Suasana bandara Juanda sore ini tidak seramai sebelumnya ketika Gendis berangkat ke Makassar. Lima hari dia meninggalkan Surabaya, lebih tepatnya dua hari di Makassar dan tiga hari di Mataram. Urusan pekerjaan telah selesai, berbagai analisa sudah dilakukan dan kesimpulan yang diperoleh adalah tetap dilakukan penarikan produk dari market dan perusahaan dipastikan mengalami kerugian.
Doni sebagai plant manager sudah memberi tahu sebelumnya bahwa kabar buruk akan secepatnya diterima oleh Gendis, dan memang benar, satu jam sebelum pesawat take off, Gendis menerima e-mail tentang surat peringatan tingkat dua untuknya dan tiga bulan pemotongan gaji. Resiko pekerjaan, apa pun jenis pekerjaan yang dilakukan jika berkaitan dengan kerugian akan ada sebab dan akibat yang diterima. Jika boleh mengutip ucapan Winie The Pooh pada salah satu episode serialnya, ‘life is a journey to be experienced, not a problem to be solved’'. Hanya itu yang dapat Gendis pikirkan untuk menghibur dirinya sendiri.
Sebuah telepon masuk dari nomor tidak dikenal tepat saat Gendis keluar dari pintu kedatangan dan mode pesawat pada ponsel baru saja di-non aktifkan.
“Gendis ... ini Mama,” ucap seorang wanita setelah Gendis menyapa dengan kata ‘halo’ dan menanyakan identitas si penelepon.
Gendis menghentikan langkah, kakinya terasa kaku untuk digerakkan, tangan kanannya yang sedang memegang ponsel bergetar. Gendis tidak memberi jawaban.
“Gendis masih di Surabaya, kan? Mama pengin ketemu Gendis, bisa?” tanya Ajeng–mama gendis–dengan terbata dan embusan napas panjang sebelumnya.
Kaki Gendis seakan terpaku pada lantai bandara, tatapan matanya kosong dan tidak lama terasa panas. Gendis kehilangan kata, mulutnya bisu seketika karena kerongkongan yang tercekat enggan mengeluarkan suara. Gendis mematikan sambungan telepon dengan cepat, tanpa sadar air mata sudah membasahi pipinya, menetes satu per satu walau Gendis tidak menginginkannya.
“Dis, gue pulang du―” Ganda yang bermaksud berpamitan, menyadari kalau rekan kerjanya sudah tidak berjalan di sampingnya, dia menoleh dan betapa terkejutnya dia saat mendapati Gendis sudah bersimpuh di lantai bandara sambil menangkupkan wajah di antara telapak tangan.
“Dis ....” panggil Ganda dengan suara melunak lalu berjongkok di depan perempuan itu dan menepuk bahunya pelan. Ganda menunggu karena dia tahu bahwa itu tidak akan membuat Gendis segera menjawab panggilannya.
“Pindah ke kursi dulu, deh, jangan di sini kalau nangis. Malu diliatin orang,” bisik Ganda yang sebenarnya juga kebingungan karena Gendis menangis tiba-tiba, padahal beberapa menit lalu perempuan itu baik-baik saja hingga turun dari pesawat. Tiga puluh detik kemudian ketika Gendis sudah meredakan tangisnya, dia berdiri sambil mengusap pipi.
Ganda baru akan membantu menarik koper, tapi tangan Gendis segera menepisnya. “Aku pulang dulu,” pamit perempuan dengan rambut sebahu itu setelah beranjak dan berjalan dengan langkah cepat seolah tidak terjadi apa pun sebelumnya, meninggalkan Ganda yang masih kebingungan sambil berdecak pelan karena melihat sikap Gendis yang berubah setiap menit.
Petang di Surabaya, tidak berarti penduduknya menghentikan kegiatan mereka, di antara musik yang mengalun dalam sebuah bangunan justru membuat situasi makin ramai dengan banyaknya orang yang datang, walaupun jam telah menunjukkan tengah malam.
Gendis masih menggunakan pakaian yang sama, mengambil duduk di bangku bar panjang di depan salah satu bartender yang dia kenal dan tampak sedang tidak sibuk melayani pesanan. “Mas, one glass dry martini pakai beefeater, twist, straight up,” ucapnya seraya mengangkat telunjuk kanan. Jika kebanyakan perempuan akan memilih cocktail atau margarita yang rasanya lebih ringan, Gendis justru lebih memilih martini ketika di bar.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
ChickLitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...