[Bonus] First Encounter

13.7K 705 81
                                    

September 2017
di dalam commuter line yang padat

♪ Life is a waterfall 
♪ We're one in the river 
♪ And one again after the fall 

Lagu Aerials dari System of A Down menyapa telingaku dari playlist random yang sedang aku putar. Stress dan beban kerja hari ini rasanya begitu memuakkan, sehingga aku mencoba melarutkan diriku di dalam alunan lagu keras dan menghentak. Rasanya aku sudah lama sekali tidak mendengar lagu ini. Padahal, waktu aku masih SMP, boleh dibilang lagu ini adalah lagu yang paling sering diputar di playlist winamp komputerku di rumah. 

Awalnya aku tertarik dengan lagu ini karena judulnya yang hampir mirip dengan namaku: Arial. Kemudian aku terhipnotis dengan melodi keras dan dentuman drum yang kuat. Lagu Aerials menarik minatku pada System of A Down jauh sebelum aku paham arti dari lirik lagu ini apa. Seperti pada umumnya, anak kelahiran 80 akhir atau 90 awal, tumbuh di bawah gempuran Rock dan Nu-Metal. Dua genre ini selalu punya tempat di hatiku karena aku tumbuh dewasa dengan genre ini. 

♪ Aerials in the sky 
♪ When you lose small mind, you free your life 

Aerials sebetulnya adalah lagu yang menjelaskan kalau persepsi seseorang bisa membatasi kebahagian dan tujuan yang ingin dia rasakan atau ingin dia capai. Lagu ini membuatku berpikir, apakah aku sedang membatasi perseptifku sendiri dan membatasi kebahagiaan yang aku rasakan. Mungkin seharusnya aku berani mengambil risiko dan tidak terlalu mempedulikan ke depannya akan seperti apa.

Saat sedang menikmati alunan musik sambil menutup mataku, aku merasakan ada seseorang yang menyentuh tanganku. Aku membuka mataku dan melihat penumpang kereta yang kebetulan duduk di depanku melihatku dengan khawatir. Dia sepertinya sudah memanggilku beberapa kali, tetapi telingaku tidak mendengar karena sedang mendengarkan musik yang keras. Karena tidak merespon, makanya dia menyentuh tanganku

"Ya?" Tanyaku sambil membuka earphone yang aku kenakan.

"Kakak butuh tempat duduk?" Tanyanya dengan khawatir. Dia sudah siap-siap berdiri untuk menyerahkan kursinya padaku. 

"Oh, nggak usah." Jawabku, "Terima kasih atas tawarannya."

Sepertinya wajahku terlihat semenyedihkan itu sampai-sampai ada perempuan muda yang menawarkan kursinya padaku. Wajahnya masih memperhatikanku dengan khawatir. Usia perempuan ini mungkin masih SMA, rambutnya pendek dan wajahnya polos tanpa make up. Rambut pendeknya membuat dia terkesan boyish atau tomboy. Aku memperhatikan knee support membalut lutut kanannya. Perempuan ini jelas lebih butuh tempat duduk, tetapi dia malah menawarkannya padaku yang kebetulan sedang berdiri di depannya.

"Kakak keliatan lagi gak sehat." Katanya, masih memperhatikanku dengan khawatir.

"Aku gak apa-apa. Kamu lebih butuh kursi itu daripada aku." Kataku sambil melirik ke arah lutut kanannya.

Obrolan kami terhenti sejenak karena kereta kami baru saja sampai di stasiun pemberhentian. Lalu, bukannya bertambah kosong, kereta ini malah semakin padat karena jumlah penumpang yang turun lebih sedikit dari jumlah penumpang yang naik. 

Seorang ibu yang sedang hamil cukup besar baru saja naik dan berdiri di sebelahku. Tepat di sebelah gadis yang menawari tempat duduk, seorang pemuda sedang pura-pura terlelap tidur karena tidak mau memberikan kursinya pada wanita hamil. Aku baru saja akan menegur bocah itu, tetapi gadis tadi malah menawarkan kursinya untuk ibu ini.

"Ibu, silakan duduk di sini!" Katanya dengan lembut. "Sebentar lagi saya turun."

Ibu itu sangat berterima kasih dan langsung menempati tempat duduk yang ditawarkan gadis itu. Dia kemudian berdiri di sampingku, dan aku baru sadar kalau gadis ini punya postur yang cukup tinggi. Aku sempat melihat dia meringis saat berdiri dari kursi.

Marriage ProbationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang