Chapter 21: Renjana

8.2K 552 14
                                    

Pagi hari saat aku terbangun, Arial sudah menghilang dari sampingku. Sepertinya dia sudah kembali ke rutinitas lari paginya. Semalam, Arial memenuhi janjinya, dia hanya memelukku dan tidak lebih. Walaupun awalnya aku merasa salah tingkah, pada akhirnya aku tetap bisa tertidur dengan merasa aman dan nyaman. 

Sisa minggu itu, aku habiskan dengan mengantarkan ibu ke tempat reuninya. Kali ini Arial juga ikut mengantar, tetapi tidak seperti kemarin, hari ini ibu tidak meminta untuk ditemani sampai acara berakhir. Beliau hanya meminta kami untuk menjemputnya lagi sekitar pukul 5 sore nanti saat acaranya sudah selasai. Sambil menunggu acara ibu selesai, kami pergi ke sakit untuk check up bekas lukanya. Semalam, aku melihat luka Arial sudah mengering dengan cukup baik, Arial bilang kalau lukanya sudah kering, sebaiknya perbannya dilepas. Namun, aku masih sangsi dengan keputusan melepas perban dan bersikeras seharusnya perbannya tetap dipasang setidaknya sampai nanti jadwal check up. Setelah berdebat cukup panjang, akhirnya aku mengusulkan untuk langsung melakukan kontrol di hari minggu.

Setelah lukanya diperiksa, dokter mengijinkan perban di punggung dan lengan Arial untuk dilepas karena lukanya sudah mengering dengan baik. Selain itu, benang bedah yang digunakan adalah tipe benang absordable, jahitannya juga tidak perlu dibuka, satu sampai dua  minggu lagi benangnya akan diserap oleh tubuh melalui proses enzimatis. Untuk luka di telapak tangan, dokter menyarankan untuk tetap menggunakan plester ukuran besar sampai 3 hari ke depan. Sisanya dokter bilang kalau luka Arial sembuh dengan sangat baik dan cepat, jadi tidak perlu ada check up. Dokter juga merekomendasikan krim penghilang bekas luka untuk dipakai dua kali sehari, krimnya bisa dibeli secara  bebas di apotik.

Sore hari, setelah kami menjemput ibu, ibu bilang kalau dia akan menginap lagi sampai beberapa hari Rabu karena masih ada acara lain sebelum pulang lagi ke Bandung. Arial menyarankan agar ibu mengundur rencana pulangnya sampai hari hari jumat atau weekend agar nanti dia bisa mengantarnya ke rumah. Mendengar tawaran itu, Ibu dengan semangat memintaku untuk ikut juga mengantarkannya ke rumah di Bandung.

Sepertinya aku belum bisa kembali ke kamarku.

***

Malam-malam berikutnya di kamar Arial, secara tidak terduga dilewati dengan normal. Aku masih suka tiba-tiba terbangun dalam pelukan Arial hampir bisa selalu dipastikan kalau aku yang masuk ke area tidurnya. Mungkin alam bawah sadarku sudah ingin menyerahkan seluruh jiwa dan ragaku untuk Arial, tetapi sebagian egoku masih menolak untuk berbuat lebih jauh dari sekedar pelukan hangat yang manis. Dan, mungkin karena Arial tidak pernah meminta lebih, dia hanya mengambil apa yang aku berikan. 

Setiap malam dia tidak pernah mengingkari ucapannya dan semakin hari aku semakin percaya, aku semakin nyaman untuk tidur dalam pelukannya. Aku merasa ketertarikanku padanya menjadi semakin besar, tetapi aku masih belum tahu apakah Arial akan membalas perasaanku juga.

"Zi belakangan ini kamu kok kayak banyak ngelamun?" Delina menyapaku setelah kami selesai rapat bulanan di lantai 3 "Lagi berantem sama Arial?"

"Nggak." Sanggahku. "Lagi pengen ngelamun aja." Hari ini adalah hari Kamis, berarti sudah tepat satu minggu aku dan Arial tidur dalam satu kamar di atas kasur yang sama.

"Atau jangan-jangan ngelamunnya karena lagi kangen sama Kakanda?" Goda Delina. "Ciye pengantin baru lagi anget-angetnya nih pasti."

Aku langsung memalingkan mukaku karena tebakan Delina tidak terlalu tepat, tetapi aku memang sedang memikirkan Arial. Ketika aku mengakui perasaanku sendiri, rasanya aku malah tertarik lebih cepat ke dalam pusaran itu. Aku ingin menyerahkan semuanya, tetapi aku juga tidak mau terluka. Aku ingin menyangkal, tetapi semakin hari aku semakin memikirkannya. Aku tidak lagi bingung dengan perasaanku, tapi aku masih belum siap dengan jawaban yang mungkin aku terima.

Marriage ProbationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang