Bab 7 Bagian 2

12.6K 1.3K 30
                                    

Republish | 03/03/20

Pagi, Dears! ^^

Bagaimana kabar kalian pagi ini?

Sudah siap dengan pilihan hati kalian? Atau kalian masih bimbang ingin memilih bersama dia atau dia? Jangan bimbang. Pilihan hati memang utama, tetapi libatkan otak agar kita tetap waras menghadapi segala risiko dari setiap pilihan yang sudah kita pilih.

Happy reading ...

================

Jika saja Kissy tak membutuhkan tumpangan, ingin rasanya dia menendang aset Abrisam saat itu juga. Memangnya apa lagi yang pantas pria mesum dapatkan selain sakit pada selangkangannya? Biar pria itu sadar bahwa Kissy bukanlah wanita sembarangan yang bisa dijadikan objek mesum.

Suasana kembali hening usai kejahilan yang Abrisam lakukan. Kissy sesekali menguap menahan kantuk. Beberapa menit lagi tengah malam. Dia bahkan belum tidur sejak kemarin. Pekerjaan di butik banyak menyita waktu istirahatnya.
Saat matanya hampir terpejam, ponsepnya berdering. Panggilan dari Rama membuatnya tak berlama-lama untuk mengangkat.

"Ya, Mas? Kenapa?"

"Benar ini Mbak Kissy?" Seseorang di seberang sana yang Kissy yakini bukanlah Rama sedang menyahut.

"Iya, benar. Ini ponselnya Mas Rama, 'kan?"

"Saudara Rama pingsan di dalam taksi saat menuju ke Radio Suara Hati FM. Dia sekarang berada di rumah sakit Pelita. Demamnya tinggi dan sejak tadi mengigau nama Mbak. Kebetulan nama Mbak lah yang ada di panggilan terakhirnya."

Kissy memejamkan mata sambil menggigit bibir bawahnya sekilas. Dia lantas mengedarkan pandangan keluar kaca mobil, menelaah sampai mana dia saat ini.

"Baik. Terima kasih. Saya akan segera ke sana," putusnya kemudian sebelum sambungan telepon itu berakhir.

"Ada masalah?" Abrisam tak tahan untuk bertanya usai sedikit mencuri dengar perbincangan Kissy di telepon.

Kissy menoleh dan ragu untuk meminta tolong sekali lagi. Akankah Abrisam bersedia menolongnya lagi? Akan tetapi, meminta turun dari mobil dan mencari taksi saat larut malam bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi Jakarta bukanlah kota yang bersahabat saat petang.

"Katakanlah jika memang ingin minta tolong. Saya tidak keberatan."

Ucapan Abrisam layaknya angin segar. Segera mungkin Kissy bertanya, "Bisa antarkan saya ke Rumah Sakit Pelita?"

"Oke." Abrisam segera memutar laju mobilnya mengarah pada tempat yang Kissy tuju. "Keluargamu ada yang sakit?"

Kissy menggeleng, tak peduli apakah Abrisam bisa melihat gelengannya atau tidak. "Bukan. Temanku sedang dilarikan dan dirawat di sana."

"Temanmu? Siapa? Teman yang mana?"

"Mas Rama."

Abrisam berdecak lirih. "Pria posesif waktu itu, ya? Benarkah dia sekadar teman, bukan kekasih atau gebetanmu?"

Kissy yang semula tak menyadari telah menjawab semua pertanyaan lancang Abrisam, memelotot tajam. Dia baru tahu kalau selain menyebalkan, Abrisam adalah pria mesum yang sangat ingin tahu urusan orang lain. Jadi, Kissy memilih berdesis sebal dibanding menjawab pertanyaan terakhir Abrisam.

"Maaf, saya hanya bertanya. Tidak ada maksud lain," lanjut Abrisam ketika melihat kedongkolan di wajah Kissy.

"Dan saya tidak berniat memberikan jawaban demi memuaskan Anda."

Bungkam. Keduanya pun memilih tak melanjutkan pembahasan sebelumnya. Kissy bersyukur akan hal itu. Sementara Abrisam tahu batasan.

Setengah jam kemudian, mobil memasuki pelataran rumah sakit. Kissy tak langsung yurun saat mobil sudah berhenti di depan lobi. Dia melirik Abrisam sekilas sembari berdeham.

"Terima kasih atas tumpangannya. Saya pastikan suatu saat nanti akan membalas kebaikan Anda," ujar Kissy.

Abrisam mengangguk dan tersenyum tipis. "Masuklah!" perintahnya sambil menekan kunci otomatis untuk membukanya, membiarkan wanita yang selama beberapa menit di sampingnya segera keluar. "Temanmu pasti sudah menunggu."

Kissy yang tahu tata krama, berusaha menyungginhkan senyum setulus mungkin. Dia lantas keluar mobil menuju lobi dengan tergesa tanpa menoleh ke belakang lagi, meninggalkan Abrisam yang menatap punggungnya lamat.

Dia memasuki IGD dan mendapati Rama terbating lemah dengan seorang prua paruh baya di samping brankarnya. Pria itu berjengit kaget, bergegas berdiri ketika melihat Kissy.

"Bapak ini ...." Kissy berusaha menebak.

"Saya sopir taksi yang ditumpangi Mas ini, Mbak. Mbak ini yang suster telepon tadi kah?"

Kissy mengangguk dan tersenyum sopan.

"Cy ... Kissy ...." Rama kembali mengigau, mengambil alih atensi kedua orang yang berada tak jauh darinya.

"Sejak tadi Mas ini manggil-manggil nama Mbak."

Kissy tak menggubris laporan sopir taksi itu. Dia berjalan lebih dekat dan duduk di samping brankar. Tangannya meraih tangan lemah Rama, menggenggamnya erat. Sebelah tangannya yang bebas mengusap dahi Rama yang mengucurkan keringat. Kissy juga mendesis menenangkan.

"Kalau begitu, saya undur diri dulu ya, Mbak? Kan Mas ini sudah ada Mbak. Istrinya."

Indera pendengaran Kissy menajam. Dia menoleh hendak memberikan klarifikasi. Bibirnya sudah bergerak, tetapi kalimatnya yang berada di ujung terpotong dengan perkataan sopir taksi itu.

"Suaminya dijaga ya, Mbak. Jangan disuruh kerja terus. Biar cepat dapat momongan juga." Sopir taksi itu kembali mengoceh ngawur. "Oh, iya. Soal tagihan taksinya, Mbak enggak usah khawatir. Saya ikhlas. Saya kan dulu juga pernah muda. Lihat pasangan seperti kalian begini, membuat saya jadi ingat istri di rumah. Pengin cepat pulang. Mari ya, Mbak!" lanjutnya, lantas balik badan sebelum Kissy mampu menyahut sepatah dua patah kata.

Entah harus bersyukur atau tidak dengan bantuan yang sopir taksi itu berikan, Kissy malah menghela napas berat. Saat itulah dia merasakan tangannya digenggam balik, lebih erat daripada genggaman tangannya sendiri.

Rama membuka mata perlahan. Dia tersenyum lemah saat menangkap bayangan menakjubkan di depannya. Bayangan yang dalam keadaan normal tidak mungkin terjadi.

"Kamu di sini?" gumamnya serak.

Kissy tersenyum. "Hm. Kenapa sampai bisa pingsan, sih? Di taksi lagi. Aku kan udah bilang kalo Mas Rama itu istirahat aja, enggak usah kerja dulu. Kenapa malah keluyuran ke studio? Bikin aku khawatir aja."

Kedua sudut bibir Rama terangkat membentuk sebuah cekungan tipis. Dia tak berniat membalas omelan Kissy.

"Enggak usah senyum-senyum! Istirahat lagi gih sana biar cepat sembuh. Aku enggak mau tahu, ya. Mas Rama harus bayar waktu aku buat nemenin dan ngerawat Mas malam ini," ucap Kissy sebal bercampur khawatir.

"Iya, istriku," jawab Rama sebelum menutup mata sepenuhnya, kembali menjajah alam mimpi dengan seutas senyum yang terus tersungging di bibir tebalnya.


Tbc

Sudah bisa milih salah satu?

Pilih duda apa preman?

Apa pun pilihan kalian, semoga Kissy enggak akan pernah mengecewakan. ^^

Tinggalin jejak, ya ...

Mau double update?

1. MAU

2. MAU BANGET

3. ENGGAK USAH

Big hug,
VANILLA HARA
14/07/19

COFFEE BREAK | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang