2k Vote aku Up next Bab.
Atau
350 followers ig @ habibalfaqhri aku langsung up.
"Aduh," rintih Abimana. Ia menoleh ke belakang, menatap sang istri dengan tatapan penuh protes. "Kenapa kamu pukul aku?"
"Kamu itu ya. Lihat mereka sudah mengantre lama, kamu dengan seenaknya main sogok-sogok. Kasihan mereka sudah tua. Dasar orang kaya," omel Viana.
"Tapi aku bayar mereka, agar kita tidak membuang waktu banyak. Aku tahu perasaan kamu sedang sedih selepas kepergian kakakmu," jelas Abimana berusaha membela diri yang menurutnya tidak salah.
"Tapi tetap saja jangan memaksa seperti itu. Aku tidak mau kamu merugikan seseorang hanya karena aku," ujar Viana.
Abimana menghela napas. Ia kembali menatap ke depan seraya mengangguk pelan. "Baiklah, lain kali aku tidak akan mengulanginya."
Setelah Abimana mengucapkan hal tersebut, keheningan mulai menyambut sampai akhirnya perempuan yang bertugas menjadi administrasi kembali ke tempatnya. Ia tersenyum ramah kepada Viana dan Abimana. "Tuan dan Nyonya silakan masuk. Dokter sudah menunggu di dalam," ucapnya.
Viana mengangguk pelan sembari tersenyum tipis, kemudian mendorong kursi roda suaminya masuk ke ruangan dokter. Saat pintu terbuka, ruangan tempat mereka berkonsultasi sama seperti ruangan pada umumnya. Ruangan itu dihiasi oleh berbagai alat-alat untuk mata atau sejenisnya yang tentu berguna untuk menunjang sang dokter dalam melaksanakan pekerjaannya.
"Permisi," ucap Viana membuat seorang pria yang sedang melihat sebuah dokumen mengalihkan pandangannya.
Pria itu tersenyum kecil menatap Abimana dan Viana bergantian. "Ya, silakan duduk."
Viana mendorong kursi roda Abimana ke depan dokter, diikuti oleh Viana yang mendudukkan tubuhnya di sebelah sang suami. Sekarang, mereka telah saling berhadapan dengan dibatasi oleh sebuah meja.
"Dengan Tuan Abimana dan Nyonya Viana?" tanya dokter itu memastikan.
"Benar, kami sendiri," jawab Viana.
"Baik, di sini menurut data, Tuan Abimana yang ingin berkonsultasi. Benar begitu?"
"Benar dokter," sekali lagi Viana yang menjawab sedangkan Abimana hanya diam.
"Kalau begitu, kita bisa langsung saja melaksanakan pemeriksaannya. Pertama apakah keluhan yang di alami Tuan Abimana."
Sekali lagi hanya Viana yang menjawab. Gadis itu secara rinci memberitahu keluhan yang suaminya alami, tentu saja ia mengatakan berdasarkan apa yang telah suaminya ceritakan dan ia dengar. Sesekali dokter itu menanyakan sesuatu yang menurutnya ganjal dan akan langsung Viana jelaskan sebisanya.
"Baiklah, saya mengerti. Untuk memastikan lagi, selanjutnya kita melakukan tes untuk penglihatan Tuan. Apakah bisa langsung dimulai?"
Viana mengangguk. "Bisa Dokter."
Setelah mendengar persetujuan dari pasiennya, dokter itu mulai melakukan serangkaian tes yang perlu Abimana jalani. Mulai dari penglihatan jarak jauh, jarak dekat, besar kecilnya objek, dan masih banyak lagi tes lainnya.
Beberapa saat kemudian, tes telah berakhir. Abimana dan Viana telah kembali ke tempat semula, menunggu hasil diagnosis yang akan dokter itu sampaikan.
"Berdasarkan dari tes yang telah Tuan Abimana lakukan, dapat saya simpulkan gangguan mata yang diidap oleh Tuan adalah dikarenakan stres berlebihan. Namun bukan itu saja, penglihatan Tuan semakin buruk karena mengonsumsi obat secara berlebihan." Ada jeda sejenak untuk dokter itu menghela napas baru kemudian melanjutkan.
"Seharusnya, jika gangguan penglihatan hanya karena stres, mata Tuan masih bisa untuk pulih kembali, tetapi obat yang Tuan konsumsi membuat mata Tuan tidak bisa lagi kembali normal," jelas dokter itu.
Seketika jantung Viana terasa melompat dari tempatnya. Ia berusaha untuk mengorek telinganya berharap jika yang baru saja ia dengar adalah sebuah kesalahan. "Anda tidak bercanda 'kan, Dok?"
"Saya tidak akan bercanda untuk hal seperti ini, Nyonya," tegas dokter itu kemudian menunduk sejenak. "Saya tahu ini pasti mengejutkan Nyonya. tetapi tenang saja, walau Tuan sudah tidak bisa melihat secara normal, Tuan masih bisa mengenakan kaca mata atau melakukan pergantian bola mata."
"Pergantian mata yang dokter maksud adalah menerima donor mata orang lain, bukan?" tanya Viana.
"Benar Nyonya. Tapi jika memang tidak di ganti, Tuan masih bisa mengenakan kaca mata."
Viana hanya mengangguk pelan. Ia melirik ke arah suaminya yang tampak biasa saja. Tidak ada guratan kemarahan atau kesedihan di wajah itu, justru yang ada adalah wajah datar tanpa emosi yang terkesan tidak peduli.
Viana kembali menatap ke arah dokter sembari tersenyum formal. "Terima kasih atas apa yang telah dokter lakukan. Karena memang sudah tidak ada lagi yang perlu kami tanyakan, kami ingin pamit undur diri."
"Tidak perlu berterima kasih, Nyonya. Ini sudah menjadi tugas saya dan jika memang masih ada keluhan, Nyonya dan Tuan dipersilakan untuk mengunjungi klinik ini kembali," balas dokter itu.
"Tentu, kami akan datang. Kalau begitu kami pamit, sampai jumpa di lain waktu," pamit Viana.
Setelah mendapat persetujuan, gadis itu bangkit kemudian mendorong kursi roda milik suaminya keluar dari ruangan itu. Langkah santainya tidak sejalan dengan pikirannya yang melalang buana. Ada dendam tersendiri yang muncul di hati Viana ketika mengingat suaminya yang lumpuh dan tidak bisa melihat normal kembali hanya karena sebuah obat. Lihat saja, dirinya akan membalas semua yang telah suaminya alami. Tidak akan ia lepaskan dalang dari obat sialan itu sebelum sang pelaku masuk penjara.
Tak terasa, Viana tiba di parkiran. Ia bergegas berjalan menuju mobil kemudian membantu suaminya untuk masuk ke dalam mobil. Masih seperti tadi, wajah suaminya tampak sama, minim ekspresi.
"Jalan, langsung kembali ke mansion!" titah Viana setelah mereka semua telah masuk ke dalam mobil.
Mobil akhirnya melaju membelah jalan, meninggalkan kawasan rumah sakit menuju mansion milik Abimana. Keheningan mengiringi perjalanan mereka. Mesin mobil yang saling bersahutan dengan mobil-mobil lain masuk ke dalam pendengaran mereka.
Viana beberapa kali melirik sang suami. Masih ada yang mengganjal di hati Viana yaitu takut suaminya merasa sedih karena diagnosa yang diberikan dokter. "Abi," panggil Viana memecah keheningan.
Abimana menoleh dan menatap istrinya penuh tanya. "Kenapa, sayang?"
"Kamu... Tidak sedih? Kecewa?" tanya Viana.
Helaan napas mengalir dari bibir pria itu selanjutnya bibir itu tersenyum tipis. "Sedih? Tidak, tapi kalau untuk kecewa, sepertinya ada sedikit."
Viana turut tersenyum. Ia menggeser tubuhnya lebih ke pinggir sehingga gadis itu tepat berada di samping pintu mobil. "Sini tiduran." Viana menepuk-nepuk pahanya.
Abimana dengan senang hati merebahkan kepalanya di pangkuan sang istri. Posisi seperti ini adalah posisi favorit pria itu karena terasa sangat nyaman dan damai, mirip seperti saat ia tidur di pangkuan sang ibu. Pria berusia dua puluh delapan tahun itu menelusupkan wajahnya ke perut Viana.
Tangan gadis cantik itu terangkat, mengelus kepala sang suami. "Tidak apa-apa. Meski kamu tidak bisa melihat lagi, aku akan tetap bersama kamu," ujar Viana bermaksud untuk menenangkan suaminya. "Yang penting sekarang, kita harus membalas orang yang telah memberikan obat itu kepadamu," lanjutnya.
"Apa yang ingin kamu lakukan?" tanya Abimana.
"Lihat saja nanti. Bukannya wanita itu yang sudah memberikan obat itu untuk kamu minum? Tunggu nanti malam apa yang akan aku lakukan." Viana tersenyum sinis.
"Baiklah terserah kamu saja."
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)
FanfictionDiana Anggita Dwitama, gadis dengan kondisi tubuh sakit-sakitan bahkan untuk berjalan saja dia kesulitan. Kecewa pada diri sendiri ditambah dengan kedua orang tua serta saudaranya sudah tidak peduli lagi, Diana akhirnya memutuskan untuk mengakhiri s...