Angin sepoi-sepoi berhembus menerbangkan beberapa helai rambut milik Viana. Mata gadis itu terlihat terpejam, ia sangat menikmati ketenangan yang ia peroleh ketika beristirahat di taman belakang mansion.
Matahari perlahan naik ke atas kepala, menandakan jika hari telah beranjak siang. Setelah tadi melaksanakan sarapan pagi seorang diri, Viana memutuskan untuk mengelilingi mansion dan berakhir ia menemukan halaman belakang mansion dengan berhiaskan beberapa gazebo kecil.
Perlahan kelopak mata milik Viana terbuka, menampilkan netra coklat gelap miliknya. Helaan napas kecil bersirkulasi di rongga pernapasannya. "Tidak terasa, sudah hampir sebulan aku di dunia asing ini dan lima hari lagi, aku akan menyaksikan alur novel berjalan."
"Aku merasa tidak siap untuk menghadapi alur novel. Apakah aku tidak bisa kembali saja?" Viana mendesah kasar, ia mencurahkan kegundahan hatinya seakan-akan ada seseorang yang sedang menemani dan mendengarkan curhatannya.
Bohong jika Viana mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Selama kurang lebih tiga minggu di sini dan telah menghadapi semua yang terjadi terkhususnya segala hal menyangkut tentang Abimana, tubuh dan fisiknya berangsur-angsur merasa kelelahan.
Jika boleh memilih antara ke alam setelah kematian atau transmigrasi ke dunia novel, ia tentu akan dengan tegas mengatakan jika ia memilih alam setelah kematian. Ia sudah lelah dengan segala hal yang berbau dengan kehidupan.
Mungkin jika ada yang menemani dan mendengarkan curahan hatinya, Viana tidak mungkin merasa seberat ini. Ia hanya butuh bahu untuk bersandar, hanya itu.
Larut dalam pikirannya, Viana akhirnya mengingat tentang suaminya yang terlihat sama sekali belum makan semenjak tadi malam. "Apakah dia sudah makan? Lebih baik aku periksa sendiri."
Viana bangkit dari gazebo kemudian melangkah menuju dapur untuk menemui kepala pelayan atau pun kepala pengurus dapur guna menuntaskan pertanyaan di benaknya.
Namun baru beberapa langkah berjalan, Viana melihat seorang pelayan yang pernah membelanya tempo hari. Sepertinya pelayan itu kebetulan melintasi taman belakang. Jadi Viana memutuskan untuk memanggil pelayan itu saja. Segera saja dia memanggil wanita paruh baya itu.
"Bibi!" panggilnya membuat pelayan itu menoleh.
Pelayan itu menunjuk dirinya sendiri seakan menanyakan apakah yang dipanggil itu adalah dirinya dan tentu saja Viana menjawabnya dengan anggukan.
"Sini bibi Ila!" Viana mengibaskan tangannya pelan.
Pelayan bernama Reila itu mendekat dengan langkah tergopoh-gopoh. "Iya Nyonya, ada apa? Apa ada masalah?"
Viana menggeleng pelan. Ia meraih tangan yang sudah sedikit keriput itu kemudian menariknya menuju salah satu gazebo. "Ayo Bi, kita duduk di sana. Ada yang ingin aku tanyakan."
"Tidak Nyonya, itu tidak sopan," tolak Reila.
"Astaga Bibi. Aku yang menyuruhmu untuk duduk, jadi tidak apa-apa," ujar Viana tak habis pikir.
Akhirnya dengan ragu-ragu Reila mendudukkan dirinya di samping Viana. Rasanya cukup canggung duduk berdua bersama majikan, bersebelahan pula. Kendati demikian, Reila tak ayal berusaha untuk tidak gugup.
"Bi, Abimana sudah makan?" Tanya Viana sembari menatap Reila.
"Saya kurang tahu, Nyonya. Coba tanyakan pada kepala pelayan atau pun kepala dapur," ujar Reila.
Viana menganggukkan kepalanya pelan. "Begitu ya."
"Benar Nyonya. Ada yang mau ditanyakan lagi?"
"Boleh?" tanya Viana memastikan.
Reila mengangguk. "Tentu."
Setelah mendapat izin bertanya lebih banyak, Viana terdiam sejenak. Matanya menerawang jauh ke arah depan. "Apakah Abimana mengidap penyakit bipolar sedari lahir?"
Untuk sejenak Reila tertegun. Ia tidak menyangka jika pertanyaan itu akan meluncur bebas dari bibir majikannya. Menghembuskan napas pelan, Reila akhirnya tersenyum kecil. "Tidak. Tuan mengidap penyakit ini saat usianya menginjak remaja."
"Benarkah? Bisa Bibi menceritakannya untukku? " tanya Viana.
Reila mengangguk kecil, wanita paruh baya itu ikut menerawang jauh ke depan sebelum memulai ceritanya. "Semenjak ibu kandung Tuan Muda meninggal karena sebuah insiden, Tuan yang saat itu masih berumur sebelas tahun menjadi sulit mengontrol emosinya."
Jeda sejenak. Reila menunduk sembari menghela napas berusaha membuka kembali masa lalu yang telah ia kubur. Sedangkan Viana asyik menyimak karena tidak dapat dipungkiri bahwa ia sangat tertarik dengan masa lalu suaminya.
"Awalnya emosi itu sulit dikendalikan karena Tuan depresi. Dia merasa jika Nyonya Besar meninggal karena dirinya, hal itu juga didukung oleh Tuan Besar yang ikut menyalahkan Tuan Muda kecil sehingga membuat anak lelaki malang itu semakin terpuruk."
Tak terasa air mata lolos begitu saja melewati pipi Reila. Sebelum melanjutkan, wanita paruh baya itu mengusap pipinya sejenak sedangkan Viana masih setia mendengar kisah masa kecil dari suaminya.
"Lama kelamaan emosi itu semakin tidak bisa lagi dikendalikan sehingga Tuan Muda dibawa menuju dokter untuk melakukan konsultasi. Dan seperti tebakan Nyonya, Tuan Muda didiagnosa mengidap penyakit bipolar." Sekali lagi Reila menyeka air mata yang kembali mengalir.
"Kala itu, Tuan Muda sudah tidak dipedulikan lagi oleh Tuan Besar hingga setahun kemudian, Tuan Besar menikah lagi dengan Nyonya besar yang sekarang. Kedatangan Nyonya Besar yang baru menjadi awal kebangkitan Tuan Muda. Berkat Nyonya besar, Tuan Muda dapat merasakan kembali kasih sayang seorang ibu. Namun baru beberapa minggu Tuan Muda bangkit, ia tiba-tiba mengalami kelumpuhan bahkan emosinya kembali tidak bisa dikendalikan." Reila tidak sanggup lagi melanjutkan, air matanya mengalir semakin deras.
"Jadi Abimana lumpuh di umur yang kedua belas tahun hingga sekarang?" tanya Viana yang hanya dijawab anggukan kecil oleh Reila.
"Ada yang aneh," batin Viana merasa janggal dari cerita masa kecil suaminya.
TBC.
Vote...
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)
ФанфикDiana Anggita Dwitama, gadis dengan kondisi tubuh sakit-sakitan bahkan untuk berjalan saja dia kesulitan. Kecewa pada diri sendiri ditambah dengan kedua orang tua serta saudaranya sudah tidak peduli lagi, Diana akhirnya memutuskan untuk mengakhiri s...