Bab 05.

93.4K 5.9K 34
                                    

...Votenya QaQa...

Sekarang giliran Abimana yang tertegun. Ia tidak menyangka jawaban seperti itu akan keluar dari bibir mungil dari gadis yang ada di sampingnya. Pria itu menoleh ke arah Viana tapi tetap saja yang ia lihat adalah kegelapan karena akibat dari matanya yang hampir mengalami kebutaan.

Sejujurnya Abimana ingin sekali merasakan apa itu dihargai, meski hanya satu orang saja tidak apa-apa yang penting ia bisa merasakan apa itu dicintai, dihargai dan disayangi. Akankah perasaan yang selama ini ingin ia rasakan bisa terwujud lewat gadis di sampingnya?

"Sayang! ayo kita pulang!"

Suara teriakan yang mengalun merdu itu membuat Viana dan Abimana tersentak.

"Siapa itu?" tanya Viana.

"Satu-satu orang yang peduli padaku, dia ibu tiriku," ucap Abimana pelan. Suara yang tadi terdengar hangat saat mereka mengobrol santai pun telah menguap berganti suara lirih.

"Berarti kamu sudah mau pulang? Ayo kita kembali ke dalam." Viana menarik dan menggandeng tangan Abimana kemudian mengajaknya melangkah masuk melalui pintu belakang.

Saat dua pasang kaki itu baru saja menginjak lantai ruang tamu, mereka sudah disambut dengan berbagai tatapan, tetapi tatapan tajam yang berasal dari tuan dan nyonya Adhias lebih mendominasi. Viana mengikuti arah tatapan tajam itu yang ternyata mengarah kepada Abimana.

Namun Viana tersentak saat melihat pancaran mata Abimana. Mata hitam legam namun sedikit pudar itu terlihat kosong. Kenapa dia baru menyadarinya sekarang? Padahal sudah hampir 2 jam Abimana di sini.

Saat sedang sibuk memperhatikan sorot mata milik Abimana, terdengar sebuah pintu dibuka dengan kasar membuat perhatian semua orang teralih, bahkan Abimana juga menengok mengikuti instingnya.

"Eh, Fariz. Ada apa, nak?"

Viana terkejut saat mendengar ibunya menyebutkan nama dari pria tampan yang ada di pintu masuk itu. "Jadi dia Fariz? Tampan sih, tapi masih tampanan juga Abi-ku," batinnya membandingkan paras Abimana dan Fariz.

Sedangkan pria dengan nama Fariz Arga Lewis itu bergeming tak menjawab. Ia justru melangkah cepat dengan tatapan tajamnya, menuju Viana. Tiba-tiba tangan pria itu dengan ringannya menampar wajah Viana sehingga membuat wajah gadis itu tertoleh serta meninggalkan tanda lima jari berwarna merah.

Seketika suasana ruangan itu menjadi sunyi dan hening. Gadis yang menerima tamparan ikut terdiam saat merasakan rasa panas mulai menjalar di wajahnya. Viana tahu hal ini akan terjadi sama seperti alur novel. Tetapi tetap saja, rasanya sangat sakit.

"Sudahku bilang, jangan mengganggu gadisku, sialan!"

Viana mengangkat wajahnya seraya mengibarkan rambut yang menutupi matanya. Gadis itu menyeringai memikirkan alur yang dapat ia ubah. Jika di dalam novel, Viana asli akan menangis seraya meminta maaf meski tahu jika dirinya tidak bersalah bahkan gadis itu tak segan-segan menghina calon suaminya. Tetapi Viana yang sekarang justru membalas tatapan dari Fariz tak kalah tajam.

Plak

Viana membalas dengan tamparan yang tak kalah keras, bahkan turut meninggalkan bekas kemerahan lima jari seperti yang ada pada wajahnya. "Apakah kamu punya bukti? Jangan asal menuduh, bajingan. Aku bahkan tidak pernah keluar rumah selama beberapa hari ini, bagaimana aku bisa menganggu gadis mu? Bodoh!"

"Kau-" Fariz kembali ingin menampar Viana tapi gadis itu telah menahan dengan tangan kiri yang gandengannya dengan Abimana telah terlepas.

"Kamu laki-laki atau perempuan? Kok main kekerasan dengan perempuan?" sarkas Viana.

Fariz menurunkan tangannya sembari menatap Viana tajam kemudian beralih menatap Marissa dan Milton. "Nyonya dan tuan Dirham. Tolong didik anaknya dengan sopan santun," ucapnya datar.

"Heh?! Sopan santun katamu? Sepertinya kamu memerlukan cermin. Lihatlah siapa yang masuk ke rumah orang dan berbuat keributan. Bukankah itu tidak sopan, Tuan?" Sindir Viana.

Fariz menggeram kesal saat mendengar sindiran itu. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, pria itu berlalu keluar dari rumah itu membuat Viana mendengus sembari menyentuh pipinya yang masih terasa panas.

Setelahnya keheningan mulai menguasai ruangan itu. Keluarga Adhias bahkan sudah menampilkan wajah datar mereka tak terkecuali Abimana.

"Permisi, sepertinya kami akan segera pulang." Nyonya Adhias angkat bicara sekaligus memecahkan keheningan yang terjadi.

"Oh, silahkan. Mohon maaf atas ketidak nyamanan yang telah terjadi."

"Tidak apa-apa. Kalau begitu, kami permisi. Ayo Abimana, kita pulang." Ujar Malia sembari menarik lembut tangan anak tirinya.

Keluarga Adhias pamit, satu per satu dari mereka masuk ke dalam mobil kemudian mobil itu melaju meninggalkan kawasan rumah itu.

"Apa yang telah kamu lakukan, Viana?!" Kaki Viana yang baru berjalan beberapa langkah harus berhenti, ia menoleh ke arah ayahnya yang telah menguarkan aura mencekam bahkan suaranya terdengar seperti menahan emosi yang akan meledak.

"Apa? Aku hanya membela diri," ketus Viana saat menyadari jika sang ayah baru saja menyinggung peristiwa beberapa menit yang lalu.

"Tapi kamu jangan sampai menampar Fariz begitu, Nak." Kali ini Marissa angkat bicara.

"Jadi saat aku ditampar harus diam saja, begitu?"

"Bukan begitu Nak, kami mengingatkan karena kami sayang," ujar Marissa.

Viana tertawa sinis. "Sayang? Bahkan kalian saja tidak pernah mempedulikan aku. Tidak usah ikut campur, karena kalian sama sekali tidak mengerti perasaanku!" sentaknya.

"Viana! dasar anak tidak tahu diuntung!" teriak Milton yang sudah terlampau kesal.

"Apa lagi? Teriakkanmu membuat telingaku sakit, Pak Tua. Lagi pula aku tidak pernah meminta kalian memberikan aku keuntungan," ujar Viana tak acuh.

"Kamu? Mama menyesal telah melahirkan kamu, Viana!"

Viana terdiam mendengar bentakkan ibunya. Bentakan yang mampu membuat matanya berkaca-kaca. Selanjutnya, gadis itu menatap nyalang sang ibu. "Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan! Aku bahkan menyesal terlahir di keluarga ini."

Ia tidak tahu kenapa dadanya terasa nyeri saat sang ibu mengatakan itu. Lagi pula ia tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Jikalau bisa, dia ingin meminta untuk tidak pernah melihat dunia, tapi dia bisa apa? Ini semua sudah takdir.

Viana segera berlari menuju kamarnya, kemudian mengunci pintu kamar itu. Gadis itu menyenderkan tubuhnya pada pintu, sesekali kepalan tangan itu menghantam dadanya untuk menghilangkan rasa sesak sekaligus sakit yang mendera dadanya.

Viana tidak tahu mengapa rasanya sangat sakit, padahal ia tidak pernah mengalami segala kesakitan Viana asli. Mungkin saja ini perasaan Viana asli yang masih tertinggal dalam tubuhnya.

Setelah dirasa cukup tenang, gadis bersurai hitam itu kembali menegakkan tubuhnya. Ia berjalan menuju ranjang kemudian membanting tubuhnya ke atas kasur.

"Hidup itu melelahkan, mending tidur dulu," gumam gadis itu sebelum matanya tertutup.

Lelah sekali tubuhnya hanya karena menghadapi lelaki berengsek macam Fariz. Rasanya Viana jadi takut untuk menghadapi alur cerita ke depannya, semoga saja tidak ada yang lebih buruk dibanding yang tadi.

Semoga saja.

Bersambung...

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang