Viana masuk ke kamar miliknya dan milik Abimana. Ia dengan hati-hati menutup pintu agar sang suami tidak terusik dari tidurnya. Setelah itu, Viana berbalik kemudian berjalan menuju ranjang. Ia perlahan merebahkan tubuhnya di samping sang suami, tetapi sebelum tubuh gadis itu terebah dengan sempurna, tangan Abimana menariknya sehingga tubuh gadis itu jatuh tepat di atas Abimana.
"Kamu dari mana? Kenapa keluar tidak memberitahuku terlebih dahulu?" tanya Abimana dengan suara berbisik.
Viana tersenyum. Ia mengecup singkat bibir sang suami. "Aku baru saja selesai mengobati luka di tangan adikmu."
Mendengar itu, dahi Abimana mengernyit tak suka. "Kenapa harus kamu? Kenapa tidak pelayan saja?" protesnya."
Viana menggeleng pelan, masih dengan senyum di bibirnya. "Awalnya aku ingin memanggil pelayan, tapi karena ada yang ingin bicarakan dengan adikmu, jadi aku memutuskan untuk mengobatinya secara langsung," jelasnya seraya memperbaiki posisi tidurnya menjadi ke samping Abimana. "Sudah, tidak usah cemburu. Lebih baik kita tidur saja," sambung Viana.
Melihat wajah istrinya yang terlihat sangat lelah, akhirnya Abimana memilih untuk tidak berdebat. Kedua tangan pria itu terangkat, memeluk pinggang Viana dengan erat seraya mengecup dahi sang istri cukup lama. "Baiklah, selamat malam," bisik Abimana.
"Hm, selamat malam, Abi..." lirih Viana sebelum akhirnya mata gadis itu benar-benar tertutup.
Sekali lagi Abimana mengecup dalam dahi sang istri, meluapkan kasih sayangnya melalui sentuhan itu. Demi apapun, Viana adalah sesuatu yang paling berharga di hidupnya. Sesuatu yang dikirim Tuhan untuk menjadi pelitanya di tengah kegelapan. "Mimpi indah, Sayang."
~o0o~
Pagi yang cerah menyapa. Cahaya matahari yang hangat perlahan mulai menimpa bumi, mengusir kegelapan malam menjadi terang-benderang. Di sebuah mansion, tepatnya di salah satu kamar yang ada, terlihat Viana sedang mematut penampilannya di cermin. Tubuh gadis itu telah terbalut rapi oleh baju bergaya khas seorang mahasiswa.
Sedangkan di samping ranjang Abimana sendiri juga sedang memakai kemejanya. Di sela-sela kancing kemeja yang terbuka, Viana dapat melihat bentuk perut Abimana. Perut itu tidak terlalu menonjolkan ototnya lagi, mungkin faktor jarang olahraga sehingga perut itu terlihat seperti laki-laki pada umumnya. Tidak buncit dan tidak terlalu datar.
Kekehan kecil keluar dari bibir Viana. Gadis itu membalik tubuhnya dan berjalan pelan menuju Abimana. Perlahan gadis itu berlutut untuk memasang kancing-kancing kemeja itu. "Abi, lain kali olahraga, ya. Lihat perutmu sudah tidak berotot lagi."
Sebelah alis Abimana terangkat. "Memangnya ada apa? Kamu tidak suka perutku yang tidak memiliki otot?" tanyanya.
Dengan tegas Viana mengangguk. "Iya! Jadi kamu harus rajin olahraga agar perutmu memiliki kotak-kotak yang bisa ku sentuh. Mungkin enam, delapan, dua belas atau dua puluh empat kotak?"
Abimana menoyor dahi sang istri dengan pelan. "Untuk enam dan delapan kotak, itu masih wajar. Kalau dua belas dan dua puluh empat itu sangat tidak wajar. Kamu pikir suamimu ini monster? Bayangkan bagaimana jika aku memiliki otot dua belas atau dua puluh empat kotak."
Bibir Viana cemberut karena mendapat toyoran dari sang suami. Tapi tak ayal ia tetap membayangkan tubuh suaminya jika memiliki otot dua belas atau dua puluh empat kotak. Di bayangan Viana, tubuh suaminya dipenuhi dengan kotak-kotak, sehingga tanpa sadar membuat Viana bergidik ngeri.
"Bagaimana bentuknya? Apakah bagus? Masih menginginkan aku punya otot sebanyak itu?" tanya Abimana.
Reflek kepala gadis itu menggeleng. Ia cengengesan. "Sepertinya lebih baik perut seperti ini saja, atau mungkin enam kotak sepertinya lebih baik."
Abimana tersenyum gemas. Ia mengusak pucuk kepala istrinya sehingga rambut gadis itu berantakan. Melihat hal tersebut Viana sontak melotot garang. "Tanganmu jangan nakal, atau nanti akan aku potong," ancam Viana membuat Abimana meringis.
Berharap istrinya akan misah-misuh tidak jelas atau mungkin baper, ia justru mendapat ancaman yang cukup mengerikan. Potong tangan? Bahkan ia tidak akan mempunyai alat gerak lagi jika tangannya dipotong.
"Mana dasi dan jasnya? biar aku pasangin," ujar Viana.
Abimana menyerahkan dasi dan jas kantor miliknya yang segera Viana terima. Ia dengan telaten memasangkan dasi dilanjutkan dengan jas kantor itu. Setelah dirasa siap, Viana bangkit kemudian berjalan ke belakang kursi roda Abimana.
"Karena sudah siap, ayo kita ke bawah!" seru Viana.
Kedua tangan lentik miliknya meraih gagang kursi roda itu kemudian mendorongnya keluar kamar, menuju meja makan. Saat memasuki ruang makan, keadaan sepi, hanya tertata beberapa hidangan yang sekiranya bisa disantap untuk mereka sarapan.
"Adikmu di mana? Dia tidak sarapan?" tanya Viana heran.
"Jangan pikirkan dia, lebih baik kita langsung sarapan saja," ujar Abimana tegas.
Akhirnya Viana memilih untuk sarapan terlebih dahulu dan untuk Elio biarlah dia menyusul nanti. Mungkin jika tidak menyusul, Viana akan langsung mendatangi kamarnya.
"Selamat pagi kakak," sapaan pagi yang terdengar ceria itu berhasil mengalihkan atensi Abimana dan Viana.
Terlihat orang yang tadi dibicarakan telah rapi dengan setelan berpergian seraya tersenyum hangat. Perlahan, Elio melangkah mendekati sepasang suami istri itu. "Boleh bergabung?"
"Oh, tentu saja. Silakan," ucap Viana membalas senyum Elio. Setelah mendapat izin, akhirnya pria berusia dua puluh tiga tahun itu mendudukkan dirinya di salah kursi.
"Kamu mau kemana?" tanya Viana heran setelah Elio duduk di kursi.
"Mau pulang, Kak. Semalam Ayah sudah meneleponku untuk segera pulang," jawab Elio.
"Baguslah, secepatnya pulang agar tidak menyusahkan orang," celetuk Abimana membuat Viana mendelik.
"Abi!" tegur Viana seraya menatap tajam suaminya. Setelah itu, ia kembali mengalihkan pandangannya, menatap Elio. "Tidak usah didengarkan. Anggap saja itu suara makhluk astral."
Mata Abimana melotot sempurna. Dirinya yang tampan justru disamakan dengan makhluk astral, bukankah istrinya sangat keterlaluan. "Viana!"
TBC.
2k Vote, aku up next chap.
Do'ain aku ya, soalnya aku mau pembagian rapot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)
FanfictionDiana Anggita Dwitama, gadis dengan kondisi tubuh sakit-sakitan bahkan untuk berjalan saja dia kesulitan. Kecewa pada diri sendiri ditambah dengan kedua orang tua serta saudaranya sudah tidak peduli lagi, Diana akhirnya memutuskan untuk mengakhiri s...