“Ndis,” panggil seseorang di seberang panggilan.
“Kamu kenapa enggak bisa dikontak sama sekali?” tanya Gendis dengan ponsel yang dirapatkan ke telinga.
“Sorry. Beberapa hal terjadi belakangan ini.”
“Oh, oke.”
“Ndis ….”
“Ya?”
“Sorry atas semua masalah yang aku buat di tempat kerja, aku terlalu pengecut.”
Gendis mengerutkan dahi, dari mana Agung tahu? Apakah dia ssudah memperkirakan bahwa masalah ini akan segera terangkat begitu dia resign dari Three Mountains?
“Ndis, jujur aja, aku ngerasa enggak pantas buat kamu. Kamu terlalu baik,” lanjut Agung kemudian.
Ada jeda di sana selama sepuluh detik, dan Gendis lebih memilih untuk diam.
“Sorry. I’m leaving. Aku enggak bisa nerusin hubungan kita. Take care, Ndis ….” ucap Agung lagi. Lalu panggilan dihentikan sepihak, dan meninggalkan Gendis yang kebingungan.
Perempuan itu masih mencoba mencerna dan memutar ulang kalimat yang Agung ucapkan di telepon beberapa detik lalu.
“Dis,” panggil Ganda yang ssudah berdiri di sampingnya.
“Berengsek!” umpat Gendis penuh kekesalan.
Alis Ganda bertemu, keningnya berkerut, dia tidak mengerti mengapa panggilannya harus dibalas dengan umpatan oleh perempuan itu.
Gendis yang menyadari kalau sempat ada yang memanggil namanya tadi, buru-buru menoleh. “Eh, sorry, Nda. Bukan kamu.”
“Sudah jam makan siang nih, mau makan di mana?” tanya Ganda yang tidak membahas lebih lanjut tentang kesalahpahaman tadi.
“Kamu aja yang makan siang, aku mau lanjutin sortir produk di sini biar cepet selesai.”
“Oke. Gue tinggal, ya. Kalau mau nitip sesuatu, Whatsapp aja,” ucap Ganda sebelum berlalu dari hadapan Gendis.
Gendis melanjutkan aktivitasnya, membuka satu per satu kemasan karton hingga mendapat kesimpulan tentang jumlah product yang benar-benar harus ditarik dari distributor dan melakukan analisa terhadap rejected product secara keseluruhan. Namun, belum sepuluh menit berlalu, Gendis sudah gusar, dia membuka ponsel dan melakukan panggilan kembali ke nomor Agung. Tersambung tapi tidak ada jawaban hingga beralih ke automatic answer dari provider.
“Shit!” umpat Gendis kedua kali seolah memaki situasi macam apa lagi ini yang harus dia temui, di saat semua terjadi bersama-sama dan berebut untuk segera diselesaikan.
Gendis bukan karakter wanita yang mudah menangis, dia selalu mengedepankan logika sehingga baginya masalah dalam hidup bukan berarti apa-apa, tidak untuk diratapi berhari-hari, tapi untuk diatasi oleh dirinya sendiri.
Akan tetapi, mengapa saat ini terasa berbeda? Working problems yang sempat membuatnya frustrasi, pekerjaan yang seharusnya bisa dia handle dengan seratus persen kemampuannya, berakhir dengan masalah besar dan akan mempengaruhi penilaian kinerjanya. Lalu sekarang, seseorang yang dia percaya selama kurang lebih sepuluh bulan ini tiba-tiba mengatakan ‘I’m leaving, take care, Ndis’ melalui telepon tanpa bertatap muka. Hubungannya dengan Agung berakhir di sini, ketika dia tengah dituntut untuk menyelesaikan product complaints yang kerugiannya bisa mencapai ratusan juta.
Gendis melempar ponsel ke atas meja. Baginya, sekarang bukan saat yang tepat untuk mengejar jawaban dan alasan lebih masuk akal dari Agung. Ada prioritas yang lebih tinggi kedudukannya. Dia menguncir rambut lalu melipat lengan kemejanya hingga siku, kembali menenggelamkan diri di antara rejected product yang kemasannya mulai membesar seperti balon yang baru ditiup.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
Genç Kız EdebiyatıGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...