"Sayang, ayo kita pulang, ini sudah sore." Seorang wanita tampak membujuk anaknya yang sedang asyik bermain pasir pada sebuah taman.
"Nanti dulu, ibu. Aku masih mau bermain," tolak anak laki-laki itu sembari memainkan pasirnya.
"Ya ampun, anak ibu ini. Sudah ya? Kita pulang. Nanti ayah marah sama kamu. Lihat itu, umur kamu sudah sebelas tahun tapi masih main pasir sampai wajahnya cemong semua." Wanita itu tertawa sembari mengangkat anaknya yang tampak cemberut.
Meski anaknya sudah berumur sebelas tahun, wanita itu tampak menggendong anaknya tanpa mengeluh. Wanita itu justru mengecup pipi berwarna putih milik anaknya yang tampak kotor dengan beberapa butiran pasir.
"Saatnya pulang," ujar wanita itu sembari berjalan menjauhi taman.
Anak itu hanya pasrah saat tubuhnya digendong untuk dibawa pulang. Tangannya terangkat dan memeluk leher sang ibu dengan erat sembari menyusupkan kepalanya di bahu sang ibu.
Saat kaki mereka melangkah menuju mobil yang terparkir, tiba-tiba ada seorang pria berbaju serba hitam datang menghampiri mereka. Wanita itu langsung memeluk anaknya dengan erat saat nuraninya mendeteksi bahaya. Benar saja, beberapa detik kemudian pisau tajam menuju perut si wanita sehingga membuat wanita itu mengerang kesakitan dan tanpa sadar menjatuhkan anak laki-laki yang ia gendong.
Pria yang menjadi pelaku penusukan itu melarikan diri meninggalkan sepasang wanita dan anak dengan wanita yang sudah tergelak di pinggir jalan disertai pisau yang masih menancap di perutnya.
Sedangkan anak laki-laki itu tampak menahan sakit pada lutut dan sikutnya akibat terbentur. Ia merangkak mendekati sang ibu dengan tangis berderai.
"Ibu..." lirihnya mengguncang tubuh yang tampak sudah sangat lemah itu.
Laki-laki itu memeluk sang ibu erat. "Ibu bangun. Jangan tidur..." lirihnya.
Tiba-tiba kepala anak itu terserang rasa sakit yang teramat sangat sehingga anak itu sontak melepas pelukannya. Ia mencengkram kepala kecilnya dengan kuat berharap rasa sakit yang menyerang itu berkurang.
"Pembunuh!"
"Pembunuh!"
"Pembunuh!"
Anak laki-laki itu menggeleng ribut dengan tangis histeris. "Ini bukan salahku! aku bukan pembunuh! Aku tidak membunuh ibu!"
~o0o~
Viana membuka pintu kamar suaminya selanjutnya kaki jenjang itu memasuki kamar dengan tangan membawa nampan berisi makanan. Sejauh mata memandang kamar suaminya sudah tampak lebih baik meskipun pintu kamarnya belum diperbaiki pasca didobrak paksa tadi pagi.
Viana meletakkan nampan itu di atas nakas. Ia menoleh mantap suaminya yang tampak tertidur nyenyak di atas kasur. Namun dahi Viana mengkerut saat suaminya bergerak gelisah. Keringat sebesar biji jagung tampak mengalir dari sudut kepala Abimana.
"Aku bukan pembunuh..."
Viana dapat mendengar gumaman lirih yang keluar dari bibir suaminya. Seketika Viana mengingat tentang cerita dari Reila. Segera Viana mengguncang tubuh suaminya.
"Abi, kamu kenapa?" Viana berujar panik. Tangannya semakin gencar memberikan goncangan berharap suaminya segera sadar.
"Aku bukan pembunuh! Aku tidak membunuh ibu!" Abimana yang awalnya bergumam lirih berubah menjadi ucapan yang jelas sehingga Viana dapat mendengarnya langsung.
Kepalang panik, Viana akhirnya memutuskan untuk merebahkan dirinya di samping sang suami sembari memeluk tubuh itu dengan erat. Viana perlahan mendekatkan bibirnya ke telinga Abimana.
"Kamu bukan pembunuh, kamu tidak bersalah. Jangan khawatir," bisik Viana.
Usaha Viana tampaknya berhasil. Tubuh Abimana yang semula bergerak gelisah perlahan mulai tenang. Bibir yang tadi meracau sudah berhenti. Menyadari hal tersebut, Viana menghela napas lega tetapi enggan menjauh. Ia masih melantunkan bisikan kata-kata penenang pada telinga sang suami.
Viana tidak menyadari jika Abimana telah membuka matanya. Sedangkan Abimana sendiri memilih untuk menikmati pelukan Viana yang terasa hangat. Pelukan serta bisikan dari istrinya berhasil membuat kegelisahan di hati Abimana perlahan terangkat.
Setelah dirasa cukup, Viana kembali bangkit. Viana terkejut saat melihat mata hitam kelam milik suaminya sudah terbuka. "A-Abimana?" panggil Viana terbata-bata.
Sang pemilik nama tak menjawab, pria itu perlahan bangkit tetapi sangat sulit. Ia meringis pelan karena sekujur tubuhnya terasa nyeri terutama bagian perut dan kepalanya.
Berusaha menyingkirkan kegugupan yang melandanya, Viana dengan sigap membantu suaminya. "Pelan-pelan."
Abimana menurut, pelan-pelan Abimana berhasil bangkit tapi ringisan masih mengiringi bibir pria itu.
"Sebentar." Viana meracik bubur di atas nampan, sedangkan Abimana hanya memperhatikan Viana dalam diam.
Bibirnya tersenyum tipis dan perlahan pancaran mata Abimana memandang penuh kehangatan pada gadis yang telah mengaku sebagai istrinya tempo hari. "Terima kasih..."
Suara lirih dari Abimana itu rupanya berhasil menghentikan pergerakan Viana. Ia menoleh ke arah sang suami dengan tatapan teduhnya. Sebenarnya Viana cukup terkejut dengan ucapan terima kasih yang diucapkan Abimana tetapi tak urung hal tersebut mampu membuat hati Viana menghangat.
"Sama-sama."
TBC.
Double Up.
Votenya dong...
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)
FanficDiana Anggita Dwitama, gadis dengan kondisi tubuh sakit-sakitan bahkan untuk berjalan saja dia kesulitan. Kecewa pada diri sendiri ditambah dengan kedua orang tua serta saudaranya sudah tidak peduli lagi, Diana akhirnya memutuskan untuk mengakhiri s...