Chapter 22: Separasi

7.7K 575 22
                                    

Arial benar-benar mengajakku ke Tebing Keraton untuk berolah raga. Pagi ini kami menempuh total jarak hampir 13 km dengan waktu gerak aktif hampir 2,5 jam dan penambahan elevasi maksimum di 200 m. Selain Tebing Keraton, Arial mengajakku ke Curug Omas, Penangkaran Rusa, Goa Jepang dan Goa Belanda, semuanya masih berlokasi di kawasan Taman Hutan Raya Ir. H Juanda di kawasan Dago.

Walaupun jarak tersebut tidak sepenuhnya kami habiskan dengan berlari dan sepanjang perjalanan aku juga merasa senang, sore ini aku baru merasakan imbas jalan menanjak. Paha dan betisku terasa pegal. 

Aku sedang memijit-mijit betisku sambil menemani ibu yang sedang menonton sinetron di tv di ruang tengah saat Arial baru masuk dari arah dapur. Dia baru saja mengganti lampu teras belakang.

"Pegel?" Tanya Arial

"Dikit." Jawabku.

Aku mengira Arial akan menyuruhku untuk lebih rutin berolahraga atau dia mungkin akan menceramahiku untuk lebih menjaga staminaku. Aku sudah menyiapkan beberapa argumen untuk membalas  suruhannya, tetapi ternyata Arial malah menuju ke kabinet di dekat televisi dan terlihat sedang mencari-cari sesuatu.

Jujur aku juga kesal dengan diriku sendiri. Saat aku masih aktif di basket, jarak tadi pagi seharusnya bukan masalah besar, aku benar-benar merasa kalau jauh dengan Arial karena ketika aku kepayahan mengambil nafas di jalur menanjak, Arial terlihat masih santai dan tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan.

"Ada balsem atau krim pereda nyeri, bu?" Tanya Arial sambil masih mencari di dalam kabinet

"Di situ ada krim pereda nyeuri sama minyak gosok, kok." Sahut mertuaku, "Cari aja."

Tidak berapa lama kemudian, Arial duduk di sebelahku sambil membawa krim pereda nyeri dan minyak gosok. Mungkin dia akan menyuruhku menggunakannya untuk mengurangi pegal di kakiku. Alih-alih menyuruhku untuk menggunakannya sendiri, Arial malah menepuk-nepuk pahanya, sambil bilang "Sini, aku pijitin kakinya."

Syok dengan tawaran Arial aku langsung melotot. "Yah jangan di sini juga!" Kataku dengan setengah berbisik sambil melirik ke arah ibu yang masih asyik menonton. Maksudku, menawarkan untuk dipijit di depan mertua adalah hal yang kurang sopan, kan?

"Dipijitnya mau di kamar?" Tanya Arial dengan ekspresi usil. Arial malah mempertebal awkward moment ini dengan mengajakku ke kamar. Apakah semua kejadian hari ini adalah usaha balas dendam Arial karena tadi subuh aku sudah menggunakan badannya sebagai guling penolak dingin?

"Jangan ngomong gitu!" Kataku dengan gemas, "Gak enak didenger ibu!"

"Bu, gak apa-apa, kan?" Tanya Arial ke arah ibu, membuat aku semakin syok.

"Yah gak apa-apa, lah." Sahut ibuku. "Abis Zia, pijitin kaki ibu juga yah. Sama ibu juga pegel."

Setelah mendengar persetujuan ibu, Arial langsung menarik betisku ke pangkuannya, mengabaikan protesku, dan mulai menelusuri otot tegang di betisku dan mulai mengaplikasikan krim pereda nyeri.

 "Sepatu yang tadi kamu pake mungkin emang kurang nyaman buat dipake lari di jalur menanjak" komentarnya sambil memijit kakiku. "Kaki kamu jadi kerasa lebih capek karena sepatunya kurang proper."

Walaupun aku benar-benar merasa sungkan dan tidak enak dengan ibu mertuaku. Aku tidak bisa memungkiri pijatan tangan Arial betul-betul berhasil mengurangi rasa pegal di kakiku.

***

Minggu sore, kami meninggalkan Bandung. Ibu terlihat sedih karena ditinggal sendiri lagi di rumah. Biasanya, ada keponakan Arial yang ikut tinggal di rumahnya ibu. Keponakan Arial sedang kuliah di Bandung, tetapi karena sedang liburan semester, keponakan Arial juga sedang pulang kampung. Jadi, untuk saat ini, ibu Arial tinggal sendiri di rumah. Aku menawarkan ibu Arial untuk menginap lagi di apartemen kami. Tetapi mertuaku menolak karena minggu depan beliau sudah punya acara yang cukup padat.

Marriage ProbationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang