Chapter 27: Komitmen

9.1K 574 10
                                    


Arial sedang memainkan cincin nikahku yang aku jadikan sebagai liontin. Aku menyandarkan tubuhku di dada Arial yang sedang duduk bersandar ke headboard tempat tidur. Tangan kirinya mengusap-usap lembut perutku yang tertutupi oleh kaos yang dia pakai semalam. Pakaianku sendiri, posisinya entah berada di mana. Kami berdua sedang menikmati sisa pagi yang sudah hampir menjelang siang di kamar Arial. Berpelukan dan menikmati awan yang berarak di balik jendela. Langit hari ini terlihat biru dan cerah.

"Kamu selalu pakai kalung ini?" Tanya Arial, sambil masih memutar-mutar cincin nikahku.

Aku mengangguk sambil memasangkan cincin itu ke jari manisku dan memperlihatkan kepada Arial kalau ukurannya terlalu besar di jariku. 

"Aku pikir kamu gak mau pakai cincin karena gak suka dengan pernikahan kita." Ujar Arial masih memainkan cincin yang sekarang terpasang di jari manisku, mungkin dia baru sadar kalau cincin nikahku memang selonggar itu.

Aku pernah berniat untuk mengecilkan cincin ini, tetapi sampai hari ini niat itu tidak aku laksanakan. Mungkin karena secara tidak sadar, aku menundanya karena khawatir dengan perasaanku sendiri. Mungkin aku takut, ketika akhirnya cincin ini terpasang di jari manisku, artinya aku sudah siap menjadi istri. Dan sekarang, aku memutuskan sudah siap menjadi istri Arial.

Aku mendongak untuk melihat langsung ke mata Arial. "Nggak, kok. Aku gak pakai cincinnya bukan karena gak suka. Ukurannya aja yang terlalu longgar."

Arial memperhatikan ekspresiku, seperti mencoba mencari apakah ada yang aku sembunyikan atau tidak. Pada jarak sedekat ini, aku semakin menyadari kalau warna iris Arial terlihat sangat cantik. Selama ini, aku selalu merasa kalau mata Arial adalah salah satu bagian yang paling menarik dari wajahnya. Kadang irisnya berwarna hitam pekat, tapi kadang aku merasa warnanya seperti kecoklatan. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas iris mata Arial memang memiliki semburat warna coklat dengan intensitas warna yang berbeda. Itu sebabnya warna mata dia kadang terlihat hitam pekat atau coklat hangat.

"Kita beli cincin baru, ya." Katanya, "Sebagai tanda baru dari komitmen kita."

Mendengar penawaran Arial, aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela, menyembunyikan wajahku yang mengguratkan senyum senang. Awan putih terlihat semakin menipis dan menghilang di sana menyisakan langit berwarna biru cerah sama cerahnya dengan hatiku. Aku bahagia sekali mendengar Arial menanggapi permintaanku untuk menghentikan marriage probation ini dengan serius sampai dia mau mengganti cincin pernikahan kami. Namun, aku juga tidak mau Arial mengeluarkan budget lebih untuk membeli cincin baru.

"Aku gak keberatan pakai cincin ini, kok." Jawabku, "Jujur, aku pernah berniat untuk ngecilin cincin ini ke toko perhiasan. Tapi niatnya belum terlaksana. Nanti kamu temenin aku buat kecilin cincin ini aja, ya?"

"Kamu gak usah nolak." Kata Arial, "Aku mau beliin yang baru buat kita. Udah titik."

Aku tersenyum mendengar perkataan Arial.

"Desainnya mau kayak gimana?" Tanya Arial. "Materialnya mau apa?"

"Hmm.... Gold? Silver? Platina? Titanium?" Aku malah balik bertanya, mencoba mengikuti keinginannya untuk membelikan cincin nikah yang baru. "Aku gak terlalu masalah sama material cincinnya." Jawabku 

"Berarti cincin mood yang bisa ganti-ganti warnanya gak masalah?" Tanya Arial

Mendengar pertanyaan Arial, aku langsung mengganti posisi dudukku untuk berhadapan langsung dengannya. "Ya, masa mood ring?" Tanyaku.

Arial seperti terhibur dengan ekspresiku. "Kan biar gampang nebak kamu lagi bad mood atau nggak. Tinggal dilihat cincinnya lagi warna apa"

"Tapi kan mood ring  itu material thermochromic yang warnanya bisa berubah tergantung suhu. Perubahan suhu gak selalu identik dengan suasana hati." Kataku.

Marriage ProbationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang