Berniat untuk memperingatkan mereka dengan nada sinis, tetapi para pelayan justru benar-benar tertawa. Hal tersebut mampu membuat Leon semakin kesal. "Berhenti tertawa, atau kalian akan saya pecat!"
Seketika para pelayan menghentikan tawa mereka tetapi tidak dengan Viana. Ia masih saja tertawa bahkan gadis itu sudah terduduk dilantai lantaran tidak kuat lagi menopang tubuhnya sendiri akibat terlalu banyak tertawa.
"Viana, kakak tidak akan mengajarimu," ujar Leon dingin.
Viana yang sedang tertawa sontak terhenti dengan mata melotot. Ia bangkit sembari menepuk-nepuk pakaian yang ia kenakan. "Hei kakak, tidak bisa begitu," protesnya.
Jelas saja ia tidak terima. Memangnya salah jika dia tertawa karena melihat sebuah kelucuan? Ia juga yakin, jika Leon melihat sesuatu yang menggelitik perut pasti akan tertawa.
"Terserah." Leon berbalik kemudian dengan kaki yang pincang, ia berjalan menaiki tangga. Sesekali ia meringis karena kakinya terasa berdenyut.
Viana menggigit jari tangannya panik. Ia takut jika sang kakak benar-benar tidak ingin mengajarinya. "Aduh, bagaimana ini." Gadis itu memandang punggung kakaknya yang saat ini sudah berada di lantai dua.
Viana sengaja tidak mengejar kakaknya, karena tahu kalau kakaknya itu sedang kesal. Jika dia terus-terusan memaksa, tidak menjamin bahwa sang kakak hanya bercanda dengan ucapannya.
"Kak-" Belum sempat Viana menyelesaikan ucapannya, pintu kamar itu sudah ditutup dengan keras oleh Leon.
Perasaan Viana semakin panik. Otaknya mencoba berpikir untuk jalan keluar yang bagus agar sang kakak mau menarik kembali ucapannya. Beberapa saat berpikir, sebuah ide cemerlang berhasil ia dapatkan. Gadis itu berbalik menatap seorang pelayan.
"Apakah di rumah ada batu es?" tanyanya.
"Ada, Nyonya. Mau saya ambilkan?"
"Tolong ya, Mbak. Es batu sama kain kecil sekalian."
"Baik Nyonya, tunggu sebentar." Pelayan itu berlalu pergi ke dapur untuk mengambil batu es, setelah melihat anggukan dari Viana.
Sembari menunggu, Viana memutuskan untuk mendudukkan bokongnya di sofa yang ada di sana kemudian mengambil ponsel keluaran terbaru dari kantong hoodie miliknya. Tidak ada yang spesial dari ponsel yang ia pegang saat ini, karena isinya sangat kosong lantaran baru dibeli.
Sebenarnya ia mendapatkan ponsel itu dari laci nakas yang ada di bawah laci tempat ia mengambil laptop. Setelah tadi malam bertanya dengan seorang pelayan, ponsel dan laptop itu ternyata memang diperuntukkan untuknya sedangkan ponsel lama miliknya sudah dibuang.
Awalnya Viana marah, karena nomor ponselnya ada di sana beserta dengan sosial media lain. Tetapi lama-kelamaan ia bersikap tak acuh, lagi pula nomor serta sosial media itu milik Viana bukan milik Diana.
Lama jari-jari itu berkutat di layar ponsel, akhirnya pelayan yang tadi diperintahkan Viana kembali dengan sebuah ember kecil serta selembar kain.
"Nyonya, ini es batu sama kainnya."
Viana mendongak menatap sang pelayan. Ia tersenyum tipis dengan tangan terulur, menerima apa yang ia minta tadi. "Terima kasih."
"Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu saya permisi," pamit pelayan itu.
"Silakan."
Viana meletakkan mangkuk kecil es dan kain itu di atas meja. Ia membentang kain kecil itu menjadi lebar kemudian meletakkan es batu di tengah-tengah. Selanjutnya, Viana melipat kain itu sehingga batu esnya sudah berada di dalam kain.
Ia kemudian membawa kain itu ke lantai atas, menuju kamar kakaknya. Saat tiba di depan pintu, Viana dengan ragu mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu itu. Tetapi pada ketukan pertama, gadis itu sama sekali tidak mendengar sahutan, begitu pun dengan ketukan kedua hingga keempat. Akhirnya, gadis itu berinisiatif membuka pintu kamar sang kakak terlebih dahulu.
"Kakak," panggil Viana kecil, sembari menyembulkan kepalanya.
Netra cokelat gelap itu menatap suasana kamar itu yang terlihat manly. Hingga akhirnya tatapan itu terpaku pada sesosok tubuh yang sedang berbaring di atas ranjang dengan mata tertutup serta kedua kaki menjuntai ke lantai.
Perlahan, Viana membuka lebar pintu kamar itu kemudian melangkah masuk. Ia mendekati tubuh sang kakak yang terlihat sedang terlelap namun dari ekspresi wajahnya, Viana sangat tahu jika sang kakak sedang menahan sakit.
Perlahan, Viana berlutut kemudian menyingkap celana panjang milik sang kakak hingga ke lutut. Ringisan keluar dari bibir Leon ketika Viana menyentuh lebam kebiruan pada kakinya.
"Kakak, bangun dulu," Viana mengguncang pelan paha sang kakak membuat mata berwarna senada dengan milik Viana itu terbuka.
"Hmm, ada apa," jawab Leon dengan diakhiri ringisan.
"Perbaiki tidurnya, kak! Biar aku obati," pinta Viana.
Dengan patuh, Leon mendudukkan memperbaiki posisinya. Kedua kaki yang tadi menggantung ia rebahkan di atas kasur. Merasa jika sang kakak sudah siap, Viana mengambil kain berisi batu es kemudian mengompresnya di kaki sang kakak.
"Tahan ya, kak."
"Shh, sakit Viana, pelan-pelan," ringis Leon.
"Tahan sebentar, nanti bakal enakkan kok," ujar Viana.
"Memangnya mengompres lebam menggunakan sesuatu yang dingin? Bukannya air hangat?"
Mendengar ucapan sang kakak, seketika Viana menekan luka lebam itu. "Mengompres itu pakai air dingin, kalau pakai air hangat nanti malah bengkak."
"Aduh, iya-iya. Pelan-pelan, jangan ditekan, itu sakit!"
Viana cengengesan. Ia menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. "Maaf. Lagian kakak juga dokter masa hal sekecil itu aja tidak tahu."
"Kakak tahu, cuma tadi main-main saja buat mengetes kamu," elak Leon. Sebenarnya ia memang mengetahui hal tersebut, hanya saja dia ingin bermain-main dengan sang adik.
TBC.
Vote ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)
FanfictionDiana Anggita Dwitama, gadis dengan kondisi tubuh sakit-sakitan bahkan untuk berjalan saja dia kesulitan. Kecewa pada diri sendiri ditambah dengan kedua orang tua serta saudaranya sudah tidak peduli lagi, Diana akhirnya memutuskan untuk mengakhiri s...