Satu bulan pun berlalu, semenjak Jisoo mengetahui kebenarannya, gadis itu semakin menutup diri, diapun kembali membuat jarak kepada orang-orang yang sebelumnya sudah mulai dekat dengan dirinya.
Kini gadis itu hanya memfokuskan dirinya pada pendidikan nya, karena ujian kelulusan sudah didepan mata. Walaupun dia sudah jarang bertemu dengan ayahnya, tetapi sang ayah masih tetap mengingatkan pada Jisoo agar memprioritaskan nilainya.
"Hah..." Gadis itu menghela nafas berat, makanan yang sedang dikunyah rasanya sangat enggan untuk ditelan. Akhirnya gadis itu mendorong makanan tersebut dengan meneguk minuman nya.
"Berat ya, mendem semuanya sendiri,"
Jisoo menolehkan kepalanya kesamping, dia kaget saat melihat Rosse sudah duduk disebelahnya tanpa dia sadari. "Sejak kapan lo disini?"
"Sejak lo ngelamun mungkin," gadis berambut pirang itu berucap dengan santai sembari menikmati americano nya.
Jisoo memutar bola matanya malas, gadis yang menjadi teman sebangkunya ini entah sejak kapan berbicara se-cool ini, pasalnya kalau dikelas gadis ini sangat cerewet sampai-sampai Jisoo rasanya ingin pindah tempat duduk, tapi sayangnya tidak ada tempat yang kosong.
Akhirnya Jisoo memilih untuk diam dan tidak meladeni Rosse. Tetapi sepertinya gadis itu tidak bisa diam. "Jisoo," panggilnya saat tidak direspon oleh Jisoo.
Jisoo menatap Rosse dengan datar, gadis berambut pirang itu memang tidak tau situasi. "Apa?"
Rosse mengulum bibirnya seperti ragu untuk mengatakan sesuatu, "Semoga lo bisa lewatin semua hal berat yang ga bisa lo ceritain sama orang lain," ucapnya.
Jisoo masih diam tidak merespon walaupun dihatinya dia bertanya-tanya maksud dari perkataan Rosse barusan.
"Gw tau, ga semua orang punya tempat bercerita, makanya melamun jadi kebiasaannya,"
"Akhir-akhir ini gw perhatiin lo sering ngelamun, gw ga tau masalah apa yang lo alami, tapi kalo lo butuh seseorang buat jadi tempat cerita lo, gw siap!" sambung Rosse tak lupa senyuman yang tampak sangat tulus dia berikan pada Jisoo.
Walaupun ekspresi yang ditampilkan Jisoo tidak berubah sama sekali, tetapi hatinya merasa tersentuh dengan ucapan Rosse barusan. Apalagi senyuman gadis itu tampak begitu tulus, hati Jisoo sedikit tergoyah.
"Kenapa lo mau jadi tempat cerita gw?"
"Karna lo butuh tempat cerita, gw bisa jadi pendengar yang baik buat lo, gw--"
"Gw ga butuh," sergah Jisoo.
"Gw ga suka dikasihani, dan lo ga perlu mengasihi gw," ucapnya lagi.
"Kenapa Jis? Kenapa susah banget buat jadi temen lo?" tanya Rosse dengan tatapan sendu.
"Kenapa juga lo mau jadi temen gw? Gw itu bukan orang yang bisa buat lo jadiin temen," gadis itu membuang muka saat matanya tiba-tiba memanas. Sial! Kenapa perdebatan mereka jadi sensitif begini.
Akhirnya Jisoo memilih pergi meninggalkan Rosse yang terus menatapnya dengan tatapan sendu. Jisoo benci tatapan seperti itu, karena dengan tatapan seperti itu akan membuat hatinya lemah. Dia tidak suka kalau dia lemah, dia juga tidak suka mengadukan masalahnya kepada orang lain. Walaupun sebenarnya sangat ingin dia lakukan.
Rosse mengusap ujung matanya yang berair, dia benar-benar kasihan sekaligus penasaran dengan kehidupan Jisoo. Mungkin orang-orang tidak ada yang menyadari bahwa Jisoo terlihat semakin kurus dan sering melamun.
"Gw tulus Jis,"
____________________
Bel pulang pun berbunyi, semenjak kejadian di kantin tadi, Jisoo terlihat semakin menjaga jarak dengan Rosse sementara itu gadis itu tampak biasa saja dan masih berusaha mengajak Jisoo untuk mengobrol. Walaupun Jisoo hanya membalas dengan singkat dan terkesan terpaksa tapi Rosse tidak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY ICE GIRL [ON GOING]
Подростковая литератураBenang kusut yang terjadi antara dirinya dan sang Ayah mampu merubah watak Jisoo dari yang dulunya gadis periang dan memiliki senyuman yang indah menjadi gadis dingin dan tak berperasaan. Senyuman yang dulu sangat sering dia tampilkan sekarang tidak...