Chapter 3: Antara Sofa dan Kasur

12.4K 688 10
                                    

Dia memang seburuk itu!

Setelah resepsi selesai, Arial langsung membawaku ke apartemennya. Aku tahu kami harus membicarakan kondisi pernikahan kami, setidaknya aku harus menanyakan kenapa dia mau dinikahkan denganku. Namun, pada akhirnya kami berdua hanya saling berdiam diri di mobil. Aku tidak tahu harus memulai pertanyaannya dari mana dan Arial sepertinya tidak peduli dengan kecanggungan di antara kami. 

Yang pasti saat ini aku merasa luar biasa lelah.

Setelah memarkirkan mobilnya di basement apartemen, Arial langsung membawakan koper kecil yang aku bawa. Koper yang isinya hanya perlengkapan seadanya, karena aku sama sekali tidak mempersiapkan apa-apa. Maksudku, siapa yang menyangka hari ini aku akan keluar dari rumah dan berubah status menjadi istri orang? Mamah dengan sumringah bilang kalau barang-barangku akan segera dikemas dan dikirim besok ke apartemen Arial. Jadi, hari ini aku hanya perlu membawa barang seadanya, cukup untuk mandi dan tidur. Sekali lagi, aku tidak diberi kesempatan untuk membantah atau menolak.

Saat Arial membuka pintu apartemennya, aku melihat apartemen luas yang ditata minimalis. Warna abu-abu, hitam dan putih menguasai hampir sebagian besar interior apartemennya.

"Kamar mandi ada di pojok lorong sana, closet dan ruang penyimpanan ada di sebelah kanan." Kata Arial sambil menyuruhku masuk. Kemudian dia melanjutkan tur kecil rumahnya "Laundry dan dryer ada di sebelah kanan, dapur di sini. Itu kamar kerja aku, di sini gudang, kamar utamanya ada di sini."

Tur singkatnya diakhir dengan kamar utama yang masih dikuasai oleh nuansa abu-abu dan putih. Tempat tidur king size dengan seprai warna hitam mendominasi di tengah ruangan. Arial meletakkan koper kecilku di kamari ini.

"Aku tidur di sini?" Tanyaku dengan polos.

Arial tidak menjawab pertanyaanku. 'Kalau kamu tidur di mana?' baru saja aku akan menanyakan hal itu, Arial langsung melompat ke kasur dan menarik selimut yang ada di bagian bawah kasurnya. Dia sama sekali tidak mengganti kemejanya.

"Terus aku tidur di mana?" Kali ini pertanyaan itulah yang ke luar dari mulutku.

Arial menepuk-nepuk sisi lain dari kasurnya. "Ini emang kasurnya kurang gede?" Tanyanya. "Kita bukan mau maen futsal, loh? Ngapain kasurnya harus lega-lega?"

Mendengar jawabannya, entah kenapa aku merasa kesal. "Iya tapi, kan..."

"Tapi apa?"

"Tapi kamu gak bakal ngapa-ngapain, kan?

"Ngapa-ngapain yang kayak gimana nih maksudnya?"

"Iya ngapa-ngapain."

"Contohnya kayak gimana?"

"Yah, kamu paham kan maksud aku apa?"

"Gak paham, coba jelasin maksudnya gimana?"

Aku merasakan wajahku mulai memerah karena percakapan bodoh ini. "Iya begituan."

"Begituan apa? Hubungan suami istri?"

Kalau di kamar ini ada cermin besar, aku pasti bisa melihat wajahku yang berwarna merah merona seperti kepiting rebus, karena aku bisa merasakan semua darah di tubuhku mengumpul di wajahku. Aku tidak tahu harus membalas ucapan dia seperti apa.

"Yah, terus kenapa? Atau jangan-jangan kamu memang ngarep diapa-apain?" Lanjut Arial. Kok bisa cowok sevulgar itu?

"Gini, yah... Kamu tuh udah jadi Nyonya Prasetyo sekarang. Jadi harusnya diapa-apain, kan?"

Buk! Refleks aku melempar bantal yang posisinya tidak terlalu jauh dari tempatku berdiri.

Iya, aku tahu kita ini sudah resmi menikah. Aku tahu aku seharusnya menjalankan kewajibanku sebagai istri. Tapi, kan... tapi kan!

"Tapi kenapa kamu milih nikah sama aku?" Tanyaku "Kenapa kamu tetap mau lanjutin pernikahan ini?" Padahal yang kamu mau Gea, kan?

Pertanyaan berikutnya hanya aku tanyakan dalam hati. Arial pasti lebih memilih Gea, Gea yang lebih imutndan anggun, Gea yang lebih cantik, Gea yang lebih cerdas dan berprestasi, Gea yang lebih segala-galanya dibandingkan aku.

"Siapa aja boleh." Jawab Arial "Aku bosan disuruh nikah terus sama ibuku. Jadi semua ini, semua ini cuma untuk nenangin hati beliau aja."

"Jadi sama cewek manapun kamu tidak peduli?"

Arial tidak menjawab tapi aku tahu jawabannya apa. Dan semua ini membuat aku tambah kesal dan sakit hati. Dia tidak peduli dengan siapa dia menikah, yang penting status dia sudah menikah. Aku bisa digantikan dengan siapapun. Dia tidak peduli. Tiba-tiba saja aku ingin melempar wajahnya lagi dengan bantal. Sayangnya Arial sepertinya sudah membaca rencana itu dari gerakan tanganku. Tangannya menahan bantal yang akan aku lempar. Untuk sesaat aku berusaha menarik bantal itu dari tangannya, tapi tenaga dia terlalu kuat.

"Denger! Aku capek, kamu capek. Hari ini hari yang panjang buat kita berdua. Aku cuma ingin tidur. Terserah kamu mau tidur di sini dengan asumsi mau diapa-apain atau gimana. Yang jelas aku mau tidur. Titik. Kalau kamu ngerasa gak nyaman di sini, kamu bisa tidur di ruang tengah sana, di atas sofa."

Aku melepaskan bantal yang sedang kami perebutkan dan langsung melangkah ke luar kamar. Dan membanting pintu kamarnya dengan keras.

Cowok sialan! Masa cewek yang tidur di luar? Gak gentle banget nih makhluk!

Baru kali ini aku merasakan kekesalan luar biasa pada seseorang dan bertindak seperti ini. Biasanya aku selalu menjaga sikap dan emosiku. Tetapi hari ini seperti aku benar-benar merasa lelah dan tidak bisa bersembunyi di balik topeng.

Aku memperhatikan sofa panjang di ruang tengah. Sofa yang mungkin tidak terlalu nyaman untuk digunakan tidur, tidak ada bantal ataupun selimut di sana. Si sialan itu bahkan tidak meminjamkanku selimut dan bantal.

Dengan kesal aku membuka lagi pintu kamarnya, kemudian menarik selimut dan bantal yang sedang dia pakai. Aku tidak peduli kalau dia benci dengan kelakuanku, salah dia sendiri memilih istri sembarangan.

Aku langsung duduk di sofa sambil masih memeluk bantal dan selimut yang aku rebut dari Arial. Sambil mencoba mengatur nafas, aku mencoba memikirkan apa yang harus aku lakukan? Apa sebaiknya aku pergi dan mencari hotel? Tetapi sekarang sudah jam 11 malam, sepertinya akan terlalu berbahaya untuk keluar malam-malam begini.

Pulang ke rumah jelas bukan opsi yang bisa dipilih karena suasananya pasti akan aneh. Atau aku harus menumpang ke rumah teman?

Aku mengambil smartphone di saku celanaku, menimbang siapa yang kira-kira bisa aku mintai tolong untuk menginap. Tetapi aku tidak mau merepotkan mereka.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk mengontak Gea. Nomornya masih tidak bisa dihubungi, jadi aku memutuskan mengirim pesan singkat. Mudah-mudahan, akan dia baca secepatnya.

'Ge, kamu di mana? Sekarang jadinya Aku yang nikah sama Arial.'

Aku mengirim pesan itu, dan hanya tanda checklist satu yang muncul. Gea masih belum mengaktifkan teleponnya.

Mungkin benar, aku sebaiknya tidur dulu, dan memikirkan semuanya lagi besok.

Aku meletakkan smartphone ku di atas meja kaca berukuran sedang yang diletakkan di depan sofa, kemudian langsung merebahkan tubuhku, ternyata sofanya jauh lebih nyaman dari dugaanku. Bahannya lebut dengan tingkat keempukannya, pas. Sofa ini bahkan terasa jauh lebih nyaman dibandingkan kasur tua di kamarku. Saking nyamannya, aku tidak lagi peduli harus mandi dan berganti pakaian. Sisa make-up sudah aku bersihkan tadi sebelum menuju ke apartemen ini. Aku tidak peduli dengan serum dan krim malam, aku hanya ingin tidur.

Arial benar, kita berdua saat ini sedang kelelahan dan butuh tidur. Aku tidak tahu butuh waktu berapa lama sampai aku tertidur pulas di atas sofa yang nyaman, ditemani dengan suara halus dari detik jam di dinding ruangan.

Hari ini aku capek sekali.

Marriage ProbationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang