Bab 30.

65.6K 5.1K 115
                                    

Karena 2k vote sulit banget, jadi 1k aja.

1k Vote aku Up

Viana menegakkan tubuhnya. Ia berusaha memasang senyum manis yang tampak alami. "Hai... Alya," sapa balik Viana.

Rupanya sapaan itu berdampak besar terhadap gadis bernama Alya itu. Terbukti dari wajahnya yang berbinar-binar menatap Viana seolah baru saja di sapa oleh aktris atau pun aktor terkenal.

"Wah, kamu membalas sapaanku?" pekik Alya membuat beberapa atensi teralih kepada mereka.

Viana tersenyum kikuk. Ia menggaruk tengkuknya yang terasa tidak gatal. Malu sekali rasanya ketika dia menjadi pusat perhatian karena di kehidupan sebelumnya, Viana sendiri jarang bahkan hampir tidak pernah menjadi pusat perhatian.

"Kamu terlalu berlebihan," ucap Viana pelan.

"Ah, tidak. Aku hanya terlalu senang. Karena biasanya kamu tidak mau berbicara kepadaku bahkan cenderung bersikap kasar," ujar Alya dengan mengecilkan suaranya di akhir kalimat.

Tentu Viana tahu itu. Karena mau bagaimana pun di dalam novel telah dijelaskan bagaimana kebencian seorang Viana kepada Alya dan obsesi gilanya kepada Fariz. Benar-benar di ambang batas.

Viana menggeleng pelan, memang obsesi dan cinta berbeda tipis dan jika sudah mengalaminya maka bersiap-siap saja untuk menjadi bodoh. Menurut Viana, Alya itu terlihat polos dan baik hati, jadi buat apa membencinya.

Semoga saja penilaian Viana ini tidak salah dan Alya bukanlah seperti novel-novel klise bertema fantasi-transmigrasi yang pemeran utamanya menjadi bermuka dua atau playing victim.

"Soal sikapku selama ini, aku minta maaf," ucap Viana membuat pupil mata Alya membesar lantaran terkejut.

"Kamu barusan..., meminta maaf?" gumam Alya tak percaya.

Dengan tegas Viana mengangguk. "Benar. Aku tahu selama ini aku terlalu dibutakan oleh sesuatu yang orang sebut itu cinta atau pun obsesi sehingga membuat aku berlaku kasar,"

Tak ada salahnya membangun hubungan baik dengan protagonis wanita untuk mempersempit kemungkinan akhir tragis yang akan ia terima.

"Tapi..., kenapa?" tanya Alya lagi.

"Tidak ada alasan yang spesifik. Satu yang harus kamu tahu bahwa aku telah menikah jadi aku akan berfokus pada pria yang telah menjadi suamiku."

Alya mengerjap beberapa kali. "Kamu menikah? Kapan dan dengan siapa?" tanyanya beruntun.

"Yah, aku sudah menikah kurang lebih tiga minggu yang lalu. Soal dengan siapa aku menikah, aku belum bisa mengatakannya," sahut Viana.

Ia tidak mau memberitahukan siapa suaminya bukan karena malu. Hanya saja, ada firasat buruk yang entah sejak kapan mendera hatinya. Maka dari itu, untuk berjaga-jaga Viana memilih tidak memberitahukan siapa suaminya untuk sementara waktu.

Tak mau memaksa, Alya memilih untuk mengangguk mengerti, tanpa melontarkan pertanyaan kembali. Ia terdiam begitu pun dengan Viana sehingga suasana canggung mulai menguasai mereka.

Viana sendiri memilih untuk tak ambil pusing. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, memperhatikan para mahasiswa dan mahasiswi baru yang tampak berbincang-bincang membangun pergaulan atau pun relasi antar sesama.

"Viana?" panggilan bernada ayal yang berasal dari Alya itu membuat Viana menolah.

Ia menatap penuh tanya pada gadis bersurai cokelat itu. "Ya?"

"Em..., mau berteman?" Alya berucap ragu tapi Viana dapat melihat binar penuh harap dari mata gadis itu.

Tak ingin membuang kesempatan, Viana mengangguk. "Boleh, kita bisa berteman." Sesuai rencana awal, ia ingin menjalin hubungan pertemanan dengan Alya demi mempersempit kemungkinan akhir tragis.

"Benarkah?" tanya Alya memastikan.

"Ya!" Viana tersenyum tipis. Satu misinya selesai.

"Yey! Terima kasih Viana," ujar Alya riang.

Wajah cerahnya mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan sang kekasih yang tak lain adalah Fariz. Dia ingin memberitahukan kabar membahagiakan ini kepada pria itu sehingga tidak akan ada lagi permusuhan di antara mereka.

Sudah lama ia menginginkan hal ini namun belum terlaksana lantaran sifat Viana dulu benar-benar sangat sulit diajak berbaikan. Mata Alya menyipit untuk memastikan jika itu memang kekasihnya. Setelahnya ia menoleh ke arah Viana.

"Ana, aku mau pergi menemui kekasihku dulu, ya? Nanti kita berbincang lagi."

Viana mengangguk. "Silakan, aku juga ingin menikmati suasana di sini."

"Baiklah, sampai jumpa,"

~o0o~

Viana berlari kecil memasuki mansion. Waktu telah menunjukkan pukul 12 siang tepat tengah hari dan Viana baru saja pulang dari acara kampus yang menurutnya cukup melelahkan.

"Abi," panggil Viana sembari membuka pintu kamar.

Terlihat Abimana sedang menyandar pada kepala ranjang dengan tangan memegang sebuah buku tak lupa pula kaca mata ikut tersampir di hidung mancungnya. Pria itu mendongak dan tersenyum kecil.

"Sudah pulang?"

Viana mengangguk dengan wajah cemberut. Ia menaiki ranjang kemudian duduk di sebelah suaminya. Wajah gadis itu sangat kentara dengan rasa kesal dan lelah.

"Kenapa, hm?" tanya Abimana saat menyadari wajah cemberut sang istri.

"Lelah aja, sama kesal," ujar Viana.

"Memangnya kenapa? Acaranya jelek?"

Viana menggeleng. "Acaranya cukup bagus tapi terlalu ramai. Jadi bikin sesak dan lelah."

Abimana mengangguk mengerti. Tangannya terangkat lalu perlahan mengelus surai halus milik sang istri. Viana cukup menikmatinya karena membuat perasaannya menjadi lebih santai. Gadis itu melirik buku yang ada di tangan suaminya. karena penasaran, Viana semakin mendekatkan tubuhnya.

"Kamu sedang baca apa?" tanya Viana sembari mencondongkan kepalanya guna melihat isi buku yang di baca suaminya.

"Tentang bisnis, sayang. Kamu mau baca?"

"Tidak mau. Aku tidak tertarik dengan bisnis karena lebih suka menjadi chef," sahut Viana.

"Kamu baca buku bisnis karena kamu memang tertarik dan cukup ahli 'kan?" sambung Viana bertanya.

Ia sebenarnya sudah tahu jawabannya karena di dalam novel Abimana disebutkan membangun perusahaan dengan jerih payahnya sendiri tanpa bantuan siapapun. Walau perusahaan yang ia buat tidak sampai menjadi perusahaan yang besar, tapi tetap saja itu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri.

Mungkin jika di dunia asli tempat ia menjadi Diana, Abimana sudah pasti masuk ke dalam liputan-liputan berita nasional dengan tajuk 'Pria gangguan jiwa membangun perusahaan sendiri'.

Abimana mengangguk sebagai bentuk jawaban atas pertanyaan yang sebelumnya Viana tanyakan. "Benar, aku tertarik dengan bidang bisnis, itulah sebabnya aku suka mempelajari bisnis. Dan apa kamu tahu apa pencapaian suamimu ini, sayang?"

Viana menggeleng. "Memangnya apa?"

"Suamimu ini sudah membuat perusahaan atas jerih payahnya sendiri," ungkap Abimana sembari tersenyum bangga.

Senyum itu juga menular pada Viana. Gadis itu dengan cepat mencium pipi Abimana. "Suamiku memang hebat," ujarnya membuat Abimana semakin tersenyum lebar.

TBC.

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang