Faris mengetuk kaca jendela. Ganda keluar bermaksud menyapa, tapi tidak dihiraukan.
"Ndis, pulang!" sentak Faris setelah mengetuk kaca kursi penumpang berkali-kali, tapi Gendis tidak bergerak dari kursi. Faris beralih ke kenop pintu lalu membukanya, Gendis tetap tidak terpengaruh.
Ganda memperhatikan anak dan ayah ini seperti adegan dalam sinetron yang biasa ditonton oleh ibunya tiap malam.
"Ndis, pulang! Kita perlu bicara di rumah!" suruh Faris masih dengan meninggikan suara. Beberapa orang yang melewati mereka menoleh karena menarik perhatian.
"Bicara apa, Pa? Bukannya selama ini Papa benci bicara sama aku dan Mas Abi?" ucap Gendis ringan sambil memandang Faris.
"Cukup ya, Ndis! Kamu bukan anak kecil lagi!"
"Lho, memangnya siapa yang bilang kalau aku anak kecil, Pa?" tanya Gendis dengan nada sarkastis.
Ganda jadi teringat salah satu tokoh animasi anak kecil lak-laki dengan sepeda yang biasa ditonton keponakannya saat pagi hari dan selalu menyatakan bahwa dirinya bukan anak kecil. Persis seperti yang dikatakan Gendis baru saja. Ini menggelikan.
"Papa tahu, malam ini aku menemukan sesuatu yang mengubah sudut pandangku. Aku tadi bertemu Mama dan baru kali ini aku melihat Mama enggak berdaya. Ribuan kali Mama minta maaf ke aku, tapi selama ini dengan bodohnya aku tidak pernah menghiraukan Mama." Suara Gendis parau setiap membahas sang mama.
"Dulu, aku berpihak pada Papa karena waktu itu aku sakit hati ditinggal Mama begitu saja dan seharusnya Mama hidup lebih baik saat kembali, tapi nyatanya enggak, Pa. Hidup Mama enggak pernah baik sejak bertemu Papa," ucap Gendis yang masih duduk di kursi penumpang tanpa menoleh ke arah Faris yang berdiri di samping pintu.
Faris mengembuskan napas panjang. "Sekarang mau kamu bagaimana?"
Gendis keluar dan berdiri di hadapan Faris karena makin gusar dengan sikap Faris. "Aku mau menemani Mama sampai Mama sembuh dan kami tinggal bersama. Aku pengin lepas dari Papa, karena aku baru sadar ternyata hidup sama Papa jauh lebih sulit."
Ganda seolah saksi di antara ironi keluarga ini. Dia menyaksikan semua di depan matanya seakan itu sudah bukan lagi privasi, situasinya sangat canggung. Cangkang keras milik Gendis selama ini telah hancur dan memperlihatkan seluruh isinya.
"Sekarang, pulang, Ndis." Hanya itu yang Faris ucapkan setelah Gendis menumpahkan semuanya. Kali ini suaranya lebih rendah dan lembut, seperti seseorang yang tidak ingin kehilangan orang yang dicintainya.
"Aku enggak bisa pulang ke rumah Papa lagi."
"Cuma kamu sama Abi yang papa punya."
"Lalu wanita tadi? Satu wanita yang tidak sengaja berpapasan malam ini dan ada wanita-wanita lain dalam hidup Papa yang setiap malamnya berbeda? Menjijikkan."
PLAKK!!
Ganda terkejut karena sebuah tamparan keras mendarat di pipi Gendis meninggalkan bekas merah karena kulitnya yang terlampau putih. Gendis tidak mengaduh, wajahnya menghadap ke kanan memandang aspal yang malam ini tampak lebih hitam pekat dari biasanya padahal jalan raya ini tidak pernah terlihat diperbaiki.
"Om, bisa kita lanjutkan pembicaraan ini di tempat lain? Di sini banyak orang yang lihat," ucap Ganda menyadarkan Faris yang sudah terlalu diselimuti amarah.
Faris bergeming kemudian kembali ke mobilnya tanpa bicara.
Dada Gendis terlihat naik-turun karena napasnya yang tidak teratur, dia sedang menahan diri untuk tidak lebih marah apalagi menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
ChickLitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...