Republish | 15/03/20
Siang, Dears! ^^
Selamat tahun baru untuk kalian semua! Semoga di tahun yang baru ini kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan banyak resolusi yang akan kita capai daripada tahun lalu. Aamiin.
Bagaimana kabar kalian di awal tahun 2020 ini?
Terima kasih atas 27,5K lebih viewers dan yang sudah follow Hara. Kalian luar biasa! ❤
Bab selanjutnya akan Hara update setelah 28,5K viewers atau 875 followers, ya!
So, here we are ...
Selamat bersenang-senang dan jangan lupa putar mulmednya!
Happy reading! ^^
================
Abrisam berjalan cepat melintasi ruang tamu yang kali kedua dia kunjungi menuju sebuah kamar pemilik rumah. Tanpa sungkan, dia menyentak kenop pintu cokelat dengan ukiran jati itu. Pandangan Abrisam langsung tertancap pada sosok wanita yang tengah duduk di samping jendela sembari menekuk lutut. Ujung dagu runcingnya menyentuh lutut yang tengah dipeluknya erat. Fokus wanita itu tertuju pada taman bunga di samping rumah. Jendela yang dibiarkan terbuka menguarkan aroma hujan yang baru reda.
Di sisi ranjang, Abrisam melihat selembar kertas yang dibiarkan tergeletak lengkap dengan sebuah bolpoin. Abrisam tidak perlu menebak isi kertas itu karena Adhiyaksa sendiri yang telah memberitahunya. Jelas bahwa selembar kertas itu pula yang menjadi alasan Amira sesendu sekarang.
Alih-alih mengambil kertas itu dan melenyapkannya, Abrisam menggerakkan tungkai mendekati Amira. Dia berjongkok tepat di depan wanita itu dan mengambil alih tangan Amira ke dalam genggamannya.
"Amira ...," panggilnya. Ingin Abrisam luncurkan segala kalimat penghiburan yang dia punya, tetapi lidahnya mendadak kelu kala Amira tak seinci pun mengalihkan tatapannya dan tetap memilih bungkam. Mata Amira mengerjap, meloloskan cairan hangat yang jatuh tepat di punggung tangan Abrisam.
Dengan sabar Abrisam menyeka air mata Amira, berharap bisa menghapus kesedihan wanita itu. "Katakan apa yang harus aku lakukan untukmu kali ini?" tanya Abrisam. Namun, Amira bergeming dan cairan hangat itu semakin kerap. "Jangan begini, Amira. Katakan apa yang harus aku lakukan. Aku sudah berjanji untuk memastikan kebahagiaanmu, bukan? Jadi, katakan apa yang bisa membuatmu bahagia."
Mendengar perkataan Abrisam, membuat Amira merasa tergelitik. Dalam tangisnya, bibirnya menyunggingkan senyum seraya melirik Abrisam lewat ekor matanya. "Memangnya apa yang bisa kita lakukan? Semuanya sudah selesai."
Abrisam menghela napas berat. Dia menggeleng sembari berkata, "Belum. Kita masih bisa mengusahakan sesuatu agar perceraian itu tidak terjadi. Lagi pula, kamu memiliki Amora untuk menahannya, bukan? Dan aku akan mengurus sisanya. Kamu tidak perlu khawatir tentang wanita itu. Kamu percaya padaku, 'kan?"
"Aku sudah menandatanganinya," tandas Amira.
Mata Abrisam membeliak. "Apa?" Dia sontak berdiri dan mengusap wajahnya kasar. "Kenapa kamu tanda tangani, Amira? Aku tahu kamu tidak akan pernah setuju untuk bercerai. Karena itu, aku susah payah meminta bantuan Papa untuk menjauhkan dia dari wanita itu. Lalu kali ini apa? Kalau ujung-ujungnya kalian berpisah juga, kenapa tidak sedari lima tahun lalu? Kenapa saat semuanya sudah serumit ini, kamu baru setuju untuk bercerai?"
Amira mendongak, menatap tepat pada manik mata Abrisam. Air matanya masih sederas semula. "Aku tidak punya pilihan, Abi. Aku tidak punya pilihan," ujar Amira sedih.
Abrisam merunduk, meraih kedua bahu Amira, mengguncangnya pelan. "Kamu punya! Kamu punya Amora. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana dengan Amora kalau kalian berpisah? Demi Tuhan, Amira! Cobalah untuk mempertahankan pernikahanmu!" Abrisam mulai geram.
Amira menggeleng tidak setuju. "Sudah cukup namanya tercantum dalam akta lahir Amora."
"Ya, karena Adhiyaksa ayahnya! Memangnya nama siapa lagi yang akan tercantum dalam akta lahir putrinya selain nama Adhiyaksa?" Abrisam tertawa frustrasi mendengar alasan konyol Amira.
"Adhiyaksa menyalahkan kita atas kematian darah dagingnya. Dia bilang kalau kita sudah membunuh calon bayinya, Abi. Dia bilang kita pembunuh." Tangis Amira semakin pecah mengingat kembali ucapan Adhiyaksa saat mereka terakhir kali bertemu. Dia menyembunyikan wajah dalam lipatan lututnya, tak kuasa menanggung tuduhan yang Adhiyaksa lemparkan padanya.
Muncul kerutan halus pada glabela Abrisam. "Bayi? Apa maksudmu? Bayi siapa yang kamu maksud?" tanya Abrisam tidak mengerti.
Dalam deru tangisnya, Amira menjawab, "Wanita itu. Dia hamil lima tahun lalu, Abi. Dan Adhiyaksa menyalahkan kita atas kepergian calon bayinya." Tubuh Amira bergetar saking kerasnya dia menangis. Tudingan Adhiyaksa saat menyebutnya sebagai pembunuh dengan sorot mata bengis dan tajam terus berputar dalam benaknya.
Topangan kaki Abrisam goyah, membuat dia mundur beberapa langkah. Tangannya meraba sisi tembok di sebelah kamannya. "Hamil?" Dia bertanya dengan nada tak percaya. "Kissy ... hamil? Anak Adhiyaksa?" tanyanya berulang-ulang demi memastikan indera pendengarannya.
Alih-alih menjawab, Amira memberikan pertanyaan lain. "Apa aku salah jika kali ini membebaskannya, memberikan kebahagiaan yang sudah lama dinantikannya? Selama ini Adhiyaksa sangat menyayangi Amora dan mejadi ayah yang baik, tapi bisa-bisanya aku membuatnya kehilangan darah dagingnya sendiri, Abi. Apa yang sudah kita lakukan?"
Abrisam memukul tembok dengan keras sembari menyentuhkan dahinya di sana. Dia menggigit bibir bawahnya kuat, menahan berbagai umpatan yang ingin dia lesatkan. Amarah tiba-tiba menjalari setiap sel darahnya kala mengetahui sejauh apa hubungan Kissy dengan Adhiyaksa. Pantas saja Adhiyaksa dengan sangat percaya diri memintanya menjauh. Ternyata mereka berdua sudah memiliki anak, meskipun anak itu tidak pernah dilahirkan.
Tunggu! Abrisam merasa ada yang aneh dengan kerumitan pikirannya saat ini. Dia tadi bilang apa? Anak yang tidak pernah dilahirkan? Dan Adhiyaksa menuduh dirinya dan Amira yang menjadi penyebabnya. Di situlah Abrisam merasa ganjil. Satu detik kemudian, Abrisam menegakkan kepala dan memutar tungkai untuk bergegas pergi.
Amira yang menyadari derap langkah Abrisam, segera mengangkat wajah dan bertanya, "Kamu mau ke mana, Abi?"
Abrisam berhenti sebentar. Kedua telapak tangannya mengepal di samping tubuhnya. "Aku akan bertanya langsung pada Adhiyaksa. Seingatku, kita tidak pernah melakukan dosa seperti yang dia tuduhkan. Aku tahu kamu sama seperti kamu tahu tentangku, Amira. Kita tidak akan pernah sampai hati membunuh calon bayi yang tidak berdosa. Kita bukan pembunuh. Adhiyaksa harus tahu itu!"
Tbc
Sudah dapat apa di bab ini?
Ada dua clue yang Hara kasih di bab ini. Sila temukan dan buat spekulasi baru lagi. Wkwkwk (ketawa jahat)
Semoga kalian masih kuat menunggu kisah ini tuntas. Sebentar lagi ending kok, tinggal beberapa bab lagi. Ini kan lagi dibahas penyelesaian konfliknya, 'kan? Satu-satu dulu.
Bab selanjutnya kita akan ketemu sama Abrisam dan Adhiyaksa. Kita lihat siapa yang salah atas kematian bayinya Kissy. Adhiyaksa yang salah nuduh atau Abrisam yang memang salah tapi enggak ngerasa.
Sila vote dan komentar bagi yang berkenan.
See you soon, Dears! ^^
Big hug,
Vanilla Hara
01/01/20
KAMU SEDANG MEMBACA
COFFEE BREAK | ✔ | FIN
General FictionKissy sangat menggilai kopi. Baginya, kopi adalah konsumsi wajib sebelum dia bertarung dengan kata-kata yang akan mengudara menemani pendengar setianya. Lewat kejadian mendongkolkan, Kissy akhirnya mengenal dan dekat dengan pemilik kafe di seberang...