Chapter 14: Trapezius dan Latissimus Dorsi

8.4K 524 16
                                    

Keesokan harinya, rutinitas kami hampir kembali seperti biasanya.

Hampir.

Tidak seperti biasanya, Arial bangun terlambat untuk lari pagi. Jelas aku langsung menegur dan melarang aktivitasnya itu, seharusnya dia beristirahat setelah insiden semalam. Arial malah berkilah kalau lari itu bukan menggunakan punggung, kakinya yang menanggung beban, seharusnya luka di punggungnya tidak akan bermasalah. Dia tetap pergi, mengabaikan protesku. 

Kurang dari setengah jam kemudian Arial sudah kembali ke apartemen mengeluh kalau dia merasa lemas, wajahnya terlihat sedikit pucat saat dia mengatakan hal itu. Melihat kondisinya yang seperti itu, aku buru-buru menyiapkan segelas teh manis hangat.

Walaupun tadi malam dia tidah sampai harus ditransfusi, tentu saja dia berpotensi merasakan gejala anemia karena dia tetap kehilangan darah yang relatif banyak. Belum lagi semalam dia juga tetap membantuku membereskan TKP, merapikan pecahan kaca, menggulung karpet, dan mengepel tetesan darah. Kombinasi semuanya tentu membuat dia lebih cepat lelah. 

"Sen, gue remote kerja dari rumah, ya." Saat meletakkan teh yang baru aku buat di depan Arial, aku mendengar dia sedang menelepon Seno. Arial langsung meminum teh yang aku sediakan.

"Nggak ada apa-apa, semalem baru kalah tawuran aja." Lanjut Arial, aku beranjak lagi ke dapur untuk membawa oatmilk bowl yang aku siapkan untuk sarapan Arial. Aku sendiri sudah selesai sarapan saat Arial kembali dari larinya.

"Ini mau istirahat dulu biar besok lebih fit. Tolong kasih tau mbak Retna juga. Problemnya bakal gue coba telaah lebih lanjut hari ini." Saat Aku meletakkan sarapan di depan Arial, Arial masih membahas beberapa hal lagi terkait pekerjaannya.

Aku merasa bersalah lagi karena hari ini Arial jadi tidak masuk kerja.

Selesai menelpon, Arial melihat ke arahku dan sepertinya dia melihat ekspresiku yang terlihat tidak enak. Bukannya menenangkan, Arial malah bilang. "Tanggung jawab tangan aku masih sakit, suapin." Pintanya sambil menunjuk mangkuk di depannya dengan dagu

"Kan tangan kiri kamu yang telapak tangannya luka." Jawabku, walaupun kasihan dan merasa bersalah, aku masih sedikit kesal dengan sikapnya tadi pagi. Dia sok-sokan lari pagi padahal sudah aku larang, tapi sekarang dia minta disuapin.

"Tapi yang dijahit 23 kali ada di kanan semua." Jawabnya.

Tidak bisa membantah, aku langsung duduk di sebelah Arial dan membantunya memakan semangkuk yogurt oatmilk dengan toping granola, pisang dan buah naga. Arial menerima suapan dariku dengan lahap.

"Perbannya mau diganti pagi ini?" Tanyaku.

"Nanti sore aja." Jawabnya. "Aa...!" Arial membuka mulutnya lebar-lebar, meminta suapan berikutnya. Seperti istri yang baik, aku menyuapkan sendok berikutnya ke mulut Arial.

Kalau dibandingkan dengan tadi saat dia pulang dan mengeluh lemas, saat ini kondisinya terlihat lebih baik. Kalau tanpa perban di tangan kirinya, dia akan terlihat seperti orang yang sehat-sehat saja. Warna di bibirnya bahkan sudah kembali dan sudah tidak pucat lagi sekarang.

Bibir.

Tanpa sadar aku jadi memperhatikan gerakan bibir Arial yang sedang menguyah sarapannya. Melihat bibirnya, aku jadi teringat lagi ciumannya semalam. Bagaimana rasanya saat bibirnya menyentuh bibirku, dan lidahnya yang mengajakku bermain. Semakin aku perhatikan bibirnya, semakin aku merasa tersipu karena malu mengingat kejadian semalam.

"Muka kamu kenapa merah?" Tanya Arial saat dia menerima suapan yang kesepuluh. Arial menanyakannya dengan polos, dia mungkin tidak menyadari kalau keberadaan dia yang membuat aku salah tingkah.

Marriage ProbationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang