Bab 43.

45.7K 3.9K 89
                                    

2k Vote aku up Next Bab.

Tandai Typo..

Viana melangkah mendekati suaminya yang tampak cemberut seperti anak kecil. Tepat di depan suaminya, ia berjongkok seraya tersenyum gemas. Perlahan tangannya terangkat mengapit kedua sisi pipi suaminya menggunakan jari-jari lentik miliknya. "Kenapa cemberut begitu?" goda Viana.

Abimana mendengus. Ia melepas tangan sang istri kemudian menarik pinggang sang istri sehingga menempel pada tubuhnya. Kedua tangan miliknya melingkar di pinggang Viana, memeluk erat tubuh kecil itu. "Aku cemburu," bisiknya.

Viana yang kaget spontan menepuk punggung sang suami. Tetapi tak ayal ia tetap melingkarkan tangannya di punggung itu, membalas pelukan sang suami. "Jika ingin memeluk, harusnya kamu beritahu. Jangan tiba-tiba. Kamu membuat aku terkejut," ucap Viana seraya menenggelamkan kepalanya di dada sang suami.

Abimana tak menjawab, ia menghirup aroma wangi milik sang istri. Begitu pula dengan Viana. Ia terdiam, mengabaikan pinggangnya yang sakit karena membungkuk dan lututnya yang juga sakit karena menjadi tumpuan. Memang memeluk seseorang dalam posisi berlutut seperti ini sangat tidak nyaman, terlebih lagi Abimana sedang duduk di kursi roda, membuat perasaan tak nyaman itu kian terasa.

"Ekhem." Sebuah deheman membuat suasana pasangan itu terpecah. Masih di dalam pelukan, Viana menoleh ke asal suara yang tak lain adalah Elio.

"Sepertinya aku cukup menganggu. Lebih baik aku cari pelayan untuk mengobati lukaku, dari pada menjadi nyamuk," cibir Elio.

Viana segera melepas pelukannya. Ia berdiri sembari menepuk-nepuk bagian bawah gaun yang ia kenakan. Senyum canggung tersungging di bibir Viana. Ia terlalu menikmati pelukan itu sehingga tanpa sadar membuatnya mengabaikan Elio.

"Maaf, aku lupa kalau kamu masih ada di sini." Viana meringis tak enak.

Sedangkan di sisi Abimana, ia menatap adik tirinya dengan tajam. Tatapan itu lebih tajam dari pada pisau seakan-akan ingin mencincang tubuh Elio pada detik itu juga. Ia sangat kesal karena adiknya itu dengan seenaknya merusak pelukan hangat yang terbentuk antara dirinya dan istrinya.

"Aish, sudah lah, aku minta maaf karena menganggu kemesraan kalian. Jangan tatap aku seperti itu, Kakak," ujar Elio. Karena tidak tahan, Ia langsung melarikan diri dari sana.

Viana menoleh, dahinya mengernyit saat melihat tatapan biasa saja dari Abimana. Terkesan datar dan itu tidak menyeramkan. "Apa yang salah? Tidak mungkin pria itu takut dengan wajah datar Abimana 'kan?"

Yang tidak Viana ketahui adalah, Abimana telah merubah raut wajahnya karena tahu jika ia tetap mempertahankan tatapan tajam tadi, kepalanya tidak akan selamat dari pukulan sang istri atau bahkan telinganya yang akan dijewer hingga memerah.

Memilih mengabaikan pemikirannya, Viana meraih kursi roda Abimana kemudian mendorongnya menuju kamar mereka. Rasanya tubuh dan pikiran mereka telah lelah dengan peristiwa yang sudah terjadi. Berhubung waktu telah malam, mereka akhirnya memilih beristirahat.

~o0o~

Keheningan menyapa sepasang manusia berbeda gender. Kedua manusia itu adalah Viana dan Elio. Saat ini mereka sedang berada di taman mansion milik Abimana dengan Viana yang mengobati luka Elio dan Elio hanya mengamati apa yang dilakukan oleh kakak iparnya.

Setelah Abimana telah menyelam ke alam mimpi, seperti ucapannya tadi, Viana mencari pelayan untuk mengobati luka di tangan Elio yang disebabkan oleh sabetan pisau dari Malia. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, Viana akhirnya memilih mengobati tangan Elio sendiri karena dia juga ingin melakukan pembicaraan empat mata bersama adik iparnya itu.

"Nah selesai, tolong jangan sampai terkena air dulu dan besok kamu harus ke rumah sakit karena sepertinya lukamu itu perlu dijahit," ujar Viana.

"Baik, Kakak. Terima kasih," ucap Elio.

Viana mengangguk sembari tersenyum. "Terima kasih juga karena sudah mau bantu Kakak."

Elio menggeleng. "Bukan masalah, Kak. Karena aku juga mau kabur dari kekangan Ibu. Aku lelah setiap hari harus ditekan terus," keluhnya.

Viana tidak membalas apapun. Karena dirinya sendiri juga tidak tahu mau berbicara apa. Ia pun hanya sedikit mengetahui penderitaan Elio karena memang yang dijelaskan di dalam novel hanya sedikit, bahkan sangat sedikit.

"Oh iya, Kakak tahu dari mana kalau aku mendapat kekerasan dari Ibu?" celetuk Elio. Sudah lama ia ingin menanyakan ini karena hal tersebut sangat aneh dan mengganjal. Bagaimana bisa orang asing mengetahui semua tentang dirinya, bahkan Viana yang notabenenya belum genap sebulan menikah dengan kakak tirinya sudah mengetahui hal tersebut.

Pertanyaan mendadak dari adik iparnya membuat Viana terpaku. Ia bingung ingin menjawab apa. Tidak mungkin dia justru mengatakan jika hal tersebut ia ketahui lewat novel 'kan? Bisa-bisa ia dianggap berbohong bahkan gila.

"Kak?" panggil Elio.

Mata Viana bergerak ke sana kemari guna mencari jawaban yang pas. Sampai akhirnya mata Viana menangkap bekas lebam yang telah samar-samar di sikut Elio. "Ah, itu. Aku melihat bekas lebam di sikutmu kemarin. Mungkin masih ada, coba kamu periksa," ujarnya.

Segera Elio memeriksa sikutnya bergantian, dan benar saja. Tepat di bagian sikut sebelah kanannya terdapat sebuah bekas lebam yang telah samar. Helaan napas meluncur begitu saja, Elio tersenyum sendu sembari mengelus lebam itu. "Kakak benar, untung saja Kakak melihat bekas lebam ini sehingga menyusun rencana seperti sekarang," lirihnya.

Diam-diam Viana menghela napas lega. Ia tidak percaya jika alasannya dapat dengan mudah dipercayai oleh Elio tanpa menaruh curiga sedikitpun. Padahal jika dipikirkan lagi, alasan yang diucapkan Viana bukanlah sebuah alasan yang kuat sehingga dapat dipatahkan begitu saja.

"Untung saja," lirih Viana.

"Benar, untung saja. Dan kata untung itu seharusnya ditujukan untukku," balas Elio membuat Viana tersenyum kecut.

"Padahal kata untung itu lebih bagus disandingkan untukku," batin Viana.

"Em, selanjutnya bagaimana? Maksudnya apa yang akan kamu lakukan?" tanya Viana mengalihkan pembicaraan.

"Apa yang akan aku lakukan?" Elio tampak berpikir sejenak. "Mungkin aku akan belajar lebih giat lagi sampai bisa mempunyai perusahaan sendiri seperti Ayah. Dan..." Pria itu menundukkan kepalanya. "Mengejar seorang gadis yang aku cintai..." lirihnya.

Viana jelas dapat mendengar kalimat terakhir dari adik iparnya, tetapi ia tidak ingin menanyakan hal tersebut karena menganggap itu adalah privasi Elio. "Baiklah, jika kamu memutuskan begitu. Kalau butuh bantuan atau apapun itu, kamu bisa mengatakannya pada kami, kami akan senantiasa membukakan pintu rumah kami untukmu."

"Baiklah, Kakak. Sekali lagi terima kasih," ucap Elio.

"Bukan masalah. Sekarang aku mau kembali ke kamarku, takut nanti kakakmu justru terbangun dan merengek seperti anak kecil," ucap Viana sembari terkekeh kecil.

Kekehan itu turut menular ke Elio. "Ya, Kakak benar. Lebih baik Kakak segera ke kamar."

Viana mengangguk. "Baiklah, sampai jumpa," pamitnya.

"Sampai jumpa," balas Elio.

TBC.

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang