilnya. Darah mereka sama. Namun, rindu itu kalah kala mengingat bagaimana dirinya kehilangan seseorang yang sangat dia cintai dan dia yakini sebagai belahan jiwanya. Semua itu karena wanita itu serta adanya andil sang adik, Abrisam Prasaja. Adhiyaksa benci mengingat masa kelam itu, tetapi hanya dengan cara itu dia masih bisa mencumbui kekasih hatinya meskipun lewat kenangan yang sudah hancur tak terbentuk.

Sementara itu, Abrisam meraup wajahnya dengan kasar. Dia berusaha  mengisi penuh paru-parunya agar aliran darahnya tak lagi deras karena saking semangatnya jantungnya memompa. Selang beberapa detik, dia terkekeh miris. "Saling mengerti dan mendukung, eh?" Dia mengembuskan napas agak keras, mengosongkan paru-parunya.

"Asal kamu tahu, Kak. Semua ini justru aku lakukan untuk kebahagianmu, harga dirimu, dan kedudukanmu di depan publik sebagai pewaris pertama keluarga Prasaja. Karena aku tahu, hanya kamu yang bisa mengemban tanggung jawab itu, bukan aku. Seharusnya kamu sadar bahwa kamu adalah keturunan unggul Prasaja. Jangan sampai menjadi berengsek sepertiku," gumamnya pelan, penuh kepiluan.

Tbc

Terima kasih bagi yang masih setia membaca cerita ini. Ini untuk kalian yang sudah sabar menunggu cerita ini update.

Happy reading! ^^

Vote dan komen lah, ya...

Big hug,
Vanilla Hara
18/11/19

COFFEE BREAK | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang