Ganda melongo melihat Gendis turun dari mobil Abi yang berhenti di depan kafe. Kedua tangannya menyeret koper, sedangkan Abi menurunkan beberapa box mulai berukuran sedang hingga besar. Ganda menghampiri Abi dan membantunya menurunkan barang dari bagasi.
Setelah semua diletakkan secara darurat di teras kafe, Abi baru angkat bicara. "Nda, titip Gendis sehari atau dua hari selagi dia cari sewa rumah atau apartemen," ucap Abi tanpa basa-basi. Mereka telah berkenalan sebelumnya, saat Abi menjemput Gendis sebelumnya.
Ganda memandang Gendis penuh tanya. Perempuan itu seolah paham apa yang ingin ditanyakan oleh Ganda, segera menimpali, "Aku ... keluar dari rumah Papa."
Ganda mengangkat alisnya. "Lalu, masalah dengan papamu kemarin?"
"Gendis belum mau bicara sama Papa, kebetulan Papa juga lagi enggak di rumah sekarang."
Ketiganya berdiri mematung di depan kafe. Ganda masih terlihat bingung. "Dan lo ngizinin Gendis keluar dari rumah gitu aja?" tanya Ganda menatap Abi dengan raut wajah tidak mengerti, mungkin menurutnya ini bukan jalan keluar yang terbaik.
Abi menarik kursi berbahan stainless lalu duduk di sana sambil menyalakan sebatang rokok. Ganda memanggil dua pegawainya yang tengah sibuk membersihkan kafe karena hampir mendekati jam tutup. Keduanya diminta untuk membantu Gendis memindahkan barang ke lantai dua.
Ganda mengambil duduk di seberang Abi lalu ikut menarik rokok dari kotak dan mengarahkan pemantik ke ujungnya.
"Aku juga enggak mengizinkan Gendis pergi begitu aja dari rumah. Setelah Papa pulang, kita bertiga baru akan bicara tentang masalah ini," ucap Abi.
"Gendis ... dari dulu kayak gini? Lari dari masalah?" tanya Ganda hati-hati.
Abi mengangguk. "Dia selalu merasa pikirannya penuh dan butuh pelampiasan. Gendis juga gampang berasumsi, sebelum dia melihat atau mendengar sendiri, dia akan terus membuat penilaian yang belum terjawab di kepalanya. Dia enggak mudah percaya sama orang lain."
"Gue tahu itu," sahut Ganda.
"Aku udah bilang ke dia, jangan menumpuk masalah. Kalau memang pergi dari rumah sudah menjadi bagian rencana dia biar bisa nemenin Mama, aku enggak ada masalah. Tinggal bagaimana ngomong ke Papa."
"Tunggu. Gendis mau tinggal sama Bu Ajeng?"
Abi mengangguk lagi karena mulutnya sedang mengisap rokok. "Tapi enggak sekarang," jawab Abi setelah melepas asap rokok ke sembarang arah.
"Gue sempet nawarin dia ke psikolog."
Abi membuka lebar matanya ketika mendengar ucapan Ganda. "Dan dia mau?"
"Masih gue bujuk biar Gendis mau."
"Tolong bujuk dia terus agar ada perkembangan bagus, Nda."
"Pasti." Ganda mengetukkan ujung rokok ke asbak. Kafe sepi tanpa pengunjung di jam sebelas malam ini dan satu jam lagi mereka tutup. Angin Surabaya tidak pernah dingin, tapi lebih kencang ketika malam hari karena di dekat pesisir.
"Sebenarnya Gendis itu rapuh banget hatinya, tapi berusaha terlihat kuat. Sering overthinking, segala macam hal sepele dia pikirin, bahkan kenapa orang tua kita bercerai sampai sekarang juga masih ada dalam pikirannya. Akibatnya dia merasa orang tua kita bercerai karena dia."
Keduanya hening cukup lama. Gendis belum kembali dari lantai dua, sepertinya dia tengah membersihkan diri dan membereskan barang-barangnya agar tidak memenuhi rumah Ganda di lantaai dua yang sempit. Batang rokok Abi sudah habis, Ganda sendiri masih memegang seperempatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
Chick-LitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...