Bab 38.

53.8K 4.4K 74
                                    

2k Vote aku up Next Bab.

Atau

Follow IG aku @habibalfaqhri kalo udah 350 Followers, aku akan langsung up.

Pagi menjelang siang yang tampak cerah tanpa mendung terbukti dari bandara yang Viana pijaki terlihat disiram oleh sinar matahari. Tetapi hal tersebut berbanding terbalik dengan suasana hati Viana yang terasa muram bagaikan diterjang badai dikarenakan kakaknya akan kembali ke negara asal tempat pria itu bekerja.

Setelah sekian lama tinggal bersama ibu dan ayahnya, Leon akhirnya memilih pulang karena cutinya telah habis. Sebenarnya waktu cuti pria itu sudah habis seminggu setelah pernikahan Viana, tetapi dengan tidak tahu dirinya pria itu meminta tambahan cuti sepanjang dua minggu.

Untungnya kinerja pria berusia dua puluh tiga tahun itu sangat kompeten dalam menjalankan tugasnya sebagai dokter, jadi tanpa perlu pikir panjang, pemilik rumah sakit tempat Leon bernaung menyetujui cuti itu.

"Kakak..." lirih Viana memandang sang kakak yang telah siap dengan jas dokternya.

Entahlah Viana masih bingung dengan kegunaan dari mengenakan jas dokter di pesawat. Sejak awal, saat pria itu tiba di negara ini, pria itu juga turun dari pesawat dengan keadaan mengenakan jas dokter. Tetapi untuk saat ini Viana enggan memikirkan hal tersebut lebih dalam lagi.

Ia terlampau sedih. Lihat saja wajah memerah gadis itu saat menangis. Ia mengabaikan beberapa pasang mata bahkan mengabaikan orang terdekat termasuk suaminya yang sedang memperhatikannya.

Leon tersenyum gemas. Ia melangkah mendekati Viana kemudian menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Perlahan tangan pria itu terangkat dilanjutkan dengan elusan-elusan lembut di surai hitam milik Viana. "Jangan menangis. Nanti kalau Kakak dapat cuti lagi, Kakak pasti ke sini."

Samar-samar kepala Viana mengangguk. Gadis itu berusaha menghentikan tangisnya dan tampaknya hal tersebut berhasil dikarenakan air matanya perlahan berhenti mengalir menyisakan beberapa sesegukan kecil.

"Kakak harus janji ke sini, ya?" ucap Viana.

Leon tersenyum sembari melepas pelukannya. Ia menangkup pipi sang adik seraya tersenyum. "Janji."

Viana mencoba tersenyum. "Karena Kakak sudah janji, jadi aku akan menunggu Kakak."

Sejujurnya perasaan sedih ini adalah perasaan milik Diana, bukan Viana. Hal tersebut dikarenakan Leon yang sangat mirip dengan Evan--kakaknya di dunia nyata. Leon bagaikan duplikat Evan tanpa celah, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, bahkan sifat mereka pun hampir sama.

Leon menurunkan tangannya yang menyentuh kedua pipi Viana. Perlahan, kakinya melangkah mundur dengan senyum yang tidak pudar. "Kakak akan secepatnya kembali ke sini. Kakak pamit ya?"

Viana mengangguk. "Selamat tinggal Kakak," ujarnya sembari melambaikan tangannya.

Leon berbalik kemudian melangkah menaiki tangga yang terhubung dengan pintu pesawat. Di tengah tangga, ia berbalik sekilas lalu melanjutkan langkahnya.

Akhirnya, tubuh pria berusia dua puluh tiga tahun itu sudah tidak terlihat, menghilang di balik pintu pesawat. Beberapa kerabat dan orang-orang terdekat dari penumpang pesawat mulai berbalik kemudian melangkah menjauhi kawasan pesawat yang akan lepas landas, tak terkecuali dengan Viana, Milton, Marissa, Abimana serta pengawal-pengawal yang ikut mengawal majikan mereka.

Dari tempat yang aman. Viana yang sedang memegang kursi roda sang suami terlihat memandang pesawat yang mulai berjalan untuk lepas landas. Sejujurnya hati gadis itu sedikit tidak tenang karena mungkin ia sudah terlanjur jatuh hati kepada sikap kakaknya yang sangat mirip dengan Evan.

"Sampai jumpa, Kakak," batin Viana.

~o0o~

"Abi, kita ke dokter mata 'kan?" tanya Viana pada sang suami.

Saat ini mereka sudah dalam perjalanan meninggalkan bandara. Begitu pula dengan Milton dan Marissa yang sudah pulang ke rumah. Tidak ada acara melepas rindu antara Viana dengan kedua orang tuanya. Toh pasangan yang hampir memasuki usia setengah abad itu tidak peduli.

"Kamu yakin, sayang. Jika kamu masih sedih lebih baik kita langsung pulang ke rumah. Untuk pemeriksaan ke dokter bisa dilakukan di lain waktu," ujar Abimana.

Ia cukup tahu dengan rasa sedih yang istrinya rasakan. Jika memang gadis itu masih membutuhkan waktu untuk meredakan kesedihannya maka Abimana akan bersedia menunggu. Bahkan jika Viana membatalkan jadwal periksa mata miliknya pun, ia tidak apa-apa.

"Tidak Abi. Kamu harus periksa mata," ucap Viana tegas.

"Baiklah, terserah kamu saja." Pasrah Abimana.

"Pengawal, antar ke klinik dokter mata terdekat!" titah Viana pada sopir.

"Baik Nyonya."

Selanjutnya perjalanan menjadi hening. Alasannya tentu saja suasana hati Viana yang masih sedih. Abimana sendiri tidak ingin semakin merusak suasana hati istrinya. jika memang saat ini suasana hati gadis itu sedang baik, Abimana sudah pasti bermanja pada istrinya bahkan mungkin sudah merebahkan kepalanya di pangkuan sang istri.

Beberapa saat kemudian, Viana tiba di sebuah klinik mata. Seperti biasa, Viana dibantu pengawal, memindahkan Abimana ke kursi roda. Sepasang suami istri itu langsung masuk ke klinik tersebut.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di dalam klinik tersebut, Viana dapat merasakan suasana yang tidak berbeda jauh dengan rumah sakit. Ia bersama sang suami langsung melangkah menuju resepsionis untuk mendaftarkan nama Abimana.

"Baik, Tuan dan Nyonya. Kalian bisa tunggu di sebelah sana," ucap perempuan yang bertugas menjadi administrator. Saat melihat penampilan dari pasien yang baru mendaftar ini, perempuan itu langsung tahu jika orang yang ada di depannya itu bukanlah orang sembarangan.

Setelah berucap demikian, perempuan itu menunjuk bagian kursi tunggu. Di sana tampak ramai dengan pasien-pasien lain yang juga sedang menunggu giliran mereka. Viana hanya mengangguk. Saat akan mendorong kursi roda sang suami ke kursi tunggu, suara tegas milik Abimana menghentikannya.

"Kami ingin langsung saja, tanpa mengantre," ujar Abimana dingin.

"Mohon maaf Tuan. Jika Anda tidak ingin mengantre, Anda harus membuat janji dengan dokter terlebih dahulu," jelas perempuan itu lembut.

Abimana meraih sebuah black Card dari dompetnya kemudian meletakkannya di atas meja. "Bagaimana? Apakah ini cukup untuk tidak mengantre?" tanya Abimana.

melihat kelakuan suaminya itu, sontak saja Viana menepuk bahu sang suami cukup keras. "Abi!" tegurnya.

Abimana tampak tak acuh dengan teguran istrinya. Ia menatap perempuan yang bertugas sebagai administrasi itu dengan tatapan datar. "Bagaimana? Apakah kami masih perlu mengantre?" ulang Abimana.

"Ti-tidak Tuan. Silahkan masuk lewat pintu sebelah sana, kebetulan dokter sedang menunggu pasien selanjutnya," ujar perempuan itu. Ia beranjak kemudian mendekati seorang pasien yang hampir mendapat gilirannya untuk menemui dokter. "Mohon maaf, dokter sudah memiliki jadwal dengan seseorang jadi Bapak harus menunggu satu pasien lagi."

Pria paruh baya yang hampir mendapat gilirannya itu terlihat mendesah kecewa. Ia mengangguk pelan seraya menatap istrinya. "Kita tunggu dulu ya, Bu. Sebentar lagi kok."

Viana yang melihat dari kejauhan tampak prihatin. Ia menatap tajam pucuk kepala Abimana kemudian tanpa aba-aba tepukan kuat mendarat di ubun-ubun suaminya itu.

"Aduh," rintih Abimana.

TBC.

Follow ig @habibalfaqhri.

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang