Bab 15.

72.7K 4.7K 15
                                    

Votenya dong

"Kak, ajari aku ya? Aku sudah membantu mengobati kaki Kakak, tidak mungkin Kakak tidak mau menarik kata-kata Kakak ‘kan?" Viana memelas menatap sang kakak yang tampak tak acuh. Dokter muda itu masih asyik menggenggam ponselnya sembari tubuh tegap itu bersandar pada kepala ranjang.

"Aku mohon, Kak. Ajari aku ya?" Lanjut Viana mencicit. Air matanya sudah hampir meleleh karena sedari tadi didiamkan oleh sang kakak karena tadi telah menekan luka lebam yang terdapat pada kaki kakaknya..

Sebenarnya itu bukan salah Viana, melainkan salah Leon sendiri. Padahal pria itu adalah dokter tapi justru menanyakan hal umum seperti itu. Tapi ternyata kakaknya sudah mengetahui masalah kompres mengompres begitu, hanya saja ia berdalih ingin bercanda dengan sang adik.

Akhirnya Viana menunduk dengan punggung bergetar, menumpahkan Liquid bening yang sedari tadi ia tahan. Sedangkan Leon yang menyadari hal tersebut, menghela napas pelan. Pria itu dengan susah payah bergeser kemudian mendekap tubuh sang adik.

Perasaan bersalah mulai hinggap di hatinya karena telah membuat adiknya menangis. Dengan lembut pria itu mengecup pucuk kepala sang adik. "Maaf..."

Masih berada di dalam dekapan sang kakak, Viana menggeleng saat mendengar permintaan maaf sang kakak. "Aku yang salah karena tadi sudah menekan luka lebam Kakak, jadi aku minta maaf," gumamnya dengan suara teredam.

Leon tersenyum tipis sembari mengeratkan pelukannya. "Kakak maafkan. Nanti kakak ajari ya, jangan menangis lagi."

Mendengar ucapan kakaknya, Viana mengangkat kepalanya. Ia terlihat berbinar memandang tepat di mata Leon. "Benar?"

Melihat raut wajah Viana yang menurut Leon terlihat menggemaskan, pria itu mencubit pelan hidung sang adik menggunakan tangan kanannya sedangkan tangan kiri masih merengkuh pinggang sang adik.

"Tentu. sudah, jangan menangis lagi," ujar Leon.

"Baik kakak!" seru Viana.

~o0o~

Viana tiba di mansion milik suaminya saat hari sudah menjelang petang. Kaki gadis itu dengan riang melangkah memasuki mansion sembari bibir tipisnya tersenyum lebar.

Namun, keanehan masuk ke dalam penglihatan saat ia melewati kamar suaminya, di mana para pelayan dan pengawal terlihat ramai berkumpul di depan kamar suaminya.

"Ada apa ini?"

Para pelayan sontak menoleh ke asal suara. Seketika mereka membungkukkan tubuh mereka sekilas, setelah melihat jika suara itu berasal dari nyonya mereka.

"Sekali lagi aku tanya, ada apa ini?"

Seorang pelayan maju ke hadapan Viana. "Izin menjawab, Nyonya. Kami baru saja mengunci pintu kamar Tuan dari luar."

Dahi Viana mengernyit mendengar penuturan pelayan itu. "Memangnya ada apa dengan Abimana?"

"Tuan mengamuk karena penyakitnya kambuh, Nyonya. Jadi supaya tidak ada yang terluka, kami mengurung Tuan di dalam," jelas pelayan itu.

Sejenak, Viana tertegun tetapi gadis itu dengan cepat kembali menguasai diri. "Hanya mengurung 'kan?" tanya Viana memastikan.

Pelayan itu mengangguk cepat. "Benar nyonya."

Viana terlihat manggut-manggut. "Baiklah, silakan bubar. Oh iya, serahkan kunci kamar ini kepadaku karena nanti malam aku ingin mengunjungi kamar ini untuk merawat Abimana."

Beberapa Pelayan bahkan pengawal terlihat tersentak saat kalimat seperti itu meluncur dengan indah dari mulut gadis yang telah menjadi Nyonya mereka. Mereka pikir Viana akan takut saat diberitahu jika suaminya mengamuk lantaran penyakitnya kambuh, namun nyatanya gadis itu terlihat santai bahkan mengatakan ingin merawat tuan mereka.

"Jangan Nyonya!" seru pelayan itu.

"Kenapa?"

"Tuan sedang tidak baik-baik saja. Nanti Nyonya bisa terkena imbasnya. kami tidak mau Nyonya justru terluka."

Viana mengibaskan tangannya pelan. "Tidak perlu khawatir. Aku istrinya dan aku tahu cara merawat orang seperti Abimana. Dia tidak akan menyakitiku," ujar Viana yakin.

"Tapi Nyonya-"

"Sudah, cepat serahkan kuncinya," potong Viana sembari menyodorkan tangannya.

Pelayan itu tampak dengan ragu-ragu mengangkat tangannya. Ia sesekali memandang wajah cantik dari nyonyanya yang terlihat sangat santai. Tangan pelayan itu terlihat menggantung, ia beralih melihat teman-temannya untuk meminta persetujuan.

"Sudahlah, kau lama." Viana merebut kunci yang menggantung di tangan sang pelayan karena ia sudah tidak memiliki kesabaran untuk menunggu lebih jauh lagi.

Akhirnya pelayan itu hanya pasrah saat kunci dari kamar Abimana diambil. Ia sebenarnya sangat takut nyonya mereka kenapa-napa. Setidaknya ia sudah mengingatkan nyonya mereka yang terlihat sangat bebal.

Pelayan itu memandang rumit punggung Viana yang terlihat telah semakin jauh hingga akhirnya tubuh itu perlahan menghilang dari penglihatan.

TBC.

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang