Gendis merasa sudah terlalu lama tidak jalan-jalan sendirian. Dulu hal semacam ini sering dia lakukan. Mengelilingi mall seorang diri, berhenti dari satu toko ke toko yang lain, makan yang dia inginkan tanpa harus berdebat dengan satu orang lagi dan menurutnya semua itu menyenangkan.
Hari libur ini bertepatan dengan H-3 sebelum dia benar-benar meninggalkan Three Mountains. Tiga hari lagi, dia tidak perlu berangkat kerja, tidak perlu mengecek setumpuk laporan setiap pagi, melakukan briefing staff setiap sore dan yang paling penting Gendis tidak perlu lagi mendengar ocehan Deril yang menurutnya terkadang useless.
Gendis menghentikan langkah ketika di depan sebuah toko perhiasan yang sedang menampilkan produk emas putihnya yang berkilauan. Seharusnya Gendis mengajak Ajeng untuk membantunya memilih perhiasan. Gendis bukan tipikal wanita yang hobi menggunakan barang berkilauan selain anting, tapi kali ini dia ingin membelinya sebagai hadiah perayaan bahwa dia akan keluar dari zona merah di hidupnya.
Cincin mungil yang pas dengan jari manisnya dihiasi satu mata berlian cantik menarik perhatiannya begitu matanya menelusuri etalase toko lalu dicobanya dan tampak menyatu dengan tangannya yang berkulit putih. Namun, sepertinya membeli cincin untuk saat ini menurutnya bukanlah momen yang tepat. Gendis menyerahkannya kembali pada pramuniaga, berharap esok ketika dia ke toko perhiasa itu lagi, cincin pilihannya masih ada.
Matanya kembali meneliti perhiasan lain, ada satu perhiasan yang ingin dipakainya sejak dulu, tapi karena pekerjaan sebagai quality control tidak mengizinkan dia menggunakannya apalagi jika sedang berada di plant.
Sebuah gelang tanpa aksen apapun, tapi cukup terlihat cantik karena model rantainya yang berbeda dari gelang kebanyakan. Gendis memutuskan untuk membeli benda yang belum pernah dipakainya itu.
Tiba-tiba dia mendengar suara tidak asing di belakangnya memasuki toko perhiasan. Jika dulu yang dia temui di toko jam tangan adalah sebuah kebenaran baru tentang Agung yang ternyata telah memiliki seorang kekasih, kini Gendis memperoleh kebenaran yang lain.
Ganda, Adine dan Woro yang baru sekali ditemuinya. "Lho, Gendis ya?" tanya Woro yang juga sama terkejutnya begitu melihat Gendis sedang menoleh ke arah pintu.
"I-iya, Bu." Gendis menghampiri Woro dan meraih tangan ibu Ganda itu. "Kenapa mereka bertiga mengunjungi toko perhiasan?" batin Gendis berkecamuk. Jantungnya berdegup kencang, seharusnya ini bukan perasaan cemburu karena dia sudah menolak untuk kembali bersama Ganda.
"Kak, bisa dibantu pembayarannya?" ucap seorang pramuniaga yang berdiri di balik mesin kasir.
Gendis segera melakukan transaksi dengan cepat, melihat mereka membuatnya berpikir ke mana-mana dan ... ingin menangis tentunya. Setelah selesai membayar, Gendis buru-buru berpamitan pada Woro walaupun Woro berulang kali menyuruhnya untuk tetap bersama mereka.
Tanpa menyapa Ganda dan Adine, Gendis keluar toko sambil setengah berlari. "Toilet, toilet, toilet," gumamnya menerobos kerumunan pengunjung mall yang lebih ramai saat weekend.
Sebuah tangan menghentikannya dari belakang, Gendis menoleh seketika. Dilihatnya Adine berdiri sambil tersenyum canggung.
"Ndis," panggilnya lirih dan menuntun tangan Gendis ke pinggir agar tidak mengganggu jalannya pengunjung lain.
Dahi Gendis membentuk lipatan begitu dia tahu siapa yang tengah mencengkeram lengannya.
"Bisa ngobrol sebentar?" tanya Adine ramah. Tidak ketus seperti biasanya.
"Ada apa?" Gendis menepis tangan Adine.
"Aku ... perlu ngomong sesuatu."
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
Chick-LitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...