Bab 04.

93.8K 6.9K 23
                                    

Beberapa langkah kaki terdengar saling bersahutan sehingga menghasilkan gema yang menghiasi lorong rumah sakit itu. Hingga akhirnya beberapa pasang kaki itu terhenti pada sebuah ruang rawat inap yang selama lebih dari dua tahun ini tidak pernah kosong. Lekas saja seorang lelaki setengah baya membuka pintu itu menggunakan tangan kekarnya.

Kaki pria itu berjalan cepat menuju brankar diikuti dengan beberapa pasang kaki lainnya. tubuh mereka mulai melemas ketika melihat seorang gadis yang sedang menghadapi detik-detik kematiannya. Luruh sudah air mata pria setengah baya itu, tak kala melihat banyak busa berlomba-lomba keluar dari mulut gadis yang tak lain adalah anaknya--Diana Anggita Dwitama.

Di belakang pria setengah baya itu terlihat dua orang wanita dan seorang laki-laki. Dua orang wanita itu adalah ibu dan adik dari Diana dan pria lainnya adalah kakak Diana. Tak berbeda jauh dengan Davano--ayah Diana, mereka juga terlihat berderai air mata bahkan cairan bening itu keluar lebih banyak dibandingkan milik Davano.

Sebenarnya keempat orang itu sangat menyayangi Diana. Mereka sudah mati-matian mencari pendonor jantung untuk gadis itu. Tetapi apa boleh dikata, mereka tidak pernah menemukan jantung yang cocok, bahkan mereka juga telah memeriksa satu persatu jantung milik mereka.

Akhirnya mereka hanya pasrah menerima takdir Tuhan dan mengharapkan keajaiban datang menghampiri. Hingga akhir-akhir ini mereka mulai menjauhi Diana karena tidak sanggup menyaksikan penderitaan gadis itu. Tanpa mereka sadari, sikap mereka yang menjauhi Diana membuat gadis itu semakin frustrasi.

Sekarang, 4 anggota keluarga itu hanya bisa menangis pilu saat menyaksikan detik-detik malaikat menjemput nyawa yang tersemat pada tubuh ringkih Diana. Di tengah-tengah euforia kesedihan itu, samar-samar mereka melihat bibir mungil yang sedang mengeluarkan busa itu melengkung tipis sembari bergerak.

"Aku menyayangi kalian..."

Setelahnya, tubuh itu berubah menjadi kaku. Mata yang semula terbuka meski tidak memiliki binar, sudah tertutup sepenuhnya. Pun dengan bibir mungil yang tadi berucap, telah berubah warna menjadi ungu kebiruan. Pertanda telah perginya nyawa yang selama ini mengisi tubuh ringkih itu, menyisakan raga yang siap untuk dikebumikan.

Air mata keempat orang itu semakin mengalir deras. Tubuh mereka mulai melemas saat dada mereka terasa sangat sakit bagaikan dihujam oleh sembilu tak kasat mata. Hancur dan sakit? Sudah pasti. Gadis yang memiliki hati seputih salju itu telah pergi meninggalkan mereka selama-lamanya.

Davano menubruk tubuh tak bernyawa itu dengan pelukan hangat. Perasaan menyesal menyeruak begitu saja. Pria setengah baya itu berpikir, andai saja ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan sang putri, terlebih waktu yang dapat mereka habiskan tidak banyak. Tapi itu semua hanya andai-andai yang hanya bisa diimpikan tanpa bisa diwujudkan karena sang putri telah meninggal untuk selama-lamanya.

Pria setengah baya itu mengecup seluruh wajah Diana seraya bergumam. "Ayah juga menyayangi kamu, nak."

Setelah Davano melepas pelukannya, Ariana--ibu Diana--lekas memeluk tubuh kaku itu, dilanjutkan dengan Evan--si sulung keluarga Dwitama, dan Lidya--si bungsu keluarga Dwitama.

~o0o~

Keheningan menyambut dua insan yang sedang duduk di taman yang terletak di belakang mansion sembari ditemani cahaya bulan. Dua insan itu adalah Viana dan Abimana. Mereka sedang menghabiskan waktu berdua setelah tadi kedua pihak keluarga telah selesai memutuskan segala macam tentang pernikahan mereka, termasuk tanggal resepsi.

"Kamu tahu jika kamu telah dijual?" Suara berat itu menyapa ke dalam telinga Viana, sehingga membuat gadis itu menoleh seraya tersenyum.

"Ya, aku tahu."

Viana memang mengetahui itu karena memang pernikahan ini didasari hutang ayahnya. Perusahaan yang sedang berada di ambang kehancuran membuat Viana terpaksa menerima pernikahan demi mendapat suntikan dana untuk membayar hutang perusahaan yang semakin menumpuk.

"Lantas, kenapa kamu menerima pernikahan ini?" tanya Abimana.

"Tidak apa-apa. Untuk apa aku tinggal di rumah ini, jika kehadiran aku saja tidak dianggap. Benar, kan?"

Dahi Abimana mengernyit saat mendengar ucapan gadis di sampingnya. "Dari mana kamu tahu, jika kamu tidak dianggap?"

"Bukankah sudah sangat jelas? Mana ada orang tua yang tega menjual anaknya hanya karena hutang kecuali anak itu memang tidak dianggap."

Ucapan Viana itu berhasil membuat Abimana terdiam lalu detik berikutnya ia tersenyum tipis. "Ah, sepertinya aku tidak sendiri. Meski aku lebih menderita dibandingkan dia," batin pria itu.

Merasa pria dewasa itu tidak mengucapkan apa-apa, Viana mulai melancarkan pertanyaan miliknya. "Lalu, kenapa kamu terima saat kedua orang tua itu menjodohkan kamu dengan ku?"

Sebelum menjawab, Abimana kembali tersenyum sembari menghela napas. "Kita punya nasib yang sama. Walau punyaku lebih tragis sih." Pria itu terkekeh karena ucapannya sendiri.

"Aku tidak bisa mengendalikan emosi, penglihatanku juga sangat minim bahkan untuk berjalan saja aku kesulitan," imbuh Abimana.

Viana tertegun. "Apa maksudnya itu? Apakah dia lumpuh dan buta, tetapi tadi bukannya dia bisa berjalan dan melihat?" batin Viana kebingungan. Jelas saja ia bingung, toh di dalam novel karakter Abimana hanya dijelaskan mengalami penyakit bipolar akibat kekerasan yang dilakukan pelayan serta orang keluarganya sendiri.

"Aku lumpuh namun ada kalanya aku bisa berjalan selama beberapa jam jika mengonsumsi obat. Mataku juga sangat kabur bahkan saat ini aku tidak bisa melihat apa pun kecuali cahaya bulan yang samar-samar," jelas Abimana seakan mengerti dengan keterdiaman gadis di sampingnya.

"Bukankah sangat mustahil ada orang yang bersyukur jika memiliki keluarga seperti aku?" Lanjutnya bertanya. Senyum miris perlahan terukir di bibir pria itu.

"Ada!" sahut Viana cepat.

"Siapa?"

"Aku! Aku Viana Chintia Dirham, akan sangat bersyukur jika memiliki suami sepertimu!" ujar Viana yakin.

Bersambung.

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang