Bab 07.

83.9K 5.8K 36
                                    

"Tidak terasa ya, adiknya kakak sudah mau menikah." Leon mengelus kepala sang adik.

Saat ini Viana sedang merebahkan kepalanya di pangkuan sang kakak dengan Leon yang menyandarkan tubuhnya pada kepala kasur. Sudah beberapa hari berlalu dari hari ketika Viana bersama ayah dan ibunya menjemput Leon, hingga tak terasa besok adalah hari pernikahannya.

"Iya, kakak tidak apa-apa, kan? Kalo aku melangkahi kakak?" Gadis berusia 18 tahun itu menelusupkan kepalanya di perut keras milik sang kakak.

"Tidak apa-apa. Justru kakak senang," Sahut Leon sembari tersenyum teduh.

Pernikahan Viana sendiri diadakan pada sebuah gedung mewah yang disewa secara pribadi oleh keluarga Dirham dan Adhias. Kendati demikian, tamu undangan yang telah diundang sangat sedikit. Hanya ada beberapa pebisnis serta keluarga dari kedua belah mempelai.

Jika menurut Viana, ia membayangkan acara pernikahannya akan terlihat elegan dan berkelas seperti sebuah acara perkumpulan para pebisnis ulung. Jiwa anak muda milik Viana sudah pasti mengatakan itu hal yang membosankan.

Viana mendongakkan kepalanya. "Kakak, aku setelah menikah ingin mendaftar di universitas," celetuknya memecahkan keheningan yang sempat melanda.

"Terus? Kamu mau izin sama kakak? Tidak perlu izin, kalau kamu mau kuliah, ya, jalankan saja," jawab Leon sembari menatap manik indah sang adik.

"Bukan begitu, aku mau kakak mengajari aku tentang materi-materinya, agar aku bisa lulus," ucap Viana.

Ia sudah bertekad untuk bisa masuk ke universitas dengan nilai tes tertinggi supaya bisa membungkam mulut-mulut orang yang telah menghina Viana asli semasa gadis itu sedang menginjak bangku sekolah menengah atas.

Leon mengangguk ketika mendengar permintaan sang adik. "Boleh, setelah kamu menikah, Kakak masih punya jatah cuti sekitar dua minggu. Nanti selama dua minggu itu, Kakak akan mengajarimu semua materi yang sekiranya masuk dalam soal tes masuk universitas,"

Viana tersenyum lebar karena mendengar ucapan Leon. Ia kembali menelusupkan kepalanya sembari bergumam. "Terima kasih kakak."

"Sama-sama."

Hati Leon bahagia ketika sang adik bermanja-manja kepadanya seperti saat ini. Hal yang selalu Leon mimpikan adalah memiliki adik perempuan yang akur dengannya. Ia iri ketika melihat keharmonisan teman-temannya dengan adik mereka, tetapi sekarang sudah tidak lagi.

Dia akan berusaha memanjakan gadis yang sedang merebahkan kepala di pangkuannya ini. Semoga saja sifat sang adik tidak berubah seperti sedia kala. Ia tidak mau adik kesayangannya justru membenci dirinya.

"Kakak sangat menyayangimu," ucap Leon tetapi tidak mendapat balasan apapun.

Ia terkekeh pelan saat mengetahui jika sang adik telah terlelap ke alam mimpi. Segera Leon mengganti pahanya dengan sebuah bantal agar sang adik merasa lebih nyaman, kemudian turut merebahkan tubuhnya di samping sang adik.

Leon tidak akan pindah karena saat ini mereka memang sedang berada di kamar milik pria itu sendiri dikarenakan Viana ingin tidur bersama kakak dengan alasan rindu. Leon tentu saja dengan senang hati menuruti perkataan sang adik.

Sebelum menyelam ke alam mimpi, Leon sempat memberikan kecupan lembut pada sang adik. "Selamat malam, Ana."

~o0o~

Seorang penata rias sedang mematut penampilan Viana di depan cermin. Jari-jari lentik milik penata rias itu dengan lihai membubuhkan coretan dandanan sehingga membuat penampilan Viana semakin menarik.

Tak berbeda jauh dengan wajahnya, tubuh gadis itu juga sudah terbalut gaun putih dengan renda berwarna senada serta taburan butiran-butiran mutiara yang akan membuat gaun itu mengkilap jika disinari cahaya matahari.

"Nona cantik sekali," ujar seorang laki-laki gemulai yang menjadi penata rias wajah Viana.

Gadis yang disanjung pasal kecantikannya itu tersenyum kecil. "Terima kasih."

"Sama-sama Nona. Oh iya, ini sudah selesai, Nona mau langsung turun ke bawah?"

Viana menggeleng. "Nanti saja, tunggu kakak atau ibuku yang jemput."

"Oke, kalau begitu saya izin membereskan peralatan make up ini dulu."

Dengan cekatan, tangan laki-laki itu membereskan peralatan miliknya setelah mendapat izin dari Viana. Selang beberapa menit, ketukan pintu mengalihkan perhatian mereka.

"Masuk saja, pintunya tidak dikunci," ujar Viana membuat pintu itu dibuka. Terlihat Leon menyembulkan kepalanya dengan menyunggingkan sebuah senyum hangat.

"Sudah? Calon suami kamu sudah menunggu di bawah."

Mendengar ucapan sang kakak entah kenapa, tiba-tiba jantung Viana berdetak kencang. Ia tidak menyangka akan menikah di umur ke-18 tahun, sedangkan di kehidupan sebelumnya, menginjak usia ke-19 tahun, dirinya sebagai Diana yang hanya berjarak satu tahun dengan Viana, masih setia menyendiri.

Sebenarnya itu hal yang wajar-wajar saja, ditambah lagi siapa yang mau dengan perempuan sakit-sakitan seperti dirinya, bukan? Memikirkan soal penyakit, pria yang akan menjadi suaminya juga tergolong sakit-sakitan.

Tetapi Viana tidak peduli, lagi pula Abimana--calon suaminya--sangat tampan membuat gadis itu betah jika memandang visual suaminya dalam kurun waktu yang lama.

"Tidak apa-apa lumpuh, yang penting tampan dan kaya," batin Viana menggebu-gebu.

"Hei, ayo kita turun, kenapa malah melamun?" ujar Leon membuat lamunan Viana buyar. Entah sejak kapan, kakaknya itu sudah berada di sebelahnya bahkan sudah memegang pergelangan tangan miliknya.

"Eh, iya, sebentar." Viana segera meraih kain tipis berwarna putih kemudian memasangkan kain itu di kepalanya.

"Ayo!" Leon menarik tangan Viana setelah melihat anggukan dari sang adik.

Viana melangkah menuruni tangga dengan hati-hati, tangan kanannya menggenggam tangan sang kakak sedangkan tangan kirinya mengangkat bawahan dari gaun yang ia kenakan karena roknya yang menjuntai hingga ke lantai.

Setelah dua pasang kaki itu menapaki lantai, Viana dapat melihat Abimana sedang duduk di kursi roda. Kendati demikian, Abimana terlihat memukau dengan tubuh terbalut jas berwarna hitam dilengkapi dasi berwarna senada serta dalaman kemeja berwarna putih. Melihat Viana yang sedang berjalan mendekat, sontak saja Milton, Arion, Marissa, serta Malia menegakkan tubuh mereka.

"Sudah siap? Ayo kita pergi." Keempat orang dewasa itu berlalu meninggalkan Abimana Viana serta Leon. Terlihat pria yang ada di kursi roda itu kesusahan menjalankan kursi rodanya.

Viana yang tidak tega lekas saja mengambil alih kursi roda itu dan mendorongnya sehingga membuat Abimana tersentak, ia menoleh ke belakang. Meski kabur, ia dapat melihat jika orang yang mengambil alih kursi rodanya adalah Viana--calon istrinya. Abimana tersenyum kecil kemudian kembali mengalihkan pandangan ke depan.

Sekarang, Viana yang kesusahan berkat gaun pernikahan yang ia kenakan. Walau begitu, Viana memilih diam dan tidak mengeluh. Tetapi tiba-tiba Viana merasakan gaun bagian belakang miliknya terangkat membuat gadis itu menoleh. Dapat gadis itu lihat jika pelakunya adalah Leon.

Pria itu tersenyum kecil melihat Viana yang tampak peduli kepada pria yang akan menjadi suaminya, itulah sebabnya ia berinisiatif mengangkat rok bagian belakang dari gaun yang dikenakan sang adik.

"Ayo kita menyusul mereka."

Bersambung...

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang