Ponsel Gendis berdering berkali-kali, tapi pemiliknya masih terlelap dibalik selimut.
"Gendis, ada telepon," ucap Ajeng sambil menepuk bahu putrinya agar segera membuka mata.
Gendis yang merasa tubuhnya terguncang karena sebuah tepukan lembut mau tidak mau terbangun lalu meraih ponsel yang diberikan Ajeng padanya.
"Halo," jawab Gendis dengan malas sambil tiduran. Ponselnya dia letakkan di samping telinga tanpa.
"Kamu dimana, Dis? Aku di depan rumahmu, dari tadi aku pencet bel, tapi kamu enggak muncul. Nginep dimana?" Ganda mencecar Gendis dengan pertanyaan begitu teleponnya tersambung.
"Aku? Aku di rumah Mama. Kamu ngapain di depan rumahku pagi-pagi?"
"Mau ajak kamu sarapan bareng. Eh bentar, kamu dimana, Dis?" Ganda mengulang pertanyaannya.
Gendis menegakkan punggungnya agar suaranya lebih jelas. "Di rumah Mama, Nda. Kamu mau ke sini? Aku kirim alamatnya."
"Dis, kamu ... udah bisa ngobrol sama Tante Ajeng?" Ganda bertanya dengan hati-hati.
Gendis tersenyum walaupun dia tahu bahwa Ganda tidak bisa melihatnya. "Buktinya aku bisa nginep di sini kan, jadi ya udah jauh lebih baik."
"Kamu kok enggak pernah cerita?"
"Belum lama, Nda. Baru-baru ini aja. Mau ke sini enggak?"
"Kirim alamatnya ya, Dis. Eh, tapi aku enggak ganggu waktu kamu sama Tante Ajeng, kan?"
"Bukannya dari dulu kamu udah gangguin aku terus ya?"
"Oh gitu, jadi kamu ngerasa terganggu. Oke kalau gitu. Aku pastikan bakal ganggu kamu terus seumur hidup." Ganda tertawa. "Kirim alamatnya ya, Sayang."
"Hm, bisa sakit perut pagi-pagi gara-gara denger panggilanmu," jawab Gendis dengan nada pura-pura jijik lalu segera mematikan sambungan telepon.
Satu jam kemudian Ganda benar-benar serius dengan ucapannya. Dia sudah berdiri di balik pagar rumah Ajeng. Gendis membantunya membuka pembatas rumah yang terbuat dari aluminium dengan cat hitam. Ganda mendorong motornya masuk ke halaman rumah yang asri.
"Di sini sejuk ya, Dis." Ganda melihat suasana rumah.
Gendis mengangguk setuju. "Masuk yuk," ajaknya. "Mama di dalam, Mas Abi juga katanya mau ke sini."
Hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur untuk supervisor dan manajer di Three Mountains, sedangkan staf operator mesin masih tetap berjalan tiga shift. Pengawasan produksi diserahkan kepada foreman dan koordinator shift.
Akan tetapi, jangan bayangkan hari libur Gendis dan Ganda adalah hari tanpa pekerjaan. Ponsel harus tetap diaktifkan dan respon telepon serta pesan harus cepat setiap dihubungi oleh siapa saja selama dua kali dua puluh empat jam karena kondisi mesin dan proses produksi tidak dapat diperkirakan mulus seratus persen.
"Selamat pagi, Tante," sapa Ganda begitu masuk ke rumah dan melihat Ajeng sibuk menata meja makan.
"Nak Ganda ya? Sini, kita sarapan bareng." Ajeng melambaikan tangan agar Ganda menuju meja makan.
Ganda segera meraih tangan mama Gendis yang sudah cukup dia kenal dekat untuk menyalaminya. "Padahal tadi rencananya saya mau ajak Gendis keluar cari sarapan lho, Tante. Tapi kayaknya sarapan di sini lebih nikmat dan gratis tentunya," seloroh Ganda mencairkan suasana.
"Bayar dong, sepuluh ribu per porsi," sahut Ajeng sambil tertawa.
"Lah, Tante alih pekerjaan dari auditor ke warteg nih, ceritanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
Chick-LitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...