Bab 55.

33.7K 2.7K 99
                                    

Bau amis menyengat itu membuat Viana enggan membuka mata. Sejujurnya ia takut dengan penampakan orang kecelakaan yang dipenuhi darah. Tetapi karena rasa penasaran yang tinggi akan siapa yang telah menyelamatkannya membuat Viana perlahan membuka matanya.

Ia menyeka cairan berwarna merah pada matanya guna memperjelas penglihatan. Namun yang ia lihat hanyalah kerumunan orang di dekat mobil yang juga terkena cipratan darah. Menoleh ke belakang, Viana dapat melihat Alya sedang tertunduk dengan tubuh bergetar. Ada apa dengan gadis itu? Apakah dia merasa bersalah? Atau kesal karena orang yang ia anggap musuh, gagal meninggal?

Kerumunan yang ada di depannya terdengar ribut membuat Viana kembali mengalihkan atensinya ke arah depan. Perlahan-lahan para kerumunan itu mencoba mengangkat mayat membuat Viana sedikit demi sedikit dapat melihat siapa orang yang menyelamatkannya.

Viana memicingkan matanya tak kala ia melihat bahwa orang yang menyelamatkannya adalah seorang pria dengan balutan jas yang terasa familier di benak Viana. Seketika pupil matanya melebar saat menyadari jas yang membalut tubuh pria itu adalah jas yang sangat mirip dengan Abimana.

Segera Viana melarikan bola matanya ke sana kemari guna mencari keberadaan suaminya. Bertepatan dengan itu mata Viana menangkap kursi roda kosong tak jauh darinya. Seketika gadis itu panik.

"Abimana!" teriaknya.

Tak ada jawaban, ia hanya mendapati Arion dan Irene sedang menatap ke arah jalan dengan tatapan kosong. Hal tersebut mampu membuat Viana semakin panik. Ia terduduk meremas rambutnya frustrasi. Ia ingin melihat wajah si penyelamat tetapi terhalang oleh para manusia yang membantu mengevakuasi korban.

Rasa frustrasi yang mendominasi membuat air mata perlahan mengalir dari kedua pipi gadis itu. "Abi..." gumamnya lirih.

Tiba-tiba sebuah tangan lebar mendekap perutnya membuat Viana tersentak. Ia mengangkat kepalanya kemudian menoleh ke arah kanan, di mana ia merasakan sebuah dagu bertumpu pada bahunya disertai napas hangat menerpa lehernya.

"Aku di sini, Sayang." Suara berat berbisik tepat di depan telinga Viana.

"Abi?" panggilnya.

"Ya, Sayang. Ini aku," bisik Abimana lembut.

Viana langsung membalik tubuhnya sehingga posisinya sedang berhadapan dengan Abimana dengan keadaan sama-sama berjongkok. Ia menatap tak percaya dengan pemandangan ini. Bola mata Viana bergerak menatap bergantian antara korban dengan sang suami.

"Kamu baik-baik saja? Lantas siapa yang ada di sana?" tanya Viana.

"Kamu bisa memastikannya sendiri, Sayang."

Viana memperhatikan dengan seksama ke arah korban tersebut. Saat ini ia masih belum bisa melihat wajah korban secara langsung lantaran orang-orang masih berkerumun di sekitar mayat. Namun, mata Viana mulai terfokus pada kantong plastik yang jatuh dengan beberapa daging kelapa di sekitarnya.

"Jangan bilang..."

"Ya, kamu tidak salah. Dia yang menyelamatkanmu," ucap Abimana seraya memandang lurus ke arah sekumpulan orang itu.

Mayat korban diangkat. Wajahnya mulai terlihat membuat Viana benar-benar mematung tak percaya. Korban itu adalah seorang pria dengan yang sangat familier di mata Viana. Darah tampak mengalir dari bibir, telinga, pelipis kepala serta genangan darah di sekitar tubuh itu. Fariz mengorbankan diri untuk menyelamatkannya? Benar-benar diluar perkiraan.

Viana tidak bisa membayangkan sekeras apa mobil itu melaju sehingga membuat Fariz mengeluarkan banyak sekali darah bahkan sampai terciprat ke wajahnya. Bagaimana keadaan pria itu? Apakah nyawanya masih terselamatkan?

Sirene polisi dan ambulance saling bersahutan, memekakkan telinga. Tubuh Fariz dipindahkan ke atas brankar kemudian dimasukkan ke dalam ambulans. Hiruk pikuk keributan dari arah belakang membuat Viana mengalihkan perhatiannya.

"Tangkap dia, Pak. Dia telah mencoba membunuh seseorang." Itu adalah suara Irene. Viana kira perkataan itu ditujukan padanya, tapi ternyata, Irene justru melaporkan anaknya sendiri membuat Viana menganga tak percaya.

"Apakah Anda mempunyai bukti, Nyonya?" tanya seorang polisi.

Irene meraih tangan polisi tersebut kemudian meletakkan ponsel miliknya di sana. "Ini, silakan cek sendiri. Saya tadi tidak sengaja merekam anak saya mendorong seorang gadis ke tengah jalan. Jika Bapak tidak percaya, Bapak bisa mencari CCTV yang hidup di sekitar sini."

"Ibu!" pekik Alya. "Kenapa ibu melakukan itu. Aku tidak bersalah."

"Tidak bersalah? Ibu melihat dengan mata kepala Ibu sendiri ketika kamu mendorong Viana ke tengah jalan." Irene menunjuk ke arah ambulans "Lihat karena ulahmu, anak dari Nyonya Lewis mengalami kecelakaan."

Terlihat Nyonya Lewis sedang menangis, sedangkan Tuan Lewis hanya menenangkan sang istri. Namun tak dapat dipungkiri, raut kesedihan tercetak jelas pada wajah pria itu.

"Tidak! Itu bukan salahku!" pekik Alya tak mau disalahkan.

"Ibu tidak pernah mengajarimu untuk berbuat jahat, tapi kamu justru melakukan kejahatan. Ibu kecewa padamu, Alya," ucap Irene dengan pandangan kecewa.

Alya menggeleng ribut. "Bukan! Bukan aku. Ya bukan aku, tapi wanita jalang itu." Tunjuknya pada Viana. "Dia yang salah! Bukan aku!"

Alya ingin berlari menuju Viana, namun dengan cepat kedua tangan gadis itu ditahan kemudian diborgol oleh para polisi. "Nona, ikut kami ke kantor polisi. Berdasarkan video, Anda terbukti bersalah, jadi kami akan melaksanakan penyelidikan lebih lanjut."

"Tidak! Jangan bawa aku! Aku tidak bersalah." Gadis itu berontak sekuat tenaga namun karena tubuhnya yang kecil, hal tersebut tak berdampak apa-apa. "Ibu! Tolong aku! Aku anakmu, Ibu," panggilnya.

Irene membuang muka, tak ingin melihat sang anak. Air mata mengalir membasahi pipinya. Ia sebenarnya tidak rela anaknya dibawa oleh polisi, tetapi ia tahu, perbuatan yang dilakukan anaknya itu salah dan harus diberi sanksi.

Mobil polisi dan mobil ambulans berlalu dari tempat kejadian. Bunyi sirene yang tadi memekakkan telinga menghilang, meninggalkan suara isak tangis dari beberapa orang. Tak terkecuali Irene, wanita paruh baya itu semakin menangis keras. Arion berusaha menenangkan istrinya dengan pelukan hangat, sembari membisikkan kata-kata penyemangat.

Beralih pada Viana, gadis itu menatap bingung pada sang suami yang sedang berjongkok di depannya. "Kamu..."

"Nanti saja bertanyanya." Abimana bangkit seraya menarik tangan Viana kemudian menggenggam tangan itu, mengajaknya berjalan mendekati sang ayah.

TBC.

Menuju Ending.

Vote untuk next Bab.

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang