Bab 06.

88.9K 5.8K 23
                                    

~Menunggu Vote...~

Kaki milik gadis bermata coklat gelap itu melangkah dengan malas mengikuti sepasang paruh baya yang menjadi orang tuanya. Saat ini mereka sedang ada di sebuah bandara karena pesawat yang ditumpang Leon--kakak kandung Viana--dikabarkan akan mendarat.

Viana sendiri mengetahui jika dia mempunyai seorang kakak, hanya saja tokoh bernama Leon itu sangat sedikit dijelaskan di dalam novel karena pria itu adalah tokoh tak penting dalam bahasa yang lebih halus disebut figuran.

Di dalam novel, tokoh Leon hanya dijelaskan sebagai kakak kandung Viana yang bekerja sebagai dokter jenius di sebuah rumah sakit yang ada di luar negeri. Viana yang pada dasarnya memiliki kapasitas otak standar membuat dirinya sangat membenci sang kakak karena sering dibanding-bandingkan oleh orang tua mereka.

Tetapi berbeda dengan Leon, walau sering tidak dipedulikan bahkan Viana asli cenderung kasar, Leon tetap menyayangi sang adik sebagaimana mestinya.

Memikirkan hal tersebut membuat Viana merasa kesal. Padahal ada orang yang menyayangi Viana asli, tetapi gadis itu lebih memilih mengejar Fariz hingga mendapat akhir yang tragis. Bodoh sekali.

"Ayo kita duduk di sana!" Marissa menunjuk kursi tunggu yang terlihat kosong.

"Baiklah ayo!" Seru Milton sembari menarik tangan sang istri tanpa menghiraukan sang anak.

Sedangkan Viana sudah mendengus dengan tatapan sebal yang terhunus ke arah sepasang punggung itu. Ayolah, suami istri itu sudah seperti bujang dan gadis lapuk. Anak sendiri ditinggal.

Namun jika diingat lagi, seharusnya Milton dan Marissa tidak saling mencintai karena perjodohan sialan, dan gadis itu juga tahu, karena hal itu dia tidak dilimpahkan kasih sayang. Tetapi Viana tidak peduli, ia tetap akan mengatai ayah dan ibunya sedang mengalami masa puber kedua. Gadis itu hanya bisa mendengus sebal tetapi tak ayal tetap melangkahkan kakinya mengikuti Milton dan Marissa.

"Dasar bujang lapuk," cibir Viana sembari mendudukkan tubuhnya di sebelah Marissa.

Rupanya cibiran itu tertangkap baik di telinga Milton sehingga membuat pria itu menatap tajam sang putri.

"Kenapa? Suka-suka saya. Dia istri saya."

"Ya deh, si paling istri," cibir Viana bermaksud menyinggung pernikahan tanpa cinta yang dijalani kedua orang tuanya.

Ia seakan tidak memiliki rasa takut pada tatapan tajam yang terarah padanya. Gadis itu justru dengan santainya meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, bergaya layaknya bos. Bahkan Viana meraih sebuah kaca mata hitam di dalam kantong blazer yang ia kenakan.

"Sok jadi bos," cibir Milton.

"Biarin, siapa tahu beneran jadi bos."

Mendengar jawaban sang putri yang terdengar kelewat percaya diri itu membuat Milton memutar bola matanya malas. Tetapi bibirnya tersenyum tipis melihat tingkah laku sang putri yang terlihat berbeda dari hari-hari biasanya.

Putrinya yang dulu pendiam dan jarang bicara bahkan terkesan angkuh terlihat berbeda dengan yang sekarang. Putrinya sekarang terlihat sangat mudah bercanda dan cerewet, jangan lupakan mulut pedasnya yang menambah kesan keren dari sang putri.

Begitupun dengan Marissa yang terlihat tersenyum tipis. Rasanya lega melihat Milton dan Vania saling mengobrol. Sepasang anak dan ayah itu tampak akrab seolah perdebatan yang terjadi kemarin tidak pernah ada.

"Papa, Mama, Ana!" Suara hangat dari seorang pria menyapa ke telinga mereka, membuat tiga pasang mata itu menoleh.

Dapat mereka lihat seorang pria dewasa dengan mata tajam dan bibir yang tersenyum manis, tak lupa sebuah jas berwarna putih melekat pada tubuhnya yang menandakan jika ia adalah seorang dokter.

Segera saja Milton dan Marissa bangkit dari tempat duduknya. Sedangkan Viana ikut berdiri karena sangat terkejut. Pasalnya wajah dari kakak Viana yang bernama lengkap Leon Dekana Dirham itu sangat mirip dengan wajah kakaknya di dunia nyata.

"Ya ampun, anak Mama sudah pulang. Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik Ma," jawab Leon tersenyum tipis.

Pria tampan yang sedang tersenyum sehingga menimbulkan lesung pipit itu menoleh ke arah Viana. "Halo Ana."

Mendengar panggilan itu, tanpa sadar kaki Viana melangkah dengan sendirinya bahkan mata gadis itu sudah berkaca-kaca. "Kakak..." lirihnya.

Sepasang kaki milik Viana semakin mendekat, hingga setelah tiba di depan Leon, dia langsung menghantam tubuh itu dengan pelukan erat. "Kakak, Ana rindu..."

Tubuh Leon menegang ketika mendapat sebuah dekapan hangat. Ini kali pertama sang adik memeluknya. Biasanya hanya ada perkataan kasar penuh umpatan ataupun sikap tak acuh yang ia dapatkan. Tapi sekarang, adiknya ini memeluk ditambah lagi, kata 'rindu' terucap indah dari bibir sang adik.

Leon tersenyum dengan tangan yang perlahan terangkat, membalas pelukan sang adik. Hatinya gembira, sehingga menghasilkan rasa tergelitik yang memenuhi rongga dadanya.

"Kakak juga," balas Leon dengan sesekali mengecup pucuk kepala sang adik.

Sedangkan di sisi Marissa dan Milton, mereka merasakan hal yang tidak jauh berbeda dengan si putra sulung. Awalnya mereka terkejut, tetapi perlahan berubah menjadi perasaan gembira karena melihat keakraban kedua anak mereka.

Leon melepas pelukannya, kala ia merasa jas yang ia kenakan lembap. Seharusnya hal tersebut tidak akan terasa karena jas itu tebal, tetapi karena Leon memiliki kulit yang sensitif, ia bisa merasakan kelembapan pada jasnya menembus kaos yang ia kenakan.

Leon semakin terkejut ketika melihat wajah sang adik memerah dengan bekas air mata pada sudut hingga pipinya. Pria itu menangkup pipi sang adik menggunakan kedua telapak tangannya sembari tersenyum hangat.

"Kenapa, hm? Jangan nangis, nanti tambah jelek," ujar Leon.

Mata Viana semakin berkaca-kaca yang sukses membuat Leon panik. Ia segera menarik kembali Viana ke dalam pelukannya karena merasa mata Viana berkaca-kaca karena ulahnya.

"Jangan nangis, oke? Kakak minta maaf."

Menyadari sang kakak merasa bersalah, Viana menggeleng pelan. Sebenarnya mata bulat itu kembali berkaca-kaca bukan karena ejekan yang dilontarkan Leon, penyebab aslinya adalah karena melihat kemiripan sikap Leon dan Evan--kakaknya ketika menjadi Diana.

Biasanya, Evan akan melakukan hal yang sama persis dengan Leon ketika melihat dirinya menangis. Evan juga akan mengatakan "Jangan menangis, nanti tambah jelek." Sehingga membuat rasa rindu terhadap kakaknya semakin besar. Viana melepas pelukan terlebih dahulu, ia tersenyum menatap sang kakak karena dengan melihat Leon, Viana bisa mengobati rasa rindunya kepada Evan.

"Nah, senyum gini bagus. Kalau nangis nanti calon suaminya kabur," ujar Leon.

Viana tersentak mendengar ucapan Leon. "Kakak udah tau kalau aku mau nikah?"

"Tau, emangnya kamu pikir kakak pulang buat apa?"

Mendengar ucapan sang kakak, Viana mengangguk mengerti. Pantas saja kakaknya pulang, ternyata untuk menghadiri acara pernikahannya yang akan diselenggarakan seminggu lagi.

"Udah, kita pulang," ucap Milton mengambil alih acara lepas rindu itu. Sedangkan Viana, Leon dan Marissa hanya mengangguk mengerti, mengikuti instruksi dari sang kepala keluarga.

Bersambung...

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang