Bab 35.

53.2K 4.7K 140
                                    

Happy 1jt Views, kalo 1k Vote nanti malam aku double up

Sejenak keheningan mulai merajai ruangan itu. Viana dan Abimana sibuk dengan pikiran mereka sedangkan Edward hanya menunggu respon dari pasangan suami istri itu.

"Enam puluh persen itu sudah masuk kategori besar 'kan, Dok?" tanya Viana memecah keheningan.

"Benar Nyonya. Seperti yang sudah saya katakan, kemungkinan untuk Tuan sembuh adalah enam puluh persen yang artinya persentase itu sudah melewati lima puluh persen," jelas Edward.

"Jadi, karena persentasenya sudah bisa ditentukan. Apakah waktu untuk perawatannya sudah ditentukan juga?"

"Sudah, Nyonya. Anda beserta Tuan bisa datang ke sini mulai besok untuk melakukan perawatan," ujar dokter membuat Viana mengangguk.

"Kalau boleh tahu, apa saja perawatan yang suami saya dapatkan?" tanya Viana lagi.

"Saya akan memberikan terapi kecil agar saraf Tuan kembali normal serta melatih Tuan untuk kembali berjalan. Saya juga akan meresepkan obat baru dan dimohon untuk obat yang biasa Tuan konsumsi harus dibuang dan jangan di gunakan lagi," jelas Edward.

Viana sontak mengangguk. Mana mungkin ia tidak membuang obat sialan itu setelah mengetahui kebenarannya. Sekarang sepertinya ia harus melakukan pekerjaan ekstra dengan mencari tahu siapa dalang dari semua ini. Viana yakin, masalah yang mereka hadapi saat ini jauh lebih pelik dari perkiraannya.

"Apakah masih ada yang mau ditanyakan?" tanya Edward.

"Tidak Dokter, hanya itu saja. Terima kasih sudah membantu kami. Kami pamit dan sampaikan salam kami untuk dokter Alan," ujar Viana sembari melirik kursi kosong yang ada di sebelah Edward. Bisanya kursi itu ditempati oleh Alan. Entah kemana dokter itu sekarang.

"Silakan. Soal itu tenang saja, nanti akan saya sampaikan. Untuk sekarang Dokter Alan sedang ada jadwal operasi."

"Kami permisi Dokter," pamit Viana. Ia bangkit kemudian berjalan keluar dari ruangan itu sembari mendorong kursi roda yang ditempati Abimana.

Kedua orang itu perlahan keluar dari gedung rumah sakit menuju halaman. Mereka akhirnya masuk ke dalam mobil yang setia terparkir di rumah sakit. Seperti biasanya, pengawal yang menjaga mobil itu dengan sigap membantu Viana untuk memindahkan Abimana ke dalam mobil.

Setelahnya, Viana menyusul masuk ke bagian kursi penumpang belakang bersama Abimana, sedangkan pengawal yang merangkap sebagai sopir itu menyimpan kursi roda ke bagasi mobil dilanjutkan dengan dirinya yang duduk di kursi kemudi. Perlahan, mobil mewah itu melaju meninggalkan rumah sakit.

"Ada tempat yang ingin di tuju lagi, Nyonya?" tanya sopir itu.

"Kemana ya?" gumam Viana dengan jari yang mengetuk kursi penumpang yang ada di depannya. Gadis itu menoleh ke arah Abimana yang tampak anteng menatap ke arah jalan. "Abi, kamu punya saran yang bagus?" lanjutnya bertanya.

Pria yang di tanya itu sontak menoleh dan menggeleng pelan. "Tidak, sayang. Bagaimana jika kita langsung pulang saja?" usul Abimana.

Viana menggeleng pelan. "Tidak, itu ide yang buruk karena aku masih ingin jalan-jalan."

"Kalau begitu terserah kamu saja," ucap Abimana.

"Aku ada ide. Bagaimana kalo kita ke Mall saja?" tanya Viana.

"Sudahku bilang, terserah kamu, Sayang," sahut Abimana.

"Baiklah kalau begitu." Viana kembali menoleh ke arah depan. "Antar kami ke Mall terdekat, ya!" pinta Viana.

Sopir itu melirik majikannya melalui kaca spion, kemudian mengangguk pelan. "Baik, Nyonya."

Setelah mengucapkan itu, mobil langsung berbelok ke jalan yang berbeda dengan arah mansion. Tentu saja berbeda, pusat perbelanjaan modern masuk ke dalam area perkotaan sedangkan mansion Abimana ada di bagian pinggir perkotaan.

Perjalanan menjadi hening dengan Viana dan Abimana fokus memandang keluar jendela yang terlihat silih berganti, dimulai dari pemandangan perumahan, pepohonan sampai gedung-gedung perusahaan. Sedangkan sang sopir hanya memandang lurus ke depan, fokus ke arah jalanan.

Hingga akhirnya, setelah menempuh perjalanan dengan kurun waktu kurang lebih tiga puluh menit, mobil mewah tersebut memasuki area pusat perbelanjaan yang cukup besar. Pengawal yang mengendalikan setir, dengan telaten memarkirkan mobil di parkiran pusat perbelanjaan itu.

"Kamu mau membeli sesuatu?" tanya Abimana.

"Tidak tahu. Aku masih belum menentukan ingin beli apa. Lebih baik kita turun sekarang!" seru Viana.

"Kita?" beo Abimana.

Viana mengangguk sembari tersenyum. "Iya. Aku dan kamu. Kita akan berbelanja berbagai kebutuhan. Oh, bagaimana kalau kita membeli baju couple?" usulnya dengan riang, tanpa menyadari perubahan raut wajah sang suami. "Pengawal, bantu suamiku turun!" titah Viana.

"Baik Nyonya." Pengawal itu keluar dari mobil, mengambil kursi roda yang tadi ia simpan di bagasi kemudian membuka pintu penumpang belakang.

"Tidak, aku di sini saja," tolak Abimana saat pengawal itu ingin memapahnya.

Dahi Viana mengerut. "Kenapa?"

"Sayang..." Abimana menghela napas. Ia meraih tangan Viana seraya mengusap tangan itu dengan pelan. "Kamu lihat aku ini lumpuh?"

"Memang kenapa kalo kamu lumpuh?" tanya Viana.

"Kamu tidak lihat di sini sangat ramai? Bagaimana kalau kamu di gunjing karena membawaku. Apakah kamu tidak ma-"

"Jangan katakan itu!" sela Viana sembari menatap tajam sang suami. "Jangan pernah bilang aku akan malu memiliki suami sepertimu. Lagi pula kamu itu tampan. Dan, untuk apa peduli omongan para manusia-manusia di sini? Memangnya kita makan dari mereka?"

"Tapi, tetap saja, aku tidak mau kamu malu..." lirih Abimana.

Lekas saja Viana melepas tautan tangan mereka kemudian memeluk tubuh besar milik suaminya. "Stt... Sudah aku bilang, aku tidak peduli. Jangan pernah mengatakan itu lagi," bisiknya tepat di telinga sang suami.

Sejujurnya Abimana tidak ingin berpikiran seperti itu. Tetapi karena kejadian serupa yang terjadi di masa lampau, membuat pria itu menjadi berpikiran demikian. Dahulu, ketika di umur yang ke-15 tahun, Abimana pernah di ajak ke perusahaan milik Ayahnya untuk menemani pria paruh baya itu meeting bersama kliennya.

Awalnya pembicaraan mereka terdengar normal dan Abimana yang saat itu sudah menginjak bangku SMA, sesekali menimpali percakapan. Tetapi, pembicaraan itu berubah menjadi sensitif kala seorang klien menyinggung masalah kakinya yang lumpuh. Mulai dari sana, acara hina-menghina dimulai yang membuat Abimana benar-benar drop ditambah setelah pertemuan itu selesai, Arion--ayahnya--turut menghinanya.

"Saya menyesal membawa kamu, kamu membuat saya malu dasar pembunuh."

Ucapan itu terngiang-ngiang di kepala Abimana sehingga tanpa sadar meninggalkan luka membekas yang membentuk sebuah trauma ringan di hatinya.

"Abi, ayo turun. Jangan pikirkan omongan mereka. Jadilah diri kamu sendiri. Kamu adalah kamu dan mereka adalah mereka. Jadi ayo kita ke mall." Suara riang dari Viana memecah lamunan Abimana.

Pria itu tersadar dan menatap Viana yang telah melepas pelukannya. Abimana hanya mengangguk pelan. Setidaknya ia akan mulai mencoba menghilangkan rasa takut yang membekas di hatinya. "Baiklah," ucapnya pasrah.

Viana tersenyum lebar. "Ayo pengawal, bantu kami!"

TBC.

Happy 1jt Views. Mau double up? Boleh. Aku tunggu votenya 1k ya.

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang