Chapter 9: Hari Sabtu masih berlanjut

8K 542 3
                                    


"Kamu jangan pulang dulu, Zi. Tunggu di situ. Sebentar lagi aku selasai."

Satu jam berlalu dan dengan polosnya aku masih menunggu Arial di lobby. Tadi aku kesal dengan Arial yang tiba-tiba memelukku, sekarang aku kesal karena dia menyuruhku menunggu tanpa keterangan lebih lanjut. Aku lebih kesal lagi karena dengan bodohnya aku masih menunggu Arial di sini bahkan setelah dua satpam berbeda menanyakan kepentingan ku di sini.

Aku bisa saja menelepon atau mengirim pesan tapi aku khawatir menganggu pekerjaan Arial. Pikiranku melayang ke novel yang semalam aku baca, seharusnya aku bawa novel itu ke sini. Jadi, aku tidak akan terlalu bosan menunggu di sofa lobby. Seharusnya aku sedang menikmati weekend di kamar barunya. Tapi Arial malah menyuruhku menunggu di sini.

'Seharusnya tadi aku kirimkan saja drivenya dengan menggunakan kurir instan.' Pikirku.

Lalu pikiranku kembali teringat Arial yang tiba-tiba memelukku dan mengecup puncak kepalaku. Tinggiku 168 cm, relatif tinggi untuk ukuran tubuh perempuan Indonesia, postur Arial yang cukup tinggi membuat dia dengan mudah memeluk pundakku dan mencium kepalaku. Wajahku memerah lagi mengingat kejadian itu.

Walaupun banyak yang bilang mereka iri dengan tubuhku yang tinggi, aku sebetulnya tidak terlalu suka dengan tinggi badanku. Ketika masih kecil, karena posturku yang lebih tinggi dibanding anak seusianya, sekolah memasukkan ke dalam tim basket putri. Aku bahkan sempat membantu timku menjuarai kejuaraan nasional saat masih duduk di bangku SMP. SMA aku malah ditarik ke liga nasional sebagai pemain muda. Beberapa kali aku jadi pemain inti dan ikut membantu menjuarai turnamen walaupun berperan sebagai pemain pengganti.

Posisinya sebagai anggota tim basket putri membuatku merasa lebih nyaman dengan rambut pendek. Rambut ribet tidak perlu ribet disisir dan tidak rawan gerah. Namun karena rambutku yang pendek, badanku yang terkesan lebih berotot dibanding remaja sebayaku, orang-orang jadi menganggapku seperti laki-laki atau tomboy. SD SMP, saat foto kelas atau foto bersama, jarang ada teman laki-lakiku yang mau berfoto di sebelahku. 

"Aku jadi bantet banget kalau foto sebelahan sama kamu, Zi!"

"Lu ngapa tinggi banget, dah?"

"Cuaca di atas sana gimana mendung juga gak, Zi?"

Kira-kira begitu komentar teman-teman cowokku dulu. Aku tahu mereka hanya bercanda, tapi tanpa aku sadari, komentar-komentar itu membuatku insecure dengan tinggi tubuhku. Tanpa sadar aku jadi sering membungkukkan badanku agar tidak terlihat terlalu tinggi. SMA sudah tidak banyak lagi yang mengomentari tinggi badanku, tapi aku masih merasa insecure.

Tahun terakhir SMA aku mengalami cedera parah di lututku saat bertanding. Proses recovery-nya cukup lama, dan cederanya cenderung berulang sehingga aku tidak bisa berkontribusi banyak untuk tim. Setelah banyak pertimbangan, aku memutuskan keluar dari tim dan fokus untuk recovery.

Selama masa recovery itu, fisioterapis ku mengingatkan berkali-kali tentang postur tubuhku yang terkesan membungkuk dan imbas jangka panjangnya kalau aku terus-terusan seperti itu. Semenjak saat saat itu, aku memperbaiki postur tubuhku. Recovery yang lama juga menyebabkan aku terlambat masuk universitas. Usia yang lebih tua satu tahun dibanding teman-teman seangkatan lain juga menyebabkan aku tidak terlalu akrab dengan mereka. Karena merasa tertinggal banyak, waktu kuliah aku jadi berusaha untuk belajar lebih keras, waktu bergaulku dengan teman-teman seangkatan jadi terbatas, tapi aku berhasil lulus cepat dengan IPK yang memuaskan. Walaupun lulus cepat dengan IPK yang bagus, aku juga sempat kesuliatan mencari kerja sebelum akhirnya diterima di Perusahaan Rasqita tahun lalu.

Lamunan tentang masa remajaku berakhir ketika seorang satpam menghampiriku (lagi). Beliau menanyaiku (lagi) tentang keperluanku di sini. Dan aku menjawab sejujurnya kalau aku sedang menunggu Arial.

Marriage ProbationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang