Chapter 7: Boleh aku duduk di sebelah kamu?

8.4K 564 4
                                    

"Weekend biasanya kamu ngapain?" Tanya Arial saat kami sedang mencuci piring bekas makan malam. Jumat malam, Arial lagi yang memasak makan malam. Dia membuat kubis gulung isi daging cincang. Makanan sederhana dan cepat membuatnya, tapi rasanya enak.

"Gak ngapa-ngapain, sih." Jawabku "Biasanya kalau weekend aku lebih suka istirahat sama rapihin kerjaan rumah." Jujur aku memang tidak terlalu suka tempat ramai dan berinteraksi dengan terlalu banyak orang. Jadi liburan di rumah adalah sesuatu yang sangat menyenangkan untukku. 

"Besok aku ada kerjaan di kantor." Kata Arial, "Kemungkinan siang baru selesai."

"Oh." Jawabku.

"'Oh' doank nih jawabannya?" Tanya Arial, "Kamu gak minta diajak malming atau kencan gitu?"

"Nggak.. nggak usah repot-repot." Jawabku. "Aku beneran lebih suka diem di rumah kalau lagi libur. Besok mungkin aku bakalan baca novel-novel dari kamu seharian. Dan itu emang versi healing nya aku."

"Mode pengisian daya buat orang-orang introvert, ya?" Celetuk Arial.

Aku tersenyum dengan lebar ketika mendengar ucapan Arial. Arial menyerahkan piring terakhir yang baru selesai dia cuci untuk aku keringkan. Sambil mengelap piring, aku memperhatikan Arial yang sedang mengeringkan tangannya dan kemudian memasangkan kembali cincin nikah ke jari manisnya sambil beranjak menuju ke kamarnya. Cincin itu tadi dilepas dan disimpan di dekat wastafel saat dia akan mencuci piring. Tanpa sadar, aku jadi menyentuh cincin nikah yang aku jadikan sebagai liontin kalung karena ukurannya yang terlalu besar.

Beberapa hari yang lalu, aku sempat melihat Arial memperhatikan jari manisku, tapi dia tidak pernah menanyakan kenapa aku tidak menggunakan cincin pernikahan kita. Aku juga tidak menjelaskan kalau cincin nikahnya aku gunakan sebagai kalung karena ukurannya yang terlalu besar. Nanti sepertinya aku akan ke toko perhiasan untuk mengecilkan ukuran cincinnya.

Tidak lama kemudian, Arial keluar lagi dari kamar, wajahnya dibingkai kacamata dengan frame tipis berwarna silver. Dia juga membawa laptop dan setumpuk berkas. Aku baru tahu kalau Arial menggunakan kacamata. Arial yang menggunakan kacamata terlihat jauh lebih serius, ekpresi tengil yang biasanya dia tunjukkan saat kami mengobrol seperti hilang saat dia memakai kacamata itu.

Setelah mendapatkan posisi yang nyaman, Arial mulai fokus mengerjakan pekerjaannya di ruang tengah. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard laptop sambil sesekali melihat isi dokumen-dokumen yang dia bawa. Lalu, otak overthinking ku mulai bekerja dengan keras. Sebagai seorang istri apa yang harus aku lakukan ketika melihat suaminya sedang sibuk bekerja?

a. apakah aku harus pergi ke kamar dan tidur?
b. apakah aku harus menemani suami yang sedang bekerja? 

Kalau aku memilih opsi a, apakah aku akan dianggap sebagai istri yang tidak kompeten?

Kalau aku memilih opsi b, apakah aku akan dianggap sebagai gangguan yang mengganggu pekerjaan dia?

Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil sebuah novel dari kamarku, kemudian duduk juga di ruang tengah. Posisinya tidak terlalu dekat, tapi cukup menunjukkan kalau aku juga ada di ruangan yang sama, menemani Arial.

Arial melirik ke arahku sebentar, lalu kembali fokus dengan pekerjaannya. Aku menganggap gestur itu sebagai validasi kalau dia mengijinkan aku untuk berada di ruangan ini juga. Jadi, aku mulai membaca novel yang aku bawa dan dia sibuk dengan pekerjaan yang dia lakukan.

Sekitar setengah jam kemudian, kami berdua masih sibuk dengan dunia kami masing-masing. Pekerjaan Arial sepertinya masih cukup banyak dan novel yang aku baca baru sampai ke halaman 143. 

"Aku mau teh lemon hangat, mau dibikinin juga, gak?" Tanyaku.

"Boleh." Jawab Arial singkat.

Jadi aku menyiapkan teh hangat dengan potongan lemon untuk kami berdua. Arial melihat sekilas ke arah cangkir yang aku letakkan kemudian mengucapkan terima kasih dan masih terus sibuk dengan pekerjaannya. 

Setelah minum teh, aku malah jadi mengantuk. 

Sepertinya aku benar-benar tertidur, sampai tiba-tiba saja aku terbangun dengan sentuhan hangat di pipiku. "Zi, udah malam. Tidurnya di kamar aja." Aku terbangun dan langsung berhadapan dengan Arial yang sedang menatapku dari atas. Dia masih menggunakan kaca matanya. Dia berdiri di belakang sofa sambil memegang secangkir gelas, tangan kanannya masih menyentuh pipiku. Sementara itu, aku sepertinya tertidur dengan posisi kepala yang mendongak, ditopang  oleh sandaran sofa. Aku tidak tahu seaneh apa ekspresi wajahku saat tertidur, yang pasti aku merasa canggung. Aku buru-buru menghindar dari sentuhan tangan dia,  sekilas aku melihat jam di ruang tengah sudah menunjukkan pukul 11:45 malam, sepertinya aku tertidur cukup lama.

"Kerjaan kamu belum beres?" Tanyaku sambil sedikit meregangkan badanku. Aku melihat laptop yang masih terbuka dan berkas yang masih tercecer di atas meja kaca.

"Udah, ini baru mau diberesin." Jawab Arial. "Makasih yah udah ditemenin."

Aku hanya mengangguk dan buru-buru masuk ke dalam kamarku. Sentuhan tangannya masih terasa di pipiku dan perasaan aneh mulai muncul di dadaku.




Marriage ProbationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang