Bab 22.

70.4K 5.4K 66
                                    

Tandain Typo karena ini nulis dan langsung publish jadi enggak direvisi.

Votenya jangan lupa, nanti kalo sampe 300 vote dalam semalam, besok aku usahain double up.❗

*selamat membaca*

Prank!

Suara pecahan kaca membuat Viana terusik dari tidurnya. Perlahan netra cokelat gelap itu terbuka, menyesuaikan cahaya yang masuk. Masih dalam keadaan setengah sadar, Viana mengerjap-ngerjap menatap ke arah langit-langit kamar.

Awalnya Viana tampak asing dengan kondisi ruangan itu, tetapi setelah beberapa detik barulah Viana mengingat jika saat ini dirinya sedang berada dikamar suaminya.

"Suami?" Viana sontak menoleh ke arah sebelahnya karena seingatnya mereka tidur dalam keadaan berpelukan.

Kosong

Viana tidak mendapati suaminya ada di sana, pun saat disentuh, kasur itu terasa dingin pertanda jika tempat itu sudah cukup lama ditinggalkan.

Prank!

Sekali lagi terdengar pecahan kaca membuat Viana menoleh. Suara itu seperti berasal dari sebuah pintu yang ada pada kamar itu. Dahinya mengernyit samar mencoba mengingat ruangan apa yang ada di kamar itu.

Karena sudah penasaran tentang ruangan itu, ditambah lagi dengan adanya bunyi pecahan kaca, membuat Viana bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan menuju pintu tersebut. Tangan putih milik Viana perlahan terangkat untuk menyentuh gagang pintu.

"Argh..." Rintihan samar-samar terdengar membuat jantung Viana berdetak kencang lantaran suara dari rintihan itu sangat familiar di pendengarannya. Tanpa sadar cengkeraman tangan Viana pada gagang pintu itu semakin menguat.

Sebelum memutar gagang pintu itu, Viana terlebih dahulu menarik napasnya guna mengumpulkan keberanian. Setelahnya barulah dengan yakin Viana memutar dan membuka pintu ruangan itu.

Ruangan bernuansa gelap langsung memasuki indra penglihatan Viana. Gadis itu terpaku melihat ruangan yang tampak berantakan dengan pecahan kaca di mana-mana. Ruangan itu adalah ruangan pribadi khusus untuk mengurus pekerjaan.

Tetapi bukan itu intinya, Viana justru melihat seorang pria yang tak lain adalah Abimana sedang meringkuk di sudut ruangan. Pria itu tampak kacau dengan tubuh bergetar dan rambut acak-acakkan serta darah mengalir dari sela-sela jari dan telapak tangannya.

"Abi?..." lirih Viana membuat getaran pada tubuh pria itu terhenti.

Pria yang tak lain adalah Abimana itu mendongak menatap gadis yang baru saja memanggil namanya. Tatapan gadis itu terlihat sendu tetapi entah kenapa Abimana masih merasa emosi.

Pria itu tiba-tiba menggelengkan kepalanya ribut sembari membanting sebuah pot bunga yang tampak masih utuh. "Pergi! Jangan pukul aku, Aku tidak salah!" racau Abimana sembari mencengkeram erat rambutnya.

Racauan yang terdengar bising itu berhasil membuat beberapa pelayan dan pengawal masuk. Mereka terkejut saat melihat ruangan yang dalamnya tampak seperti telah hancur. Tetapi rasa terkejut itu dengan cepat berganti menjadi wajah penuh siaga terutama para pengawal.

Pengawal-pengawal itu dengan perlahan mendekati Abimana. Gerakan mereka yang sangat hati-hati itu berhasil membuat Viana tersulut emosi pasalnya para pengawal itu tampak seperti sedang memburu seekor hewan liar.

"Pergi! Jangan mendekat! Jangan pukul aku!" Abimana beringsut ketakutan dengan kepala menggeleng ke sana kemari.

Pengawal itu seolah tuli, mereka tampak telah siap dengan masing-masing tangan terkepal, siap menonjok tubuh ringkih Abimana.

Tidak tahan lagi, Viana akhirnya berteriak. "Berhenti!" teriak Viana membuat pengawal-pengawal itu seketika berhenti. Secara serentak mereka menoleh menatap nyonya mereka.

"Jangan dipukul," ujar Viana dingin.

Ujaran Viana itu membuat mereka melayangkan protes tetapi Viana tidak peduli. Gadis itu justru melangkah mendekati tubuh bergetar suaminya.

"Abi," panggil Viana lembut.

Para pengawal dan pelayan seketika memasang kewaspadaan mereka, takut-takut Viana justru terkena amukan dari pria yang mereka anggap monster.

Abimana menatap Viana dalam diam. Tubuh pria itu telah berhenti bergetar tapi Viana dapat melihat bibir pria itu masih bergetar. Sudut mata pria itu juga tampak berair karena sedari tadi sudah menangis ketakutan.

Viana tersenyum lembut. Ia melangkah pelan mendekati suaminya. "Jangan takut, kami bukan orang jahat."

Para pelayan terlihat keheranan karena tuan mereka yang biasanya hanya bisa diatasi dengan kekerasan tampak menjadi lebih tenang hanya dengan kata-kata lembut dari nyonya mereka. Tanpa sadar sudut bibir pelayan itu tertarik tipis.

Begitu pun dengan Viana, gadis itu semakin mendekat dan bersiap memeluk tubuh ringkih suaminya. Tetapi detik selanjutnya, senyum yang tadi telah terbit perlahan menghilang saat Abimana justru mengangkat sebuah guci kecil yang ada di lantai dengan ancang-ancang hendak melemparnya ke arah Viana.

Sontak saja pengawal bersiap melindungi Viana, tetapi itu semua terlambat lantaran guci itu terlebih dahulu melayang dan tepat mengenai kepala Viana.

"Nyonya!" pekik para pelayan. Mereka panik saat melihat guci itu pecah meninggalkan sebuah luka pada dahi Viana. Darah tampak mengalir hingga ke dagu gadis itu sedangkan sang empu merasakan kepalanya berkunang-kunang dengan denyutan yang membuat kepalanya terasa ingin pecah.

Abimana yang menjadi pelaku kembali menunduk. "Pergi! Jangan mendekat!"

Viana mencoba untuk tetap menjaga kesadarannya, matanya membola saat melihat seorang pengawal ingin memukul kepala suaminya. "Jangan!"

Mengabaikan rasa sakit di kepalanya, Viana berlari menerjang pengawal itu dengan dorongan kuat sehingga pengawal yang semula bersiap untuk memukul Abimana justru terdorong menjauh.

"Jangan pukul suamiku!" ujar Viana menatap nyalang. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, gadis itu menunduk dan memeluk tubuh suaminya yang kembali bergetar.

Abimana tersentak saat merasakan pelukan hangat pada tubuhnya. Pikiran yang tadinya melalang buana ke mana-mana akhirnya kembali terpusat. Ia mengangkat kepalanya untuk melihat siapa gerangan yang telah memeluknya.

Kembali pria itu tersentak saat melihat jika yang memeluknya adalah istrinya, tetapi fokusnya teralih pada kepala Viana yang mengalirkan darah.

"Ada apa dengan kepala gadis itu? Kenapa bisa seperti itu? Apakah aku kembali lepas kendali?" Begitulah isi benak Abimana.

Sejujurnya Abimana juga tidak tahu mengapa dia ada di sini karena seingatnya tadi dirinya terkurung dalam sebuah ruangan gelap dengan dikelilingi orang-orang berwajah jahat.

Memutar kepalanya untuk menatap ke sekeliling, ia melihat pengawal dan pelayan berkumpul membuat Abimana menyadari jika memang tadi dirinya lepas kendali.

Ia mengalihkan tatapannya ke arah gadis yang sedang memeluknya. Menatap gadis itu penuh rasa bersalah. "Maaf..." lirih Abimana dengan tangan terangkat membalas pelukan dari istrinya.

"Maaf karena kembali gagal mengendalikan diriku." sambung Abimana membatin.

TBC.

Kalo hari ini tembus 300 vote, Besok double up.

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang