Chapter 4: Sebuah kontrak

12.6K 664 5
                                    


Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, yang pasti saat aku terbangun sinar matahari sudah menyorot mataku dan memaksa mataku untuk terbuka. Kasur empuk yang aku tiduri rasanya nyaman sekali. Seluruh energiku yang hilang kemarin, sepertinya telah menemukan jalannya kembali pulang ke dalam tubuhku. Walaupun badanku sudah terasa sangat segar, aku masih belum mau meninggalkan kasur empuk ini.

Tunggu! Kasur empuk? Semalam kan aku tidur di sofa!

Saat itu juga kesadaranku langsung terkumpul dan aku langsung menyadari kalau aku bukan tidur di sofa, aku tidur di atas kasur Arial!

Arial tidak ada di kamar itu dan aku buru-buru ke luar kamar. Jam di ruang tengah menunjukkan sudah hampir jam sembilan pagi! Aku tidak pernah bangun sesiang ini. Ini pasti ada yang aneh. Arial pasti menaruh sesuatu di minuman aku sampai aku gak sadarkan diri kayak gini.

Tapi kan dia gak pernah ngasih kamu apa-apa, Zi?

Tidak berapa lama kemudian aku melihat Arial ke luar dari kamar yang tadi malam dia tunjukkan sebagai Gudang.

"Selamat pagi. Gimana, udah puas tidurnya?" Katanya sambil mengeluarkan kardus dari dalam kamar itu, aku melihat ada kardus-kardus lain yang sudah menumpuk di luar ruangan.

"Kok, aku bisa tidur di kamar kamu?" Tanyaku.

"Kamu yang masuk sendiri ke dalam kamar." Jawabnya singkat. Sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas, seperti tersenyum tengil. Senyum yang sangat menyebalkan.

"Gak, gak, gak... gak mungkin aku gak inget jalan terus masuk ke kamar kamu."

"Serius! Kamu tiba-tiba masuk kamar, terus tiba-tiba kamu ngapa-ngapain aku." Jawabnya sambil mengedipkan mata kirinya.

"Kamu bercanda, kan?"

"Mungkin emang kamu suka jalan pas lagi tidur, cuma gak pernah nyadar aja." Sahut Arial.

Apa iya aku jalan sambil tidur?

Aku masih tidak bisa percaya dengan kata-katanya, lagi pula memangnya pria yang milih siapa aja buat jadi istrinya adalah tipe orang yang bisa dipercaya?

Krubuk

Suara perutku memecahkan niatku untuk lanjut mendebat Arial. Aku bisa melihat Arial menahan tawa karena suara itu. Tapi aku memang kelaparan.

"Aku beli nasi kuning, bubur ayam, sama roti bakar." Katanya sambil menunjuk kantong plastik putih di atas meja dan panci kecil di atas kompor. "Karena aku gak tau kamu biasanya sarapan pakai apa, jadi aku beli seadanya yang ada di deket sini. Teh, kopi, gula, susu, ada di kabinet sebelah sana, dispenser ada di sebelah sini, piring, gelas, sendok garpu ada di kabinet sebelahnya. Kamu ambil aja sendiri, apa yang kamu butuh." Katanya sambil kembali masuk ke dalam Gudang.

"Aku gak selaper itu, kok." Kataku, mencoba menjaga image, tapi sekali lagi perutku mengkhianatiku. Suaranya menggema ke seluruh ruangan.

"Gak usah, sok jaim." Teriak Arial dari dalam ruangan. "Tinggal makan aja apa susahnya, sih?"

Kali ini aku menyerah dengan panggilan perutku, aku menuju kabinet yang ditunjuk Arial untuk mengambil piring dan sendok. Bubur di dalam panci terlihat enak, tapi nasi kuning dan roti bakar juga tidak kalah menggiurkan.

Arial keluar lagi dari ruangan sambil membawa kardus lain. "Bubur ayamnya mending diangetin aja dulu." Katanya, sambil menyalakan kompor induksi di bawah panci.

Aku mengambil roti bakar dari dalam kertas lilin, rotinya sudah dingin, tetapi saat aku gigit, aku langsung suka dengan roti itu, karena isinya adalah selai sarikaya yang tidak terlalu manis.

Marriage ProbationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang