Gendis lupa kapan terakhir kali dia sarapan bersama keluarga. Sepertinya, setengah tahun yang lalu saat lebaran tiba, itu pun minus kehadiran sang mama. Kini, di depannya Ganda tengah duduk setelah menyiapkan sarapan yang berkali-kali disebut "ala kadar" olehnya. Namun, bagi Gendis sarapan pagi ini istimewa.
"Kamu masak?" tanya Gendis ketika melihat salah satu meja kafe terisi beberapa piring. Sambal pecel lengkap dengan sayur bayam, tauge, kacang panjang yang sudah direbus, timun yang dicacah kecil, kemangi, tempe dan tahu goreng, telur dadar yang dicampur sedikit tepung dan wortel, ikan mujair, dan setoples rempeyek ebi.
"Aku cuma nemu ini di kulkas, seadanya, Dis. Kalau kamu enggak cocok, enggak apa-apa skip sarapan aja," kata Ganda sambil mengambil nasi panas yang masih mengepul.
Gendis menyatukan alis sejenak. "Wah, menghina kamu. Ini sih, favoritku, Nda."
Ganda berhenti menyendok nasi, "Beneran? Makan yang banyak deh," sahutnya setengah tertawa tidak percaya. "Ini sambal pecelnya asli Madiun lho, Dis," kata Ganda membanggakan masakannya. Sambal pecelnya memang terlihat menggiurkan, tidak terlalu kental ataupun terlalu encer, remahan kacang dan cabainya juga melimpah.
"Beli di mana?"
"Enggak tahu tuh, dibawain ibu dari rumah."
"Ibu kamu tinggal di Madiun?"
"Enggak, deket kok. Mungkin sejam lah kalau dari sini."
Gendis mulai menyendok suapan pertamanya. "Ini sih, enak beneran, Nda. Beda sama nasi pecel yang biasa aku beli di pinggir jalan," ucapnya dengan mata berbinar dan mengunyah sisa nasi di mulutnya.
Ganda tertawa, "Besok kalau aku pulang, aku pesenin ke Ibu deh, biar kamu bisa masak sendiri."
Gendis mengerutkan dahi. "'Aku'? 'Kamu'?"
"Kenapa? Aku, saya, gue, kamu, lo, sama aja kali, Dis."
"Nah, itu. Kenapa tiba-tiba jadi 'aku-kamu' bukan 'gue-lo' kayak biasanya?"
"Perlu dibahas sekarang?"
Gendis mengedikkan bahu. "Terserah."
"Ya, karena aku merasa enggak perlu membuat batasan lagi sama kamu," terang Ganda setelah selesai mengunyah.
"Maksudnya? Bentar, gimana maksud kamu? Batasan? Dalam hal?" cecar Gendis sambil mengarahkan telapak tangan ke arah Ganda, dahinya sudah berkerut berlapis.
"Bukannya kamu dulu pernah tanya, kenapa aku yang udah stay di Surabaya dua tahun lebih masih pake 'gue-lo'? Kamu kira aku sok, kan karena dulu pernah tinggal di Jakarta?"
Gendis mengangguk lagi. Benar, dulu Gendis merasa Ganda ini terlalu sombong dengan gaya ala anak ibu kota dan membuatnya muak saat awal kenal, padahal di Kota Pahlawan ini terkenal dengan logat medok.
Ganda tertawa, "Aku cuma mau buat batasan aja, Dis. Selain karena ayahku Betawi, sejak aku tinggal di Jakarta, aku merasa bahasa gue-lo sudah cukup mengisyaratkan bahwa kita adalah teman."
"Terus kalau 'aku-kamu'?"
"Lebih dari teman."
Gendis menggigit bibir, menatap piring di depannya yang masih ada separuh nasi dan lauknya. Ganda sendiri sudah meletakkan sendok sejak tadi, memandang Gendis dengan raut wajah serius.
"Will you try, Dis? Give me a chance. If it turns out you can't be with me, then there is no need to continue. At least, we tried."
"There's no such thing as trying in a relationship."
"Dis, jujur sama aku. Don't we feel the same?" tanya Gandadengan nada percaya diri. "Look at me, Dis." Pria itu mempertegas bicaranya karena Gendis tidak merespon dan justru menunduk menatap keramik.
Gendis mendongakkan kepala, menatap mata Ganda yang baginya kini meneduhkan, melindungi dan menenangkan. Satu lagi yang Gendis rasakan akhir-akhir ini, menggoda.
"Sebenarnya aku juga tidak mau ada kata 'try' di sini. Tapi melihatmu ragu, aku pengin kamu kasih kesempatan untuk kita, Dis."
"Don't you feel for me too easy and fast?"
"No, I don't. Kamu enggak tahu, berapa lama aku menyangkal perasaan ini, tidak menghiraukannya, aku anggap seperti angin lalu, tapi enggak bisa. Membohongi perasaan itu sulit, Dis. Dan aku enggak mau menyulitkan diriku sendiri."
"I don't want to waste my time if this relationship fails."
"Me too. At least I do my best. Kamu tahu berapa usiaku, kan, Dis? Menurutmu apa masih tersirat untuk 'bermain' di usiaku yang sekarang?" Ganda menekankan kata bermain di ucapannya demi membuat Gendis yakin.
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Gendis dan Ganda sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak ada denting suara sendok yang beradu dengan piring lagi, sepagi ini mereka harus membicarakan tentang hubungan antara dua manusia yang belum dapat diambil kesimpulannya.
Hingga lima menit kemudian. "I'm willing to try it." Gendis memandang Ganda yang sejak tadi tidak melepas penglihatannya sedikit pun darinya. Suara Gendis terdengar datar, tapi tidak dingin. Ada sepercik harapan dan usaha untuk mengatakannya.
"And it means ...?" tanya Ganda hati-hati dan memastikan, raut wajahnya berubah seolah mendapat kebahagiaan yang bertubi.
"I will try to have a relationship with you," ulang Gendis dengan kalimat yang lebih jelas.
"Are you sure, Dis?" Ganda tersenyum memperlihatkan dua lesung pipi, alis tebalnya terangkat karena matanya yang terbuka sempurna. Di mata Gendis, Ganda terlihat sangat tampan pagi ini.
"Yah, I am." Gendis tersenyum tulus.
Ganda mengulurkan tangannya di atas meja, Gendis menyambutnya dengan senyuman. Digenggamnya tangan Gendis di pagi hari yang cerah ini ketika mereka tengah sarapan bersama, diusapnya beberapa kali.
"I will do my best for you," ucap Ganda yang belum bisa berhenti tersenyum.
"Ofcourse, you have to do your best and I will also do the same." Gendis membalas senyum, hatinya terasa ringan, jantungnya berdegup kencang. Ganda benar, setidaknya mereka mau dan telah mencoba. Jika tidak, Gendis tidak akan pernah tahu bagaimana perjalanan dari hubungan mereka.
Tentang kepercayaan, Gendis sendiri sedang berusaha untuk mengurangi kadar trust issues-nya kepada seseorang. Tidak ada yang salah dengan membangun pertahanan dan bersikap waspada, tapi itu akan menjadi salah jika dia tidak mau membuka hati untuk seseorang yang baru.
Kehidupan masih terus bergulir, meninggalkan kisah manis, luka maupun kenangan yang terpatri di pikiran sekaligus hati. Tinggal bagaimana dan dengan siapa Gendis akan mengisi kisahnya. Sudah saatnya memandang ke depan, menoleh cukup sebentar sebagai tanda dan batasan agar diri lebih berhati-hati.
"Thank you for the chance, Dis. I know it's not easy for you," kata Ganda.
Gendis mengangguk. Mereka hening kembali, menikmati momen kebersamaan tanpa adu mulut seperti biasanya. Sekiranya ada seseorang lewat dan melihat mereka, orang tersebut akan tahu bahwa mereka tengah jatuh cinta. Tanpa ucapan, sorot mata sudah dapat menjelaskan semuanya.
"Em, aku ... boleh makan lagi, Nda?" tanya Gendis malu-malu.
"Ya ampun, sorry, sorry, Dis. Lanjutin deh sarapannya." Ganda melepaskan genggamannya, mempersilakan Gendis untuk melanjutkan makan paginya yang tertunda.
"Mau disuapin, Sayang?" goda Ganda.
Gendis melirik, lalu dengan mulut yang sedang mengunyah sedikit makanan dia berkata, "Stop it! Don't call me 'sayang'!" protes Gendis tidak suka.
"Oke. How about Honey?" tanya Ganda yang belum mau berhenti menggoda wanita di depannya.
Gendis melempar setumpuk tisu dengan kesal ke arah Ganda yang kini tertawa puas. "Umur tua, tapi kelakuan remaja," decaknya sebal.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
ChickLitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...