Bab 25.

70K 5.3K 80
                                    

Maaf lama undurnya. Aku post habis subuh soalnya tadi malem ketiduran. Oh iya, jangan lupa ibadah.

Votenyaa

Abimana keluar dari kamar mandi dalam keadaan yang sangat segar. Rambutnya yang masih basah terlihat berantakan, serta handuk yang hanya melilit bagian pinggang ke bawah, membuat perut dengan enam kotak miliknya terpampang nyata.

Pria itu meraih baju kaos hitam dan celana pendek berwarna senada. Dengan cepat pria itu memasangkannya di tubuhnya. Setelah itu, Abimana berjalan menuju balkon kamar guna menikmati ketenangan pada malam ini.

Ia memandang dalam langit gelap yang dipenuhi bintang. Matanya seolah bisa melihat wajah seorang gadis pada bintang-bintang itu. Gadis yang beberapa hari terakhir mencurahkan kasih sayang untuknya membuat Abimana sejenak lupa akan kasih sayang ibu aslinya karena kasih sayang yang dicurahkan oleh Viana lebih dari cukup.

Setelah sekian lama, Abimana dapat merasakan ketenangan dalam melakukan aktivitas dan dia juga menyadari jika ini semua adalah berkat Viana--sang istri. Masih jelas teringat di kepalanya ketika Viana mengatakan jika dirinya akan sangat bersyukur jika memiliki suami seperti dirinya.

Ketika Viana membatalkan niatnya yang hendak membunuh seorang pelayan yang tidak becus dalam bekerja, ketika Viana membersihkan lukanya, ketika Viana memeluk dirinya yang sedang mengamuk bahkan rela terluka hanya demi dirinya.

Semua itu masih jelas teringat di kepalanya.

Kadang ia berpikir, terbuat dari apa hati gadis yang telah menjadi istrinya itu? Kenapa dia bisa mendapatkan gadis sebaik itu? Apakah Tuhan terlanjur kasihan dengannya sehingga memberikan bidadari secantik istrinya? Itu semua bisa saja terjadi.

Saat sedang asyik menikmati indahnya malam, tiba-tiba tangan putih melingkar di perut Abimana. Melirik sebentar sebelum akhirnya Abimana tersenyum manis. Ia tahu jika yang memeluknya ini adalah istrinya karena aroma tubuh yang sangat familiar di penciumannya

"Kamu lagi apa?" Viana memeluk semakin erat.

"Tidak ada," ujar Abimana.

"Kalau begitu, ayo kita turun, aku sudah memasak."

Abimana tersenyum tipis, ia membalik tubuhnya kemudian balas memeluk istrinya tak kalah erat. Pria itu bahkan menghujam wajah istrinya dengan ciuman hingga bertubi-tubi.

Hal tersebut sontak membuat Viana terkekeh geli. Ia mengangkat tangannya kemudian menangkup kedua pipi suaminya. "Jangan begitu, rasanya geli. Lihat wajahku sudah penuh dengan bercak liurmu," ucap Viana berlagak jijik, padahal nyatanya ia biasa saja.

Abimana melepas perlahan tangan Viana yang menangkup pipinya kemudian kembali memeluk istrinya dengan erat. Tak sampai di situ saja, ia juga menelusupkan kepalanya di sela-sela leher sang istri dengan sesekali mendusel.

"Terima kasih..." lirih Abimana.

Viana tersenyum, ia mengelus kepala suaminya. "Terima kasih? Untuk apa?"

"Terima kasih karena sudah mau menjadi istriku. Jangan pernah tinggalkan aku karena aku sudah..." Abimana menggantung ucapannya. Sejujurnya pria itu sudah sangat malu terbukti dari wajahnya yang memerah tetapi Viana tentu tidak bisa melihatnya.

"Sudah apa?" tanya Viana kebingungan.

Sejenak Abimana kembali mendusel-duselkan wajahnya. "Sudah mencintaimu," gumam Abimana.

Tangan Viana yang sedari tadi mengelus lantas terhenti. Jantungnya berdetak sangat cepat. Gadis itu mengangkat kepala sang suami kemudian menatap lekat-lekat wajah suaminya.

Viana terkekeh pelan karena mendapati rona kemerahan yang menjalar dari pipi hingga telinga suaminya. Viana tiba-tiba mengecup pipi kemerahan itu kemudian kembali memeluk tubuh sang suami.

Jika tadi Abimana yang menduselkan kepalanya pada bahu dan sela-sela leher sang istri, maka Viana juga melakukan hal yang sama, hanya saja gadis itu menduselkan wajahnya pada dada bidang Abimana lantaran tinggi badan mereka yang berbeda.

"Aku juga mencintaimu, suamiku," gumam Viana.

Sejenak keheningan terjadi. Kedua manusia itu sangat menikmati kebersamaan mereka yang ditimpa cahaya bulan. Viana mendengarkan irama jantung suaminya yang berdetak sangat kencang. Rasanya benar-benar nyaman.

"Bisakah ambilkan kursi rodaku? Sepertinya kaki suamimu ini sudah kembali lemas," celetuk Abimana.

Viana segera mendongak, menatap suaminya khawatir. "Kamu tidak apa-apa?"

Abimana tersenyum. "Tidak apa-apa, sayang. Jangan khawatir, ini sudah biasa terjadi."

Wajah Viana terasa panas saat mendengar panggilan dari suaminya. Ia buru-buru masuk ke dalam kamar kemudian mengambil kursi roda milik sang suami.

"Ini. Ha-habis ini ayo turun ke bawah, makanan yang aku masak sepertinya sudah hampir dingin," ucap Viana.

Abimana yang melihat rona kemerahan di wajah Viana mulai menyusun rencana. Ia mendudukkan dirinya pada kursi roda sembari tersenyum jahil. "Tidak apa-apa, sayang. Kalau kamu yang masak sudah pasti aku makan meski sudah dingin atau basi sekali pun."

Wajah Viana semakin memerah. "Berhenti menggodaku, sekarang ayo kita turun untuk makan malam!"

Abimana tertawa lebar. "Baiklah-baiklah, silakan dorong kursi rodaku."

TBC.

Sekali lagi maaf kalo telat. Seperti biasa, nanti aku up lagi di jam 14-00 sampai 20.00 WIB.

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang