Maaf kurang jelas, mataku sisa beberapa Watt.
Mata Viana terbuka, pupil mata berwarna gelap itu terfokus pada langit-langit kamar. Keringat sebesar biji jagung mengalir, melewati pelipis. "Viana? Yah aku akhirnya bertemu dengannya," gumam Viana. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa sang suami yang belum tertidur, mendengar ucapannya barusan.
"Bertemu siapa?" tanya Abimana membuat Viana lekas menoleh.
Gadis itu sama sekali tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya. Ia terlihat gelagapan, bingung ingin menjawab apa. "Eh, em, kamu belum tidur?" tanya Viana balik, untuk mengalihkan pembicaraan.
"Sudah bangun, karena kamu berbicara cukup kencang saat tidur, dan juga gerakan tidurmu cukup gelisah. Benar 'kan, istriku?" Abimana tersenyum ganjil.
Masih dalam posisi terebah, Viana memaksakan senyumnya. "Iya kamu benar," ucapnya seraya menggeser tubuhnya untuk lebih dekat dengan Abimana kemudian memeluk pria itu erat. Viana mendusel-dusel wajahnya di dada bidang sang suami berharap Abimana bisa teralih dari pembicaraan tersebut. "Aku mimpi buruk, jadi biarkan aku memelukmu," lanjutnya berujar.
Akhirnya Abimana lebih memilih untuk tidak memperpanjang masalah. Ia melingkarkan tangannya di pinggang sang istri, membalas pelukan tersebut dengan tak kalah erat. "Baiklah akan aku tanyakan lain kali." Abimana mengecup dahi sang istri. "Selamat tidur, Sayang. Aku harap kamu tidak menyembunyikan apapun dariku," bisiknya. Selanjutnya pria itu turut memejamkan matanya, menyusul sang istri yang ia anggap telah kembali menyelam ke alam mimpi.
Beberapa saat kemudian, Viana membuka sebelah matanya guna memastikan jika suaminya sudah benar-benar tertidur. Setelah benar-benar yakin, kedua mata gadis itu terbuka perlahan-lahan kemudian mendudukkan tubuhnya. Ia menatap dalam wajah terlelap suaminya. Perlahan tangan gadis itu terangkat, mengelus lembut surai hitam milik Abimana. "Selamat tidur juga. Aku minta maaf karena telah menyembunyikan sesuatu darimu, tapi aku berjanji akan menceritakan semuanya jika sudah pada waktu yang tepat..." lirih Viana.
Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Matanya kemudian terpaku pada bagian atas nakas, tepatnya di sebuah buku yang memiliki corak kehitaman di sampulnya. Itu adalah buku harian yang ia beli tempo hari pada saat mengunjungi pusat perbelanjaan modern.
Ia bangkit kemudian berjalan pelan menuju nakas itu. Tepat di depan nakas, Viana memandang cukup lama buku harian itu, barulah setelahnya ia meraih buku tersebut. Perlahan kedua tangannya membuka halaman demi halaman buku itu. Pada bagian awal, ia menemukan beberapa catatan kecil yang tak lain adalah tulisan tangan miliknya sendiri.
Memang beberapa hari terakhir ia cukup rutin mengisi buku harian itu dengan beberapa kisah cintanya dengan Abimana. Itulah sebabnya sudah ditemukan beberapa catatan kecil, namun hanya pada bagian awal sedangkan bagian pertengahan sampai akhir hanyalah kertas kosong yang siap diisi dengan tulisan-tulisan kisah sang pemilik buku.
Viana meraih sebuah pena kemudian mulai membubuhkan coretan-coretan indah berisi kisah hidupnya. Kali ini bukan kisah cinta bersama Abimana, melainkan kisah pertemuannya dengan Viana asli. Jari-jari tangannya dengan lihai bergerak ke sana kemari. Hingga tak terasa, dua lembar telah habis ia tulis dengan kisah hidupnya sendiri.
Merasa apa yang dilakukannya sudah cukup, Viana kembali merapikan buku dan pena yang ia gunakan, kemudian kembali berjalan menuju kasurnya. Perlahan gadis berusia delapan belas tahun itu kembali merebahkan tubuhnya, menyusul sang suami yang terlihat telah terlelap dengan dengkuran halus.
~o0o~
Jam kampus telah berakhir beberapa jam yang lalu. Saat ini Viana sedang duduk di kamarnya sembari membubuhkan kembali tulisannya pada buku harian yang ia gunakan tempo waktu. Abimana sendiri saat ini sedang berada di kantornya, menjalankan tugasnya sebagai Chief Executive Officer (CEO) pada sebuah perusahaan kecil yang ia rintis sendiri.
Saat sedang asyik menulis, ponsel yang ia letakkan di samping buku terlihat berdering. Bergegas Viana mengangkat telepon tersebut tanpa melihat siapa yang memanggil. "halo?"
"Halo sayang, ini Tante. Kamu sudah menikah, ya? Tante turut senang untuk kamu," cerocos si penelepon.
"Iya, Tante." Viana menjauhkan ponselnya kemudian mencoba mengingat-ingat suara yang meneleponnya karena merasa familier. Beberapa saat kemudian, barulah Viana ingat jika yang meneleponnya ada seorang wanita paruh baya bernama Reina Lewis, ibu dari Fariz.
Viana kembali mendekatkan ponsel tersebut. "Tante, ada apa menelepon?" tanyanya berusaha setenang mungkin.
"Tidak apa-apa. Tante hanya ingin mengundangmu ke sini untuk menemani Tante. Setelah kamu menikah, rasanya telah cukup lama kita tidak menghabiskan waktu bersama. Bagaimana? Kamu ada waktu?" ucap Reina dari seberang telepon.
Dalam novel memang dijelaskan jika Viana dan Reina cukup dekat. Bahkan restu untuk menikah dengan Fariz di tangan Viana juga cukup besar. Namun berbeda dengan perasaan Reina, Fariz justru menolak tegas jika Viana menjadi istrinya membuat Viana benar-benar gila dan hilang akal karena mengejar cinta Fariz.
Untuk sekarang, apa yang harus ia jawab? Mau bagaimanapun Viana sekarang bukanlah Viana asli. Bagaimana ia mau menanggapi panggilan tersebut?
"Baiklah, aku akan berusaha menyempatkan waktu untuk datang," jawab Viana akhirnya.
"Bukan nanti, Sayang. Tapi sekarang. Jadi tolong segera ke rumah Tante, ya?"
"Sekarang?" tanya Viana kaget. Ia segera bersiap-siap untuk pergi ke lokasi rumah Reina.
TBC.
1,4k Vote aku up next bab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)
FanfictionDiana Anggita Dwitama, gadis dengan kondisi tubuh sakit-sakitan bahkan untuk berjalan saja dia kesulitan. Kecewa pada diri sendiri ditambah dengan kedua orang tua serta saudaranya sudah tidak peduli lagi, Diana akhirnya memutuskan untuk mengakhiri s...