Chapter 25: Sebuah Kata Rindu

7.9K 601 7
                                    

Hari senin sore, aku sengaja pulang lebih lambat lagi. Aku masih malas pulang karena sampai hari ini, Arial juga belum memberi kabar. Arial sudah bilang dia akan susah dihubungi selama dinas, tetapi tetap saja aku khawatir. Apakah aku harus ke kantornya Arial untuk menanyakan kabar langsung? Atau aku harus mencari kontak Mbak Retna dan Seno untuk menanyakan kabar Arial?

Mbak Retna dan Seno main social media atau tidak, ya? Kalau pun aku mau mencari, aku tidak tahu nama lengkap Mbak Retna dan Seno. Di saat seperti ini, aku jadi sadar kalau rasanya aku tidak kenal Arial sebaik itu. Aku tidak tahu kontak teman-temannya. Setelah mendengarkan obrolan Fatia kemarin, aku makin merasa seperti orang asing yang menyusup masuk ke dalam hidup Arial. 

Aku tidak tahu masa lalu Arial seperti apa, aku hanya tahu apa yang Arial jelaskan padaku. Dulu mungkin aku tidak penasaran dengan masa lalu Arial seperti apa, aku jarang menanyakan hal-hal terkait dengan masa lalu dia. Arial lebih ahli menggali informasi itu dariku. Dia sudah tahu aku adalah mantan pemain basket yang mengalami cedera lutut, dia tahu aku tidak suka keramaian. Dia dengan mudah menebak makanan kesukaanku. Dia dengan mudah menebak film yang suka aku tonton. Dia dengan mudah masuk ke dalam hatiku, tetapi aku tidak tahu apa-apa tentangnya. 

Aku mungkin juga merasa iri dengan Fatia dan Laras yang kenal dengan Arial lebih lama dariku.

Aku sengaja membuka kaca helmku dan menikmati angin kota. Hari ini ojek online yang aku pesan melajukan motornya dengan cukup kencang. Dari kejauhan, aku melihat lampu apartemen Arial sudah menyala.

Apa Arial sudah pulang?

Membayangkan hal itu, aku langsung merasa senang dan bersemangat. Akhirnya Arial pulang! Arial bilang kalau pekerjaannya akan beres antara tiga hari sampai dua minggu. Mungkin pekerjaannya akhirnya selesai lebih cepat. Mungkin dia sengaja tidak memberi kabar karena ingin membuat kejutan dengan tiba-tiba pulang. Setelah turun di depan apartemen, aku buru-buru naik lift untuk menuju unitku, rasanya lama sekali menunggu pintu lift terbuka dan mengantarkanku ke lantai kamarku. Tanpa sadar aku berlari kecil di sepanjang lorong dan buru-buru membuka pintu.

Hening.

Aku tidak melihat sepatu Arial di rak. Tidak ada tanda-tanda Arial sudah pulang, sepertinya tadi pagi aku lupa mematikan lampu. Atau mungkin aku sengaja menyalakannya agar tidak pulang ke ruang apartemen yang gelap. Rasa senang yang awalnya aku rasakan berubah menjadi rasa kecewa. 

Arial belum pulang, aku masih sendirian.

***

Mungkin, karena aku merasa sangat kesepian, malam tadi aku memutuskan untuk tidur di kamar Arial. Ditemani oleh bantal dan guling dan selimutnya, mencari jejak keberadaan Arial. Mungkin aku terdengar seperti wanita gila, aku sengaja menyemprotkan parfum yang biasa digunakan Arial agar aku tidak merasa kesepian.

Apakah ini yang namanya dimabuk cinta?

Aku merasa seperti wanita yang sangat menyedihkan. Mencari kehangatan dari bayangan. Aku benar-benar merasa konyol, tetapi dengan tidur di kamar Arial, ditemani aroma yang familiar, cukup membuatku bisa tidur sedikit lebih nyenyak dibandingkan malam-malam sepi sebelumnya.

Hari ini, Arial belum menghubungiku lagi. Besok, aku sepertinya akan ke kantor Astina untuk mencoba mencari kabar tentang Arial. Aku tidak peduli kalau dicap sebagai istri clingy atau posesif, tapi aku mulai khawatir dengan Arial yang sudah hampir satu minggu tidak bisa aku hubungi. Setidaknya aku harus tahu apakah dia baik-baik saja atau tidak.

Angin malam segar tidak lagi bisa aku nikmati. Di kejauhan aku melihat lagi lampu apartemenku yang sudah menyala. Sepertinya aku lupa lagi untuk mematikan lampu. Pelan dan tidak bersemangat, aku berjalan menuju apartemen Arial karena tahu akan bertemu lagi dengan ruang kosong. 

Saat membuka pintu, aku mencium aroma rempah dan gurih, seperti ada seseorang yang sedang memasak sup daging. Tidak berapa lama kemudian aku melihat Arial menyapaku sambil membawa sendok sayur. Dia menggunakan kemeja putih yang lengannya digulung sampai ke siku. Dua kancing atasnya terbuka. Sepertinya dia baru saja pulang dan buru-buru memasak makan malam sambil menungguku pulang.

"Aku lagi masak soto Bandung." Katanya, "Kamu belum makan malam, kan?"

Aku menggeleng pelan, masih tidak percaya kalau Arial sudah pulang. Dia berjalan kembali menuju dapur dan aku mengikutinya dari belakang.

"Nasinya udah mateng di rice cooker, tolong bantu siapin ya, Zi." Katanya sambil mengaduk soto di dalam panci. "Sotonya bentar lagi jadi, lobak tinggal sedikit lagi mateng."

Seperti ada tangan lain yang menarikku, aku tiba-tiba meraih Arial dan memeluknya dari belakang. Saat tubuhku berhasil merengkuh tubuhnya dan merasakan hangat tubuhnya, aku baru benar-benar yakin kalau Arial sudah pulang.

"Zi?" Aku mendongak dan melihat Arial yang sedang memperhatikanku dengan ekspresi yang terlihat kaget. Dia mungkin kaget karena ini pertama kalinya aku menunjukkan afeksi ku secara fisik. Biasanya aku hanha memeluknya saat tertidur. Aku buru-buru melepas pelukanku, rasa rinduku sepertinya telah membuatku melakukan hal berlebihan. Aku mundur menjauh sambil menundukkan kepalaku karena aku tidak mau melihat ekspresi Arial. Aku juga tidak mau Arial melihat ekspresiku.

Tetapi sebelum langkahku lebih jauh Arial meraih tanganku dan menarikku ke dalam pelukannya. Dia meletakkan kepalaku di dadanya, membuaiku dalam hangat pelukannya. 

"Aku pulang." Katanya dengan lembut di atas kepalaku.

Tanganku terangkat, ikut merengkuh punggungnya. Aku membiarkan anganku tersesat dalam aroma yang aku rindukan

Marriage ProbationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang