"Jadi gimana dengan satu minggu ini, Dis?" tanya Randu sembari membaca buku konseling yang berisi tulisan Gendis. "Kalau aku baca di sini kayaknya mood swing kamu udah enggak terlalu parah ya." Randu meletakkan buku yang tadi dia pegang.
Gendis bergeming dan terlihat gelisah. Sesi konsultasi dengan Randu kali ini, dia berangkat sendiri tanpa Ganda. Masih ada banyak hal yang mengganjal di hatinya.
"Kenapa? Ada masalah yang pengin diceritain?" Randu tahu betul hanya dengan membaca raut wajah dan gerakan yang sejak tadi Gendis buat.
Gendis tampak ragu untuk membicarakannya dengan Randu. "Em ...." Dia mengalihkan pandangan ke langit-langit ruangan sambil membasahi bibir beberapa kali yang terasa kering.
"Pasti enggak kamu tulis di sini, kan." Randu mengetuk buku dengan telunjuknya. "Aku enggak akan tanya macam-macam kok, kamu bisa cerita senyamanmu atau kalau kamu pengin meminta pendapatku juga boleh."
Setelah satu menit Gendis mempertimbangkan, akhirnya dia membuka suara. "Randu, menurut kamu apa artinya masa lalu?" tanya Gendis.
"Masa lalu? Banyak sih, Dis. Karena masa lalu juga memberi impact ke kehidupan kita mendatang." Randu memberi jeda pada ucapannya. "Kalau menurutku, masa lalu intinya ada tiga poin. Pertama, masa lalu yang memberi kenangan indah jadi bikin kita bahagia saat mengingatnya. Kedua, kenangan pahit yang hanya memberi penyesalan, dan ketiga, kenangan yang enggak pengin kita ingat, tapi enggak bisa karena dia bukan termasuk kenangan indah atau kenangan pahit."
"Apa yang enggak pengin kamu ingat, Ndu?"
"Ketemu mantan yang lagi jalan sama pacar barunya."
Gendis tertawa. "Serius?"
"Aku enggak menyesal karena berpapasan dengan dia, tapi itu juga bukan kenangan indah buat diingat, kan?" kata Randu ikut tertawa.
Gendis mengangguk untuk membenarkan. "Misalnya ya, Ndu, orang yang ada di samping kamu sekarang pernah punya masa lalu yang enggak begitu baik dengan laki-laki lain sebelum mengenalmu, kamu gimana?"
"Tergantung masa lalu yang tidak begitu baik ini dalam konteks seperti apa, apakah ada dampak buruk yang dihasilkan dan mempengaruhi hubungan kami atau hanya sekedar masa lalu yang dia anggap sebagai kesalahan dan dianggap sebagai kenangan pahit. Kalau dia menganggap sebagai kenangan pahit, ya aku bakal membantu dengan menutupinya dengan kenangan yang lain."
"Kamu masih bisa menerimanya?"
"Kenapa enggak? Sebenarnya aku enggak berhak ikut campur di kehidupannya yang dulu waktu belum ada aku. Biar dia yang menyelesaikan. Aku cuma bisa lihat sejauh mana proses dan usahanya untuk berubah."
"Kamu enggak cemburu?"
"Jelas cemburu lah, itu pasti karena manusiawi. Manusia itu pada dasarnya memang serakah. Kalau sekarang aku yang sudah ada di sampingnya, terus apa aku juga harus mencari mesin waktu biar bisa kembali ke waktu yang belum ada aku di kehidupannya dulu, jadi harus ada aku? Enggak bisa. Jadi ya, aku bisa apa selain melihat masa sekarang dan masa mendatang."
"Betul juga, sih," gumam Gendis.
"Terus gimana perkembangan respon tubuhmu waktu bicara sama mama kamu, Dis?" Randu mengalihkan topik pembicaraan.
Gendis tersenyum. "Tempo hari aku ke rumah Mama kok dan sejauh ini banyak banget yang sudah bisa aku ubah."
"Bagus dong. Aku jadi enggak perlu ngerujuk kamu ke psikiater. Seneng dengernya, Dis." Raut wajah Randu tampak lega sekaligus senang.
"Tapi belum bisa bicara banyak. Ya, seenggaknya sudah enggak ada air mata yang tiba-tiba keluar, sih," ucap Gendis riang sambil memperagakan gerakan menangis dengan kedua tangannya.
Randu tertawa melihat klien di depannya itu. Saat pertama Gendis datang, dia membawa banyak masalah yang sudah dipendam lama. Menangis adalah satu hal yang sering Gendis lakukan saat sesi konsultasi. Kini, Gendis menunjukkan perubahan.
"Kenapa ketawa?" tanya Gendis mengernyit.
"Oh, enggak apa-apa. Baru kali ini aku lihat kamu lebih ekspresif." Randu menghentikan tawa.
Sepulang dari klinik, Gendis merasa kepalanya lebih ringan. Hatinya juga terasa lega setelah membuang selembar demi selembar kertas yang berisi coretan kusut tanpa ujung di dalam pikirannya. Dia berusaha berpikir rasional. Gendis teringat perkataannya pada Ganda tadi sore dan dia bersyukur bisa mengatakan itu, bukan yang lain.
Self controlling Gendis ternyata memang jauh lebih baik. Menurutnya, berpikir dahulu sebelum bertindak dan berbicara benar-benar harus dilakukan oleh semua orang agar tidak saling menyakiti dan memprovokasi.
Gendis mengeluarkan ponsel dari saku kemudian mencoba menghubungi sebuah nomor yang dia letakkan di nomor nol pada panggilan darurat. Hanya terdengar nada sambung tanpa jawaban setelah satu menit menunggu. Tumben. Biasanya si nomor nol selalu bisa menjawab panggilan telepon Gendis sesibuk apa pun dia.
Hingga keesokan hari di kantor, Gendis masi belum bisa menghubungi si nomor nol ini. "Lihat Pak Ganda enggak, Dit?" tanya Gendis pada staf quality control bernama Adit ketika dia menyerahkan laporan.
"Kemarin saya lihat Pak Ganda, Bu. Kalau hari ini belum kelihatan. Ada yang trouble, Bu?" Adit justru mengembalikan pertanyaan Gendis dengan pertanyaan.
"Enggak ada." Gendis menggeleng. "Ya sudah kembali ke plant. Oh ya, jadwal minggu depan sudah saya share di grup ya."
"Siap, Bu Gendis. Saya permisi dulu." Adit meninggalkan ruangan.
Gendis kembali gusar, dia menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Biasanya Ganda sudah datang, seharusnya Ganda sudah menganggu Gendis dengan melongokkan kepala di depan pintu ruangan supervisor QC itu.
Hingga pukul sepuluh pagi, Gendis sudah tiga kali pura-pura melewati ruangan Ganda dan mencoba membuka pintu, tapi pintunya terkunci. Pemilik ruangan belum datang sejak pagi dan Ganda tidak menjawab telepon Gendis dari semalam.
Gendis mendudukkan dirinya di kursi sambil menggulir ponsel, mencoba mencari seseorang yang bisa ditanya tentang Ganda, tapi nihil. Tidak mungkin dia bertanya ke Human Resources Department hanya untuk menanyakan kemana Ganda yang hari ini tidak masuk kantor.
Kini perempuan itu membongkar isi laci meja kerja dan dia menemukan selembar kertas coklat yang dia lipat rapi. Paperbag milik Filokopi yang sengaja dia simpan entah untuk apa, ternyata berguna hari ini.
"Halo? Betul ini Filokopi?" tanya Gendis begitu ada seseorang menjawab teleponnya.
"Iya betul, ada yang bisa dibantu, Kak?" sebuah suara di seberang terdengar tidak asing.
"Ini Wildan ya?"
"E-eh, iya. Maaf ini siapa?"
"Wil, ini aku, Gendis. Ganda di rumah?"
"Ooh, Mbak Gendis. Pak Ganda? Sebentar saya tanya ke temen-temen dulu." Kemudian terdengar suara Wildan bertanya pada salah satu pegawai kafe lain dengan suara agak keras. "Mbak Gendis, halo, Mbak."
"Iya, gimana, Wil? Pak Ganda ada di rumah?"
"Iya, Mbak. Kata temen-temen Pak Ganda sakit tuh. Tadi juga ada perempuan yang telepon nanyain Pak Ganda katanya dari Three Mountains."
"Ooh, mungkin itu orang HR."
"Mau ke sini sekarang, Mbak?"
"Enggak bisa lah, masih jam kerja. Nanti sore aja aku ke sana."
"Siap delapan enam, Mbak," celetuk Wildan sebelum menutup telepon.
Gendis menggoyangkan kaki untuk mengusir gelisah. Ganda sakit apa sampai tidak bisa menjawab telepon atau membalas chat-nya sekali saja.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
ChickLitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...